Kondisi pertambangan di Pulau Gag Raja Ampat (doc: enviro.or.id)
DI UJUNG TIMUR Indonesia, gugusan kepulauan Raja Ampat berdiri sebagai mahakarya alam yang langka. Di sanalah samudra memelihara lebih dari 75% spesies karang dunia, 1.600 lebih jenis ikan, dan ekosistem laut tropis yang tak tertandingi.
Raja Ampat bukan hanya pusat biodiversitas global, tetapi juga ruang hidup yang dikelola oleh masyarakat adat selama ratusan tahun. Namun kini, surgawi ini menghadapi bahaya baru yang datang dengan janji masa depan: nikel dan transisi energi.
Ironisnya, ketika dunia berlomba mengejar teknologi hijau demi menyelamatkan bumi dari krisis iklim, banyak yang lupa bahwa bahan mentah dari teknologi tersebut, seperti nikel untuk baterai kendaraan listrik, masih diekstraksi dengan cara-cara lama.
Misalnya, dengan merusak lingkungan dan mengorbankan masyarakat lokal. Di Raja Ampat, janji transisi energi ini telah menjelma menjadi ancaman ekologis dan konflik sosial yang memanas.
Demam Nikel dan Keindahan yang Terancam
Raja Ampat bukan sekadar destinasi wisata. Ia adalah bagian dari Coral Triangle, pusat biodiversitas laut dunia, yang menyimpan habitat unik seperti manta ray, hiu karang, dugong, dan burung Cenderawasih.
Selain itu, kawasan ini menyimpan ekosistem blue carbon seperti hutan mangrove dan padang lamun yang vital dalam menyerap karbon dan menghambat laju perubahan iklim.
Secara ekonomi, sekitar 70% pendapatan lokal berasal dari ekowisata. Perikanan tradisional berkelanjutan juga menjadi tulang punggung ekonomi rakyat. Lebih dari itu, wilayah ini adalah tanah ulayat yang diwariskan turun-temurun dan dikelola melalui sistem hukum adat.
Statusnya pun telah diakui secara global melalui penetapan sebagai UNESCO Global Geopark pada 2023, serta sedang diajukan sebagai Situs Warisan Dunia. Namun semua ini terancam lenyap.
Ambisi Indonesia untuk menjadi pemain utama industri baterai dunia telah mendorong ekspansi besar-besaran tambang nikel, termasuk ke wilayah konservasi seperti Raja Ampat.
Hingga Juni 2025, terdapat 16 izin tambang nikel di kawasan ini, 12 di antaranya berada di dalam wilayah Geopark, dan 10 di kawasan lindung.
Lima izin kini aktif, beroperasi di Pulau Kawe, Gag, Manuran, Batang Pele/Manyaifun, dan Waigeo. Perusahaan-perusahaan seperti PT Gag Nikel dan PT Kawei Sejahtera Mining, didukung oleh investasi dari korporasi asing (Tsingshan, Huayou, pemodal Norwegia), memasok nikel yang diproses di smelter Weda Bay Industrial Park (IWIP), Maluku Utara.
Produk akhirnya? Baterai untuk mobil listrik Tesla, BYD, Toyota, LG Chem, hingga BMW. Di balik aliran investasi dan bahan baku hijau itu, kehancuran mulai terasa: 309 hektare hutan di Gag dan 85 hektare di Kawe telah dibabat.
Air dan tanah tercemar logam berat seperti arsenik dan merkuri. Laut menjadi keruh oleh sedimentasi, membunuh karang dan memukul perikanan rakyat.
Luka Sosial, Konflik dan Kriminalisasi
Dampaknya bukan hanya pada lingkungan, tetapi juga merobek-robek struktur sosial masyarakat adat. Pembagian kompensasi sepihak oleh perusahaan memicu perpecahan komunitas, bahkan konflik horizontal antara mereka yang mendukung dan yang menolak tambang.
Aktivis lingkungan diancam, diintimidasi, bahkan dikriminalisasi. Masyarakat kehilangan akses terhadap laut, tanah, dan sumber air. Perempuan nelayan dan pelaku wisata kecil menderita paling awal. Informasi terkait perizinan dan dampak tambang minim, jika bukan disembunyikan.
Perusahaan justru memperkuat kooptasi terhadap elite adat, melemahkan perlawanan kolektif dari akar rumput.
