Gambar iustrasi Pesawat Trigana (doc : Antara)
MENTARI pagi menyelinap malu-malu ke lembah hijau di Kabupaten Yahukimo, Pegunungan Papua. Di udara tipis, pesawat sipil meluncur pelan dari bandara Sentani ke Dekai, Yahukimo.
Rute itu selama ini menjadi harapan, penghubung sekaligus simbol kehadiran negara Indonesia di tengah warga pegunungan Papua.
Namun di balik suara mesin yang menderu di angkasa dan jendela kecil dengan pemandangan gunung-gunung berawan, ada kisah yang tak pernah diumbar: tentang rasa takut, ruang sipil yang terkikis, dan kesunyian yang dipakai sebagai medan operasi.
Di awal November 2025, di ketinggian yang dingin dan sunyi, mulai muncul satu kenyataan yang membuat penumpang sipil menahan napas setiap kali mendengar panggilan “boarding” pesawat Trigana Air.
Pesawat sipil yang akrab dengan langit Papua Pegunungan itu seharusnya melayani masyarakat sipil. Tapi hari itu dipakai untuk mengangkut ratusan personel TNI-Polri, lengkap dengan perlengkapan dan senyap sehingga menciptakan ketidaknyamanan bagi warga yang ikut dalam penerbangan.
Di tepi kesunyian landasan pacu bandara Dekai, kisah bergulir. Seorang mama berdiri, memandang pesawat yang telah mendarat. Ia tak tahu bahwa di kabin pesawat itu nanti bukan hanya guru atau pedagang yang turun, tapi pula personel berseragam yang tak pernah berkata kepada warga “kami datang untuk menjaga kalian”.
Sebaliknya, mereka datang dalam keheningan. Dalam derap langkah yang tak diumumkan, di ruang udara dan darat yang seharusnya aman bagi warga sipil.
Dalam beberapa tahun terakhir hingga 2025, rute Sentani-Dekai yang menjadi harapan masyarakat Yahukimo telah berubah menjadi semacam “koridor militer”.
Catatan Human Rights Monitor menunjukkan bahwa sejak 2021-2025, operasi militer dan kepolisian (Satuan Tugas Operasi Damai Carstenz) di Yahukimo semakin intensif.
Operasi itu termasuk pembangunan pos, drop pasukan ke wilayah pegunungan dan pengembangan operasi keamanan yang melibatkan pasukan besar.
Contoh yang mengemuka di publik: pada 11 Maret 2023, sebuah pesawat Trigana Air jenis Boeing 737-500 dengan call sign PK–YSC ditembak saat hendak lepas landas dari Dekai. Polisi kemudian menangkap beberapa orang terkait insiden ini.
Bagi masyarakat sipil yang biasa naik pesawat ini, pedagang mama-mama, guru dan petugas kesehatan yang pergi dari kampung ke kota, orang tua yang ingin menemui anak di sekolah, insiden tersebut menjadi pertanda: ruang publik (sipil) yang dulu netral kini bisa menjadi sasaran.
Sama halnya, kehadiran yang tak diumumkan dari TNI/Polri lewat jalur sipil menciptakan ketegangan tak terlihat.
Ruang Sipil Menyempit: Nyawa, Kebebasan, Kehidupan
Setelah tiba dari Jayapura, di suatu kesempatan saya mengunjungi salah satu sekolah di Dekai, sebuah bangunan sederhana, dinding kayu, kosong saat jam istirahat. Beberapa siswa sedang duduk di halaman, tapi bisik-bisik tentang “masuknya militer ” terus terdengar.
Waktu saya datang, ada proses pemeriksaan: KTP, kartu pelajar, bahkan orang tua dipanggil ke kantor keamanan. Seorang guru berbisik: “Kitong tidak boleh ketinggalan, tetapi anak-anak takut naik bus ke sekolah”.
Situasi ini bukan unik. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) telah melaporkan bahwa sering kali ketika pasukan keamanan Indonesia diturunkan secara massif ke suatu wilayah pegunungan Papua, ruang sipil seperti sekolah, puskesmas, rumah sakit, kebun hingga gereja, menjadi area pengawasan dan kontrol yang ketat.
Anak-anak yang dulu bebas berjalan ke kebun kini memilih bertahan di dalam rumah. “Anak saya tidak mau pergi ke kebun, takut dia ditanya siapa, dia pelajar atau bukan,” kata seorang ibu di Intan Jaya seperti dalam catatan AJI.
