PSN di Merauke telah menjadi salah satu monster penghancur hutan terbesar di dunia (doc : Ernesto Balagaize)
DI atas peta yang disusun di meja-meja birokrat Jakarta, Papua sering kali tampak sebagai ruang kosong. Hamparan hijau dan biru yang siap digarap, dihitung, dan dijadikan proyek.
Namun di balik setiap garis koordinat dan setiap tanda titik lokasi “Proyek Strategis Nasional (PSN) 2025”, ada tanah adat, hutan, dan kampung yang hidup dengan sejarah dan roh. Permenko Ekonomi Nomor 16 Tahun 2025 menetapkan deretan PSN di empat provinsi di Tanah Papua: Papua Barat, Papua Barat Daya, Papua Tengah, dan Papua Selatan.
Semua diklaim demi pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan rakyat. Tapi pertanyaannya: rakyat yang mana?
Pemerintah pusat menyusun agenda besar: dari LNG di Teluk Bintuni, kawasan industri pupuk di Fakfak, pengembangan kelapa di Papua Barat Daya, hingga bandara baru di Nabire dan swasembada pangan di Merauke.
Semua terdengar menjanjikan. Namun, di balik jargon itu tersimpan ironi: dua provinsi, Papua dan Papua Pegunungan, justru tidak mendapatkan satu pun proyek PSN.
Padahal, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) telah menegaskan bahwa arah pembangunan di Papua harus berangkat dari pengakuan terhadap hak masyarakat adat dan penguatan peran pemerintah daerah.
Dengan kata lain, pembangunan di Papua tidak bisa dipaksakan dari pusat tanpa partisipasi mereka yang hidup di atas tanah itu. Tapi realitasnya, PSN 2025 tetap bergerak dalam logika lama: sentralistik, berbasis investasi besar, dan bersandar pada keamanan militer, bukan partisipasi rakyat.
Di Teluk Bintuni, proyek LNG dan pengembangan kawasan industri Ubadari dan CCUS seolah menjadi simbol “kemajuan” yang dideklarasikan pemerintah. Namun laporan Yayasan Pusaka (2023) menunjukkan kenyataan lain: 72% masyarakat adat di sekitar proyek tidak pernah dilibatkan dalam proses konsultasi.
Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang dijamin oleh Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP, 2007) diabaikan. Konflik pun bermunculan. Tanah ulayat yang diwariskan turun-temurun dialihfungsikan menjadi kawasan industri tanpa persetujuan pemiliknya.
Aparat keamanan dikerahkan untuk “menjaga stabilitas”, tapi justru menimbulkan ketakutan. Laporan KontraS (2024) mencatat peningkatan 35% kekerasan bersenjata di sekitar lokasi proyek strategis.
Di Merauke dan Boven Digoel misalnya, lahan-lahan yang dulu menjadi sumber pangan masyarakat kini berubah menjadi kawasan sawit, lahan tebu dan cetak sawah baru untuk kepentingan nasional.
Pembangunan berubah menjadi bentuk lain dari kolonialisme ekonomi, mengambil atas nama kemajuan, tapi meninggalkan luka sosial dan ekologis yang dalam.
Ekonomi Ekstraktif dan Hantu Lama yang Kembali
Papua menjadi laboratorium ekonomi ekstraktif paling intens di Indonesia. Gas, sawit, dan tambang menjadi kata kunci dalam setiap kebijakan PSN.
Model pembangunan semacam ini oleh Daron Acemoglu dan James Robinson (2012) disebut sebagai ekonomi ekstraktif imperialis: ekonomi yang tumbuh bukan karena produktivitas rakyatnya, melainkan karena eksploitasi sumber daya dan tenaga dari wilayah periferal untuk kepentingan pusat.
Papua Tengah, misalnya, menjadi contoh nyata paradoks pembangunan. Tingkat kemiskinan di provinsi ini mencapai 28,1%, IPM hanya 61,2, terendah di Indonesia. Sementara di atas tanahnya berdiri proyek-proyek raksasa dengan investasi triliunan rupiah. Artinya, pembangunan berjalan, tapi kesejahteraan tertinggal.
Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2025) bahkan memperlihatkan korelasi yang lemah antara kehadiran PSN dengan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) hanya sebesar 0,21dan tidak signifikan terhadap penurunan kemiskinan (-0,18).
Yang meningkat justru Pendapatan Asli Daerah (PAD), dengan korelasi 0,44. Secara ekonomi, PSN lebih banyak memperkuat kas daerah daripada memperbaiki kualitas hidup Orang Asli Papua (OAP).
Dalam teori otonomi, pemerintah daerah dan masyarakat lokal harus menjadi subjek pembangunan, bukan sekadar penerima hasil. Tapi pelaksanaan PSN justru berjalan sebaliknya. Pemerintah pusat menentukan proyek, lokasi, dan mekanisme investasi; masyarakat hanya menjadi penonton, bahkan sering kali korban.
