
Kondisi Pasar Dekai, Yahukimo, Papua Pegunungan (doc: nokenwene.com)
DEKAI, ibu kota Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan, adalah saksi bisu perjuangan harian. Setiap pagi, sebelum matahari sepenuhnya meninggi, ratusan Mama-Mama Papua dari sejumlah suku asli di wilayah ini sudah mengawali rutinitas.
Mereka adalah para srikandi ekonomi rumah tangga, yang membawa hasil kebun dari sayur-sayuran segar hingga umbi-umbian dan pisang. Panggung tempat mereka berjuang adalah Pasar Baru Dekai, yang seharusnya menjadi sentra vital. Namun ironisnya, kini menjadi simbol dari infrastruktur yang terabaikan hingga beberapa tahun terakhir (2025).
Pasar Baru yang bersejarah, dibangun sejak masa kepemimpinan Bupati Ones Pahabol (periode 2005-2016), kini mengalami degradasi yang memprihatinkan. Visi pembangunan pasar ini sejak awal sangat ideal: menjadikan orang Papua (terutama warga lokal) sebagai pelaku ekonomi di pasar.
Pembangunan Pasar Baru Dekai, Yahukimo, kemudian diwujudkan Ones Pahabol dengan penyedian los khusus untuk para pedagang asli Papua. Dia juga membangun sebuah tempat penampungan barang atau semacam grosir yang tidak jauh dari pasar ini.
Sesuai perencanaan awal, grosir yang dikelola Pemda Yahukimo itu rencananya akan difungsikan sebagai gudang penyediaan barang yang didatangkan dari luar Yahukimo (terutama dari Jawa). Barang-barang ini nantinya dijual dengan harga terjangkau dan warga Papua bisa membeli lalu menjualnya kembali dengan harga tertentu.
Namun sejak 2017 hingga 2025, pasar ini seolah lepas dari radar perhatian dan pembangunan pemerintah daerah. Ketiadaan renovasi dan fasilitas yang layak telah memaksa Mama-Mama Papua berdagang dalam kondisi yang tidak layak, mempertaruhkan kesehatan dan martabat mereka.
Masalah di Pasar Baru Dekai Yahukimo lebih dari sekadar estetika, yakni terkait krisis sanitasi dan kesehatan publik. Area jualan yang sempit dan minimnya infrastruktur telah memaksa Mama-Mama membuang sisa-sisa dagangan di sekitar lapak mereka.
Fenomena itu ditambah dengan ketiadaan tempat pembuangan sampah (TPS) yang dikelola dengan baik, menyebabkan penumpukan sampah yang kronis.
Kondisi ini menciptakan lingkungan ideal bagi perkembangbiakan vektor penyakit. Lalat berkerumun di atas sayuran dan barang jualan. Sementara hewan liar seperti babi dan anjing bebas berkeliaran mengais sampah, menyebarkannya hingga ke badan jalan.
Dalam perspektif kesehatan masyarakat, ini adalah ancaman serius. Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan studi epidemiologi lokal sering menekankan bahwa sanitasi buruk di pasar tradisional secara langsung berpotensi meningkatkan risiko penularan penyakit berbasis lingkungan (environmental-based diseases), seperti diare dan infeksi saluran pencernaan, yang sayangnya menjadi masalah kesehatan utama di daerah dengan akses terbatas.
Jalur Penderitaan: Rusaknya Akses dan Ekonomi
Kondisi infrastruktur yang paling memprihatinkan adalah jalan masuk Pasar Baru Dekai dan akses di dalamnya. Kerusakan jalan ini bukan hanya retak, tapi aspal telah tergeser, meninggalkan lubang-lubang besar dan tumpukan pasir.
Dampak kerusakan ini secara ekonomi sangat nyata. Ketika hujan, lubang-lubang terisi air dan lumpur, menyulitkan baik penjual maupun pembeli. Kendaraan kesulitan masuk, memperlambat distribusi barang dagangan dan menghalangi pembeli.
