Gambar ilustrasi (doc : Wenebuletin)
TANAH PAPUA dengan kekayaan sumber daya alam melimpah, keanekaragaman budaya yang luhur, dan posisi geografis yang strategis, telah lama menjadi medan kompleks tarik-menarik berbagai kepentingan.
Sejak pencaplokan Tanah Papua (Papua Barat) ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), wilayah ini tidak henti-hentinya dihadapkan pada serangkaian tantangan multidimensional yang berakar dari warisan kolonialisme, pembangunan yang timpang, serta militerisasi yang masif.
Dalam konteks yang lebih luas, hal ini kemudian termanifestasi dari kolonisasi kependudukan, operasi militer yang berkesinambungan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang sistematis, kebijakan pembangunan yang rasialis dan bias pendatang (migran biased policy), serta investasi yang berorientasi pada pengurasan sumber daya alam.
Dalam konteks ini perangkat kolonial seperti birokrasi, sistem hukum, media, pendidikan, hegemoni budaya kolonial hingga militerisasi, semuanya berfungsi sebagai instrumen vital dalam mendukung dan mengamankan skema pendudukan beserta eksploitasi ini.
Untuk memahami kondisi Papua saat ini, memerlukan penelusuran sejarah yang cermat, khususnya mengenai bagaimana wilayah ini dicaplok ke dalam Republik Indonesia, namun dikemas dalam narasi “integrasi” paska kolonialisasi Belanda. Karena itu, perlu dicatat bahwa secara historis, Papua tidak serta merta menjadi bagian dari arus nasionalisme Indonesia sejak awal.
Risalah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang mendefinisikan batas-batas calon negara Indonesia merdeka, tidak secara eksplisit memasukkan Papua dalam perbincangannya. Ini mengindikasikan adanya perbedaan narasi dan aspirasi politik antara Papua dan wilayah Nusantara lainnya pada masa-masa awal kemerdekaan.
Meskipun demikian, perlu diakui bahwa secara geografis dan historis, wilayah kepulauan Nusantara, termasuk Papua di ujung timur, telah terkoneksi dalam jaringan perdagangan yang luas jauh sebelum era kolonialisme Eropa, membentang dari Aceh di barat hingga Papua.
Integrasi Papua ke dalam NKRI merupakan proses yang panjang dan penuh dinamika. Proses ini melibatkan serangkaian diplomasi internasional, penyerbuan militer Indonesia yang diawali dengan Operasi Trikora, dan akhirnya, pengakuan dan dicatat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) pada tahun 1969.
Namun, legitimasi Pepera sendiri, serta keseluruhan proses integrasi, hingga kini masih menjadi bahan perdebatan sengit di kalangan akademisi, aktivis, dan masyarakat Papua sendiri. Sejak integrasi tersebut, Papua menghadapi apa yang banyak diinterpretasikan sebagai bentuk kolonisasi internal.
Ini termanifestasi melalui kebijakan kependudukan, seperti transmigrasi, dan kebijakan pembangunan yang seringkali mengabaikan hak-hak fundamental serta kepentingan kolektif masyarakat adat Papua. Konflik antara hukum adat dan pembangunan modern menjadi cerminan nyata dari benturan perspektif dan kepentingan yang ada.
Operasi Militer, Pelanggaran HAM, dan Dampak Psikososial
Meskipun status Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) secara resmi dicabut pada tahun 1998, kekerasan dan konflik bersenjata terus menjadi realitas pahit di wilayah ini. Kekerasan ini melibatkan berbagai aktor, termasuk warga sipil, aparat keamanan (TNI dan Polri), serta kelompok bersenjata, di mana korban silih berganti berjatuhan.
Data menunjukkan bahwa kekerasan bersenjata ini bukan insiden sporadis, melainkan sebuah pola yang persisten. Sepanjang tahun 2023 saja, Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) melaporkan adanya 69 kasus kekerasan dan konflik bersenjata di Tanah Papua, sebuah angka yang menggarisbawahi intensitas dan frekuensi konflik.