Di Yahukimo, warga melapor bahwa keberadaan militer lewat jalur sipil memunculkan dua dampak. Pertama, ketidaknyamanan ekstra saat naik pesawat karena mereka tak hanya naik bersama warga warga biasa, tetapi juga pasukan.
Kedua, ada kekuatiran bahwa pesawat itu bukan lagi ruang aman sipil, melainkan jalur operasi. Waktu pesawat Trigana Air akan lepas landas, salah satu pedagang mama-mama mengatakan: “Saya takut, bukan takut terjatuh, tapi takut dipandang bukan sebagai penumpang biasa dan pesawat bisa ditembak.”
Ketika pesawat yang seharusnya menjadi jembatan sipil udara, berubah menjadi alat drop militer, dampaknya lebih dari sekadar psikologis. Dalam laporan kuartal III 2025, organisasi Human Rights Monitor menyebut bahwa sebagian besar konflik bersenjata terjadi di Yahukimo, Intan Jaya dan Puncak.
Penyebaran militer yang terus meningkat pun diidentifikasi sebagai bagian dari perluasan infrastruktur militer di tingkat distrik.
Artinya: ketika militer masuk lewat jalur sipil seperti pesawat, sekolah, puskesmas, rumah sakit dan gereja, ruang sipil menjadi medan pertempuran tak kasat mata. Satu tembakan ke pesawat Trigana Air mencerminkan bahwa “ruang netral” sudah tak lagi netral.
Bagi masyarakat Yahukimo, ini berarti: menahan napas setiap perjalanan udara; anak-anak tidak lagi bermain leluasa; guru takut mengajar; suster, mantri dan dokter takut melayani pasien, warga takut ke kebun, hingga Mama-mama pedagang takut berjualan.
Yang paling menderita ketika terjadi operasi militer di Yahukimo (awal November 2025), warga sipil telah mengungsi ke hutan untuk jangka waktu yang tidak pasti.
Ruang hidup mereka; transportasi, pendidikan, kesehatan, sosial ekonomi, tergerus oleh alasan kebutuhan keamanan yang tak kunjung selesai.
Keadilan dan Pemulihan
Di tengah kabut ini, satu hal menjadi keharusan: agar hak sipil dipulihkan. Pemerintah kabupaten, Provinsi Papua Pegunungan, serta atasan TNI/Polri harus menyoroti persoalan ini secara terbuka.
Masyarakat Yahukimo berjuang agar: jalur penerbangan sipil tetap menjadi ruang sipil, tanpa drop pasukan dari pesawat sipil. Sekolah, kebun, puskesmas, rumah sakit, dan gereja kembali menjadi ruang bebas pengawasan militer.
Warga sipil diberikan jaminan bahwa naik pesawat, ke sekolah, berkebun bukan berarti masuk zona operasi militer.
Kita ingat lagi bahwa konflik berkepanjangan di Tanah Papua telah mengikis kepercayaan masyarakat terhadap negara Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, hadirnya negara bukan hanya lewat pengamanan, tapi melalui pengakuan: bahwa warga Yahukimo adalah subjek hak, bukan objek operasional.
Pesawat Trigana Air mengangkasa dari Sentani ke Dekai: sayapnya menciptakan bayangan panjang di lembah lembab Papua. Setiap pasaing penumpang, mungkin pedagang, guru, pasien, mantri, suster, dokter atau ibu yang ingin menjenguk anaknya, mendengar deru mesin itu dengan harapan.
Namun harapan itu disertai bisikan takut: siapa yang turun nanti? Apakah jalur ini masih ruang kehidupan atau sudah jadi rute militer?
Dalam narasi besar Papua, Yahukimo bukan sekadar titik koordinat di peta. Tapi sebagai ruang kehidupan, bumi Mama-mama, sekolah-sekolah anak, kebun sumber kehidupan yang tak pernah berkhianat.
Ketika pesawat sipil menjadi jalur pasukan, ruang sipil menjadi medan yang dilupakan. Padahal haru menjadi ruang keriangan, petualangan, harapan dan pembebasan.
Hari ini, dari lembah-lembah tinggi Yahukimo, ada panggilan: agar hak hidup warga sipil tak lagi tertahan di landasan pacu, agar pesawat yang membawa harapan tak lagi membawa ketakutan.
Sebab di sana, di balik suara mesin yang menderu di angkasa, kehidupan warga sipil dan masyarakat adat Yahukimo menanti sentuhan dari sebuah pesawat yang benar-benar melayani mereka.
(*) Hidani Enggalim adalah penulis artikel ini. Dia adalah aktivis Forum Independen Mahasiswa West Papua (FIM-WP).