Apa yang tampak adalah wajah dari ekstraksi sepihak yang terus berlangsung tanpa mekanisme dialog yang adil dan partisipatif, serta tanpa perlindungan hukum bagi hak dasar masyarakat adat, termasuk prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC).
Pada Juni 2025, masyarakat dari empat marga adat (Arampele, Ayelo, Daat, Ayei) menutup Pulau Wayag sebagai bentuk protes atas kegiatan tambang dan pencabutan izin PT Kawei Sejahtera Mining (KSM).
Ini bukan sekadar aksi simbolik, melainkan bentuk kedaulatan lokal yang dilanggar. Namun konflik tak berhenti di situ. Sengketa antar kampung adat (Selpele vs Salio) pun merebak, memperlihatkan rapuhnya tata kelola wilayah adat di bawah tekanan industri ekstraktif.
Ironisnya, ada pihak yang justru menyerukan agar wisata pun dihentikan agar “adil”. Padahal yang sedang terjadi bukan benturan antara tambang dan pariwisata, melainkan ketimpangan kekuasaan dalam menentukan arah pembangunan.
Negara dan Hukum: Diam atau Berpihak?
Dari sisi hukum, eksploitasi nikel di Raja Ampat telah melanggar berbagai regulasi nasional: UU No. 27/2007 (larangan tambang di pulau kecil), UU No. 32/2009 (standar mutu lingkungan), dan UU No. 3/2020 serta UU No. 6/2023 (penambangan di kawasan lindung).
Sanksinya bisa mencapai 15 tahun penjara dan denda Rp 100 miliar. Namun hukum kerap mandul jika berhadapan dengan kekuatan modal.
Secara fiskal, ketidakadilan juga mencolok. Pendapatan dari tambang mengalir ke pusat, sementara daerah hanya mendapat Dana Bagi Hasil (DBH) yang tak transparan dan tidak proporsional.
Papua hanya jadi lokasi ekstraksi, tanpa nilai tambah, tanpa kuasa menentukan nasib sendiri.
Transisi Energi: Hijau Tapi Kotor
Rantai pasok nikel dari Raja Ampat mengalir ke industri baterai dunia. Namun tidak ada mekanisme global yang memastikan nikel tersebut berasal dari wilayah non-konservasi.
Ini adalah wajah green hypocrisy, transisi energi global yang justru mengorbankan wilayah adat dan ekosistem rentan.
Konflik di Raja Ampat adalah krisis kepercayaan. Negara dianggap lebih memihak modal daripada masyarakat adat. Karena itu, pemerintah, terutama Wakil Presiden RI selaku Ketua Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) harus turun tangan.
Tidak cukup menjadi pembaca laporan, ia harus menjadi pemimpin aktif: membuka ruang dialog partisipatif yang melibatkan perempuan, pemuda, dan komunitas adat. Bukan hanya elite dan pemegang izin.
Sudah saatnya pemerintah berhenti memandang Papua sebagai ruang kosong. Wilayah ini adalah tanah hidup, ruang budaya, dan rumah bersama masyarakat adat yang punya hak menentukan masa depan mereka.
Langkah konkret yang harus diambil antara lain: Mencabut seluruh izin tambang di Raja Ampat dan pulau-pulau kecil lain. Menolak nikel dari kawasan konservasi masuk ke rantai pasok EV.
Mendorong pembangunan berbasis ekowisata dan ekonomi biru. Membentuk Satgas Nasional Perlindungan Wilayah Adat dan Ekosistem Strategis.
Bagi masyarakat Papua, kehancuran Raja Ampat bukan sekadar hilangnya karang atau ikan. Itu adalah musnahnya harapan. Raja Ampat adalah “teras depan” yang masih asri, di saat “halaman belakang” telah dirusak sawit, logging, tambang, proyek nasional, dan konflik bersenjata.
Pilihan kita hari ini akan menentukan apakah Raja Ampat tetap menjadi simbol keadilan ekologis, atau akan tercatat dalam sejarah sebagai jejak kegagalan peradaban manusia.
Jika Indonesia ingin benar-benar menjadi pemimpin transisi energi dunia, maka keberanian menjaga Raja Ampat adalah ujian moral pertama yang harus lulus.
(*) Charles Imbir adalah penulis artikel ini. Ia adalah direktur Institut Usba yang berbasis di Waisai, Raja Ampat, Papua Barat Daya. Institut Usba adalah sebuah organisasi independen yang bekerja dengan misi pelestarian tradisi dan ekosistem lingkungan untuk kehidupan yang berkelanjutan.