Insiden terbaru, seperti penembakan Komandan Rayon Militer di Distrik Arad oleh kelompok perjuang bersenjata Papua (TPNPB OPM), serta klaim TNI yang menewaskan 18 anggota kelompok TPNPB dalam sebuah operasi militer pada Mei 2025 di Kampung Soanggama, Kabupaten Intan Jaya, Papua Pegunungan. Namun sebagian besar adalah warga sipil sehingga menunjukkan bahwa siklus kekerasan terus berlanjut.
Pelanggaran HAM, termasuk tindakan penyiksaan dan pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) oleh militer Indonesia, terus menjadi sorotan serius dan mendesak untuk diusut tuntas. Kasus-kasus seperti pembunuhan Abral Wandikbo di Kabupaten Nduga oleh aparat menjadi bukti nyata dari brutalitas yang terjadi.
Lebih jauh, praktik kekerasan dan diskriminasi juga secara khusus menimpa perempuan adat di Papua, yang terhambat kedudukan dan perannya dalam berbagai sektor kehidupan akibat sistem patriarki, penindasan, dan kekerasan yang berlapis.
Dampak dari militerisasi dan kekerasan yang berkepanjangan ini tidak hanya terbatas pada korban langsung, tetapi juga menciptakan iklim ketakutan, trauma kolektif, dan gangguan psikososial yang mendalam di kalangan masyarakat Papua. Lingkungan yang tidak aman ini secara signifikan menghambat pembangunan yang partisipatif dan berkelanjutan, serta merusak tatanan sosial budaya masyarakat adat.
Militerisasi Indonesia dalam konteks ini, tidak hanya berfungsi sebagai alat penegakan hukum, melainkan juga sebagai instrumen untuk menjaga stabilitas demi pengamanan investasi dan kontrol wilayah, seringkali dengan mengabaikan hak-hak dasar masyarakat setempat.
Kebijakan Pembangunan yang Rasialis dan Bias Pendatang: Sebuah Analisis Kritis
Kebijakan pembangunan yang diterapkan di Papua seringkali menimbulkan konflik serius dengan hak-hak tradisional masyarakat adat dan kekayaan budaya mereka. Meskipun Papua secara alamiah memiliki potensi ekonomi yang luar biasa besar, terutama di sektor pertambangan seperti emas, tembaga, dan nikel yang menjadi komoditas ekspor utama Indonesia, potensi-potensi ini belum diterjemahkan menjadi kesejahteraan yang merata bagi masyarakat lokal.
Sebaliknya, pembangunan yang didorong dari pusat kolonial Indonesia di Jakarta seringkali bersifat eksklusif dan bias terhadap pendatang, dengan mengorbankan masyarakat adat Papua.
Salah satu bentuk kolonisasi kependudukan yang signifikan adalah program transmigrasi yang telah berlangsung selama beberapa dekade.
Program ini, yang seringkali didasarkan pada asumsi bahwa masyarakat adat Papua “tertinggal” dan membutuhkan “modernisasi”, telah secara fundamental mengubah demografi, kepemilikan tanah, dan struktur sosial di berbagai wilayah.
Alih-alih memberdayakan masyarakat adat, program ini seringkali menciptakan ketegangan sosial, konflik agraria, dan marginalisasi ekonomi bagi penduduk asli Papua. Data demografi menunjukkan pergeseran populasi yang signifikan, di mana proporsi penduduk non-Papua terus meningkat, memicu kekhawatiran akan hilangnya identitas dan kepemilikan budaya masyarakat adat Papua di tanah mereka sendiri.
Selain itu, fokus pembangunan ekonomi di Papua cenderung berat sebelah, sangat didominasi oleh investasi di sektor pertambangan dan perkebunan skala besar dengan berwajah Proyek Stategis Nasional (PPSN). Meskipun terdapat banyak sektor potensial lainnya seperti perikanan, pertanian, dan pariwisata, potensi-potensi ini belum mendapatkan perhatian dan investasi yang memadai.
Hal ini menciptakan ketergantungan ekonomi yang tidak sehat pada sektor ekstraktif, yang dampaknya seringkali lebih menguntungkan investor dan pendatang (migran Indonesia), ketimbang masyarakat adat pemilik tanah.