Aksesibilitas yang buruk berdampak langsung pada volume transaksi jual beli di pasar, yang pada akhirnya menekan pendapatan Mama-Mama Papua. Ini adalah pukulan ganda di Kabupaten yang juga memiliki tantangan besar dalam hal Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Data BPS menunjukkan bahwa Papua Pegunungan, tempat Yahukimo berada, masih berjuang dengan angka IPM yang relatif rendah (meski data spesifik Yahukimo bervariasi, secara regional pembangunan manusia masih tertinggal), menjadikan setiap potensi pendapatan dari pasar sangat krusial.
Situasi demikian telah memberi kesan bahwa afirmasi, proteksi dan pemberdayaan terhadap pedagang asli Papua di bidang ekonomo seperti yang diamanatkan dalam Otonomi Khusus Papua, telah berada di pinggir jalan.
Karena Pasar Baru Dekai yang tidak layak, banyak Mama-Mama Papua juga terpaksa menjual di tempat-tempat yang sangat berisiko: pinggiran jalan raya, depan ruko, pemukiman Jalur Satu, dan kawasan Paradiso.
Pemandangan ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menyediakan fasilitas afirmasi ekonomi. Mama-Mama ini harus mengandalkan kebaikan hati pemilik toko non-OAP untuk mengalas jualan sederhana dengan karung atau karton di depan kios atau toko mereka.
Tak hanya itu, mereka juga harus berjuang di bawah terik matahari, debu jalanan dan guyuran hujan sehingga rentan secara fisik dan ekonomi. Selain itu, kegiatan berdagang di bahu jalan ini memicu masalah tata kota, menyebabkan kemacetan dan ketidaknyamanan publik, yang berpotensi memicu ketegangan sosial.
Menuntut Komitmen Anggaran yang Transparan
Persoalan ini menuntut Pemerintah Kabupaten Yahukimo untuk tidak lagi bersikap “ompong” atau menutup mata. Pemerintah harus mewujudkan komitmen yang lebih besar terhadap perbaikan pasar dan pembangunan Pasar Mama-Mama Papua yang baru.
Meskipun APBD Kabupaten Yahukimo (yang pada tahun anggaran 2025 ditetapkan sebesar sekitar Rp2,057 Triliun) memiliki alokasi yang besar, sangat penting bagi masyarakat untuk mengetahui berapa porsi yang secara spesifik dialokasikan untuk perbaikan infrastruktur pasar, penataan tata ruang, dan pengadaan sanitasi yang layak bagi Mama-Mama Papua.
Ketua Komisi C DPRD Yahukimo, Yafet Saram, sendiri telah menyuarakan kekecewaan atas penurunan alokasi anggaran, menekankan pentingnya sektor kesehatan dan pendidikan. Namun revitalisasi dan pembangunan pasar Dekai yang layak adalah investasi pada pondasi ekonomi kerakyatan itu sendiri.
Masyarakat Yahukimo membutuhkan penataan kota yang teratur dan responsif, di mana Peraturan Daerah (Perda) harus secara efektif menjamin ketersediaan pasar yang layak dan pengelolaan yang baik.
Renovasi Pasar Baru yang sudah ada perlu dilakukan dan pembangunan pasar baru yang lebih representativf untuk mengakomodir pedagang Papua adalah urgensi utama untuk mengembalikan martabat mereka.
Yang tidak kalah penting, perlu memastikan keamanan pangan, kesehatan, kebersihan dan memperkuat simpul ekonomi lokal yang umumnya masih bercorak subsisten di Dekai.
Waktu terus berjalan, dan janji pembangunan harus diwujudkan menjadi fasilitas beton dan aspal yang kokoh. Bukan hanya visi-misi, program pembangunan dan retorika hampa di ruang sidang.
(*) Hidani Enggalim adalah penulis artikel ini. Dia adalah aktivis Forum Independen Mahasiswa West Papua (FIM-WP).