Pasal 59 UU Otsus Papua menegaskan pentingnya partisipasi masyarakat adat dalam setiap proses pembangunan. Namun partisipasi yang dimaksud seringkali berhenti pada seremonial konsultasi, bukan dialog sejati.
Mekanisme FPIC, yang seharusnya menjadi dasar setiap proyek, tidak pernah diinstitusionalisasi. Majelis Rakyat Papua (MRP) pun jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan strategis.
Ketidakhadiran partisipasi ini bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga moral. Ini menegaskan bahwa negara masih melihat Papua sebagai objek, bukan subjek pembangunan.
Pemerintah kerap menjadikan PSN sebagai simbol “kemenangan pembangunan” di daerah tertinggal. Tapi realitas sosial justru menunjukkan luka yang makin dalam. Di kampung-kampung sekitar proyek sawit dan gas, masyarakat kehilangan tanah, mata pencaharian, bahkan identitas.
Di banyak tempat, konflik horizontal muncul antara kelompok yang pro dan kontra terhadap proyek. Model pembangunan ekstraktif ini menciptakan apa yang disebut banyak ilmuwan sebagai “konflik ekologis” benturan antara kebutuhan ekonomi dan keberlanjutan hidup manusia dan alam.
Ketika hutan dibuka, air tercemar, dan kebun tradisional hilang, yang lenyap bukan hanya sumber pangan, tetapi juga simbol kehidupan spiritual masyarakat adat.
Merebut Makna Pembangunan: Dari Ekstraktif ke Regeneratif
Negara-negara dengan populasi masyarakat adat seperti Kanada dan Bolivia telah membuktikan bahwa pembangunan bisa berjalan beriringan dengan perlindungan hak. Di Kanada, setiap proyek besar di wilayah First Nations harus melalui mekanisme FPIC yang ketat, dengan sistem benefit-sharing untuk memastikan keuntungan dirasakan komunitas lokal.
Di Bolivia, pemerintahan Evo Morales memperkenalkan model pembangunan berbasis komunitas di mana masyarakat adat menjadi aktor utama, bukan korban pembangunan.
Bandingkan dengan Papua: pendekatan keamanan masih mendominasi, partisipasi minim, dan pelanggaran HAM meningkat. Australia dengan kebijakan land rights bagi masyarakat Aborigin menunjukkan hasil yang lebih inklusif, karena pengakuan atas tanah menjadi fondasi bagi kesejahteraan.
Papua dapat belajar dari praktik-praktik ini. Tapi belajar bukan berarti menyalin; tapi harus menemukan jalannya sendiri, jalan yang berpijak pada budaya, hak, dan ekologi lokal.
Jika PSN terus berjalan dalam paradigma lama, investasi besar tanpa partisipasi, maka yang dibangun hanyalah gedung dan jalan, bukan manusia dan martabatnya. Karena itu, perlu ada reformulasi strategi pembangunan Papua: dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi regeneratif yang menempatkan masyarakat lokal sebagai pusat.
Artinya, pembangunan harus dimulai dari penguatan kapasitas masyarakat, pendidikan vokasi, dan ekonomi berbasis komunitas—seperti pertanian organik, perikanan tradisional, dan ekowisata. Inilah arah baru pembangunan yang selaras dengan alam dan kebudayaan Papua, bukan melawannya.
PSN 2025 di Tanah Papua sejatinya memiliki potensi besar. Tapi tanpa komitmen pada prinsip hak asasi manusia, partisipasi masyarakat adat, dan pengakuan terhadap otonomi khusus, proyek-proyek itu hanya akan menjadi babak baru dari kolonialisme ekonomi.
Papua bukan tanah kosong. Tanah ini adalah rumah bagi ratusan suku, bahasa, dan kosmologi yang menjadikan alam sebagai bagian dari diri. Maka, pembangunan di tanah ini tidak boleh lagi sekadar tentang pertumbuhan angka, tapi tentang penyembuhan sejarah dan penghormatan terhadap kehidupan.
Akhirnya, pembangunan sejati di Papua bukan diukur dari banyaknya proyek yang dibangun, tetapi dari seberapa jauh rakyat Papua merasa diakui, didengar, dan hidup dengan martabat di tanahnya sendiri.
(*) Arkilaus Baho adalah penulis artikel ini. Dia adalah aktivis Papua yang berdomisili di Jakarta, meminati studi dinamika politik nasional dan internasional. Penulis adalah mantan ketua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Nasional. Tulisan ini merupakan resensi dari artikel penulis berjudul “Analisis Strategis Proyek Strategis Nasional (PSN) 2025 di Tanah Papua: Dampak Sosial, Politik, dan Ekonomi dalam Perspektif Otonomi Khusus dan Ekonomi Ekstraktif”.