Pendekatan pembangunan dari atas ke bawah (top-down) dan sentralistik telah menjadi ciri khas selama lebih dari dua dekade (1989-2010), menyebabkan kerusakan lingkungan yang masif dan mengesampingkan partisipasi serta kesejahteraan masyarakat adat Papua.
Model pembangunan ini, sesuai dengan kritik teori pembangunan, adalah bentuk pembangunan yang tidak berkelanjutan, eksploitatif, gagal memberikan keadilan distributive dan menindas masyarakat adat Papua (kolonisasi internal).
Militerisasi dan Investasi Pengurasan SDA: Kolaborasi Eksploitatif
Kekayaan sumber daya alam Papua, yang begitu melimpah, sayangnya telah menjadi kutukan daripada berkah. Sektor pertambangan yang kaya emas, tembaga, nikel, migas dan lain-lain, menjadi magnet bagi investasi besar, baik dari dalam maupun luar negeri.
Namun, investasi ini seringkali berjalan beriringan dengan pengurasan sumber daya yang masif dan menimbulkan konflik berkepanjangan dengan masyarakat adat. Di sinilah peran militerisasi menjadi sangat krusial dan problematis.
Kehadiran militer Indonesia yang kuat di Papua tidak bisa dilepaskan dari upaya pengamanan proyek-proyek investasi skala besar semisal PSN dalam beberapa tahun terakhir. Disini tampak ada korelasi yang jelas antara peningkatan investasi di sektor ekstraktif dengan eskalasi militerisasi.
Militer, dalam konteks ini, seringkali berfungsi sebagai “penjaga gerbang” bagi kepentingan korporasi, memastikan kelancaran operasi investasi dengan meredam setiap bentuk protes atau perlawanan dari masyarakat adat.
Hal ini menciptakan lingkaran setan di mana kehadiran militer yang represif memfasilitasi eksploitasi sumber daya, yang pada gilirannya memicu konflik, kekerasan, dan perampasan tanah bagi masyarakat lokal.
Kasus-kasus kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan dan konflik agraria yang timbul dari perebutan lahan dalam PSN di Merauke, Sorong dan beberapa tempat di Tanah Papua, adalah bukti nyata dari kolaborasi eksploitatif ini.
Masyarakat adat yang tanahnya dirampas, hutan penyangga kehidupan mereka dihancurkan dan lingkungan hidupnya tercemar, seringkali berhadapan langsung dengan kekuatan militer yang melindungi kepentingan perusahaan. Ini semua dikelola dan dinarasikan sebagai upaya mewujudkan kepentingan negara, kemajuan dan pembangunan masyarakat.
Protes dan aksi demonstrasi, seperti yang dilakukan masyarakat adat Papua bersama ratusan mahasiswa Papua di berbagai tempat, yang menolak investasi dan militerisasi pada beberapa tahun terakhir, menunjukkan penolakan kuat dari masyarakat terhadap model pembangunan dan investasi yang destruktif ini.
Dari perspektif teori kritis, fenomena ini adalah bentuk akumulasi kapital melalui “perampasan”, di mana negara dan korporasi yang dikendalikan kaum oligarkhi bersinergi untuk mengekstraksi kekayaan dengan mengorbankan hak-hak, kesejahteraan dan keberlangsungan hidup masyarakat adat Papua.
Kritik dan Gugatan terhadap Skema Kebijakan Kolonial
Untuk membongkar kompleksitas situasi di Tanah Papua (Papua Barat), diperlukan pisau analisis teoritis yang tajam. Disini kami menggunakan tiga kerangka utama: teori kritik pembangunan, teori kritis, dan dekonstruksi kolonial.
Pertama, Teori Kritik Pembangunan. Teori ini memungkinkan kita untuk menggugat secara fundamental model pembangunan yang diterapkan di Papua Barat. Pembangunan di negeri berstatus pendudukan, kolonisasi dan perampokan SDA seperti Papua, seringkali dipresentasikan sebagai upaya “memajukan dan menyejahterakan”.
Namun dalam praktiknya, ini adalah pembangunan yang tidak merata, berpihak pada kepentingan elit dan investor, bias pada kepentingan pendatang (migran Indonesia), serta secara sistematis mengabaikan kearifan lokal, keberlanjutan lingkungan, dan hak-hak rakyat-masyarakat adat Papua.
Infrastruktur megah dan proyek pertambangan raksasa seringkali tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat secara signifikan. Sebaliknya, mereka justru berujung pada perampasan tanah, penggusuran, dan hilangnya sumber penghidupan tradisional. Model ini menciptakan ketimpangan struktural dan memperkuat ketergantungan Papua pada pusat.
Kedua, melalui kacamata Teori Kritis. Dengan teori kritis, kita dapat menyingkap hubungan kekuasaan yang timpang yang mendasari konflik di Tanah Papua. Hubungan ini melibatkan pemerintah pusat, militer, korporasi besar, dan masyarakat adat Papua yang terpinggirkan.
Teori kritis membantu menjelaskan bagaimana narasi-narasi hegemonik seperti pembangunan dan keamanan digunakan untuk melegitimasi kontrol dan eksploitasi, sekaligus meredam dan mengkriminalisasi suara-suara perlawanan.
Kehadiran militer yang begitu kuat, misalnya, tidak semata-mata untuk menjaga keamanan nasional, tetapi lebih jauh, berfungsi sebagai penjamin stabilitas bagi investasi dan menjaga agar rantai pasokan sumber daya tetap berjalan lancar.
Ini adalah manifestasi dari logika kekuasaan yang menjadikan keamanan sebagai alat untuk melanggengkan dominasi ekonomi dan politik.
Ketiga, dalam analisis Dekonstruksi Kolonial. Pendekatan dekonstruksi kolonial menjadi sangat relevan untuk membongkar narasi-narasi yang melegitimasi pendudukan (NKRI harga mati) dan eksploitasi Papua sebagai bagian integral dari Indonesia.
Pendekatan ini mempertanyakan bagaimana warisan kolonialisme Belanda, alih-alih berakhir dengan kemerdekaan, justru berlanjut dalam bentuk kolonialisme internal oleh negara Indonesia. Dalam kerangka ini, identitas Papua, aspirasi penentuan nasib sendiri (self determination), dan hak-hak kolektif masyarakat adat secara sistematis dikesampingkan, dibungkam, direpresi atau dinegasikan.
Teori postkolonialisme, sebagai cabang dari dekonstruksi kolonial, secara spesifik menganalisis dampak kolonialisme terhadap kebudayaan, identitas, dan struktur sosial, ekonomi, serta politik di negara-negara bekas jajahan, termasuk dalam konteks Papua Barat sebagai wilayah pendudukan dan kolonisasi Indonesia.
Konsep ini sangat vital untuk memahami bagaimana warisan kolonial terus membentuk realitas kontemporer di Papua, termasuk bagaimana narasi “NKRI Harga Mati” seringkali digunakan untuk membungkam upaya dialog konstruktif, aspirasi perundingan, referendum dan solusi konflik berkepanjangan yang berkeadilan.
Skema kebijakan kolonial ini secara kolektif menempatkan Papua Barat dalam posisi subordinat yang struktural, di mana kekayaan alamnya dikuras demi kepentingan eksternal, sementara rakyat (masyarakat adatnya) mengalami peminggiran sosial dan ekonomi, serta hak asasinya terlanggar secara fundamental.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Situasi di Tanah Papua adalah cerminan dari kolonialisme modern yang kompleks dan berlapis. Ini melibatkan kolonisasi kependudukan yang mengubah demografi dan struktur sosial, militerisasi yang menciptakan iklim kekerasan dan ketakutan, serta investasi yang menguras sumber daya alam demi keuntungan pihak luar.
Militerisasi, operasi militer dan pelanggaran HAM yang terus-menerus bukan sekadar insiden terpisah, melainkan merupakan bagian integral dari skema sistematis yang mempertahankan dominasi dan eksploitasi.
Kebijakan pembangunan yang bias kaum pendatang (migran Indonesia) dan rasialis semakin memperparah ketidakadilan struktural, memperdalam jurang antara masyarakat adat Papua dan pendatang, serta merampas hak-hak fundamental penduduk asli atas tanah dan sumber kehidupannya.
Melalui lensa teori kritik pembangunan, teori kritis, dan dekonstruksi kolonial, terungkap bahwa praktik-praktik ini bukan anomali, melainkan manifestasi dari logika kolonial yang beradaptasi dalam konteks pascakolonial. Ini adalah sebuah sistem yang didukung oleh kekuatan politik, ekonomi, dan militer untuk melanggengkan kontrol dan ekstraksi kekayaan.
Untuk mencapai keadilan, perdamaian, dan kesejahteraan yang berkelanjutan di Papua dalam konteks Reformisme dan Status Quo, diperlukan perubahan paradigma yang mendalam, progresif dan transformatif.
Berikut beberapa rekomendasi kebijakan yang konkret dan berbasis hak dalam konteks reformisme (menjaga status quo Indonesia di Papua) maupun yang bersifat progresif, dapat dilakukan melalui langkah-langkah berikut:
Pertama, Penghentian Militerisasi dan Demiliterisasi Komprehensif. Menghentikan operasi militer Indonesia yang berskala besar dan menarik pasukan non-organik dari Papua. Prioritaskan pendekatan humanis dan dialog dalam penyelesaian konflik, dengan mengedepankan peran kepolisian dan penegakan hukum sipil.
Kedua, Penegakan Keadilan Transisional untuk Pelanggaran HAM. Mengusut tuntas semua kasus pelanggaran HAM berat yang telah terjadi di Papua, membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) yang independen, dan memberikan kompensasi serta rehabilitasi yang layak bagi korban dan keluarga mereka. Ini krusial untuk memulihkan kepercayaan dan membangun fondasi keadilan.
Ketiga, Reformasi Kebijakan Pembangunan yang Partisipatif dan Berbasis Hak Adat. Mengembangkan kebijakan pembangunan yang benar-benar melibatkan masyarakat adat Papua dari tahap perencanaan hingga implementasi. Prioritaskan pengakuan dan perlindungan hak-hak tanah adat, kearifan lokal, dan keberlanjutan lingkungan.
Alokasikan sumber daya untuk mengembangkan sektor ekonomi non-ekstraktif, ramah lingkungan dan berkelanjutan, yang sesuai dengan potensi lokal serta memberikan manfaat langsung bagi masyarakat adat Papu
Keempat, Moratorium Investasi Ekstraktif dan Evaluasi Ulang Izin Pertambangan. Melakukan moratorium terhadap izin investasi baru di sektor pertambangan dan mengevaluasi ulang secara menyeluruh izin-izin yang sudah ada. Pastikan bahwa investasi yang berjalan mematuhi standar HAM dan lingkungan tertinggi, serta memberikan manfaat yang adil dan berkelanjutan bagi masyarakat lokal.
Kelima, Penguatan Otonomi Khusus yang Substantif dan Demokratis. Meninjau ulang, apakah implementasi Otonomi Khusus Papua selama 20 tahun pertama sudah berjalan dengan baik?
Perlu memastikan bahwa kerangka otonomi khusus Papua harus benar-benar memberikan kewenangan yang substantif kepada pemerintah daerah dan masyarakat adat Papua untuk mengelola sumber daya dan menentukan arah pembangunan mereka sendiri, tanpa intervensi yang berlebihan dari pusat.
Keenam, Dialog, Perundingan, Referendum dan Pengakuan Martabat Papua. Tahap yang lebih progresif, memfasilitasi dialog atau perundingan yang jujur, terbuka, dan inklusif atau semacamnya dalam menyelesaikan konflik berkepanjangan antara Jakarta dan representasi politik perjuangan rakyat Papua yang beragam.
Ini juga termasuk menghargai aspirasi penentuan nasib sendiri, yang dapat menjadi solusi terbaik untuk meresolusi konflik berkepanjangan di Papua. Pendekatan ini harus didasarkan pada rasa saling menghormati, pengakuan atas martabat, dan komitmen untuk mencari solusi politik yang berkeadilan, berkemanusiaan dan berkelanjutan.
Hanya dengan mengimplementasikan langkah-langkah transformatif ini, Papua dapat keluar dari bayang-bayang kolonialisme dan membangun masa depannya sendiri berdasarkan prinsip keadilan, kemandirian, penghargaan terhadap keanekaragaman budaya, dan penghormatan mutlak terhadap martabat manusia.
Redaksi Wene
