Mama-mama Pedagang Papua di Merauke saat melakukan aksi damai mendesak pembangunan pasar khusus ({Doc photo: Teddy Wakum/LBH Merauke)
OTONOMI Khusus (Otsus) Papua, yang berawal dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 dan direvisi melalui UU Nomor 2 Tahun 2021, bertujuan untuk mempercepat pembangunan, menegakkan keadilan, dan menghormati hak-hak masyarakat asli Papua (OAP) dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Revisi UU 2021 membawa harapan besar dengan peningkatan alokasi Dana Otsus menjadi 2,25% dari Dana Alokasi Umum (DAU), perluasan kewenangan daerah, serta dukungan pemekaran empat provinsi baru: Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Papua Barat Daya.
Dalam konteks UU Nomor 2 Tahun 2021, peran negara diharapkan hadir di Papua melalui Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP), yang dibentuk berdasarkan Perpres Nomor 121 Tahun 2022.
BP3OKP bertugas melakukan Sinkronisasi, Harmonisasi, Evaluasi, dan Koordinasi (SHEK) pelaksanaan Otsus dan pembangunan Papua. Namun, tiga tahun pasca-revisi (2022–2025), Otsus menuai kritik karena dinilai gagal memenuhi ekspektasi OAP, terutama dalam hal keterlibatan masyarakat adat, transparansi, dan penyelesaian isu HAM.
Peran Wakil Presiden sebagai Ketua BP3OKP dianggap kurang efektif dalam mengawal keberpihakan terhadap OAP. Ketidakjelasan Proyek Strategis Nasional (PSN), ekspansi perkebunan kelapa sawit, dan aktivitas pertambangan di Papua memperburuk marginalisasi OAP melalui konflik tanah adat, kerusakan lingkungan, dan minimnya manfaat ekonomi.
Sesuai Pasal 5 ayat 1 poin (a) Perpres Nomor 121 Tahun 2022, BP3OKP diketuai oleh Wakil Presiden yang memiliki peran kunci dalam melakukan SHEK pelaksanaan Otsus dan pembangunan Papua.
Ini dilakukan melalui Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP) 2022–2041 dan Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Papua (RAPPP), untuk memastikan program prioritas Papua Sehat, Papua Cerdas, dan Papua Produktif berdampak langsung pada OAP, dengan fokus pada pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) berbasis adat (wapresri.go.id, 2023).
Lemahnya Kinerja Wapres di era Jokwoi
Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin ditunjuk sebagai Ketua BP3OKP oleh Presiden Joko Widodo melalui Perpres Nomor 121 Tahun 2022.
Anggotanya meliputi Menteri Dalam Negeri, Menteri PPN/Bappenas, Menteri Keuangan, dan enam perwakilan provinsi di wilayah Papua: Alberth Yoku (Papua), Irene Manibuy (Papua Barat), Yoseph Yanowo Yolmen (Papua Selatan), Pietrus Waine (Papua Tengah), Hantor Matuan (Papua Pegunungan), dan Otto Ihalauw (Papua Barat Daya).
Namun, apa yang dilakukan oleh Wapres dinilai “jauh panggang dari api”. Kegiatan yang dilakukan lebih bersifat seremonial, elitis, dan birokratis, sehingga tidak mampu mengagregasi dan mengakomodasi aspirasi masyarakat adat di akar rumput.
Kunjungan singkat dan seremonial cenderung elitis, sulit mengidentifikasi akar masalah Papua seperti ketimpangan ekonomi atau konflik lahan, serta dampak lingkungan dari proyek-proyek besar.
Kritik muncul karena terbatasnya dialog langsung antara Wakil Presiden dengan masyarakat adat, sebagaimana ditunjukkan oleh laporan bahwa aspirasi masyarakat Papua hanya didengar dalam dua pertemuan terbatas di Fakfak dan Sorong selama kunjungan Juli 2023.
Hal ini menimbulkan pertanyaan: sejauh mana BP3OKP di bawah Ma’ruf benar-benar mampu menangkap dan mengakomodasi aspirasi OAP?
Kisruh Tambang di Papua dan Bom Waktu
Papua kaya akan sumber daya mineral seperti emas, tembaga, bauksit, dan nikel. Namun, kebijakan tambang di bawah BP3OKP menunjukkan kontradiksi. Eksploitasi tambang acap kali tidak melibatkan OAP secara signifikan dan menyebabkan kerusakan lingkungan serta konflik sosial.
Data BPS 2018 menunjukkan tingkat kemiskinan di Papua mencapai 27,43%, jauh di atas rata-rata nasional (9,66%), meskipun kekayaan alam melimpah. Hal ini mencerminkan kegagalan kebijakan tambang untuk menyejahterakan masyarakat lokal.
Dampak kebijakan terkait tambang menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan. Misalnya aktivitas tambang tembaga dan emas oleh PT Freeport Indonesia. Freeport di Mimika adalah salah satu tambang terbesar di dunia, menyumbang pendapatan signifikan bagi Indonesia.
Namun, kritik muncul karena manfaat ekonomi tambang ini lebih banyak mengalir ke pusat dan investor asing, sementara OAP masih menghadapi kemiskinan ekstrem dan stunting. BP3OKP belum menunjukkan langkah konkret untuk memastikan distribusi manfaat yang adil, seperti peningkatan royalti bagi komunitas lokal atau program pemberdayaan yang terukur.
Sekarang lagi soal nikel. Proyek nikel di Teluk Bintuni (Papua Barat) merupakan bagian dari PSN untuk hilirisasi mineral. Ma’ruf Amin mendengar laporan kemajuan proyek strategis di Teluk Bintuni pada Juli 2023.
Tetapi tidak ada detail spesifik mengenai bagaimana BP3OKP memastikan partisipasi OAP dalam rantai nilai nikel, Misalnya, pelatihan tenaga kerja atau kepemilikan saham komunitas. Hilirisasi nikel berpotensi meningkatkan ekonomi lokal, tetapi tanpa pengawasan ketat, risiko kerusakan lingkungan dan marginalisasi OAP tetap tinggi.
Yang terbaru, kasus tambang nikel di Raja Ampat jelas-jelas telah melanggar hukum dan Peraturan Perundangan, di mana aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil seperti Raja Ampat dilarang secara tegas.
Ada beberapa regulasi yang secara tegas tidak mengizinkan wilayah tambang di Raja Ampat. Misalnya, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (4): Menegaskan bahwa perekonomian nasional harus berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, yang dilanggar oleh aktivitas tambang di Raja Ampat.
Kemudian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pasal 23 ayat (2) menyatakan bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil diprioritaskan untuk konservasi, pariwisata, penelitian, budidaya laut, dan perikanan berkelanjutan, bukan untuk pertambangan.
Pasal 51 ayat (1) memberikan kewenangan kepada menteri untuk mencabut izin yang menyebabkan dampak lingkungan signifikan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023. Putusan ini memperkuat larangan aktivitas tambang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk menjaga keberlanjutan lingkungan.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Bersama dengan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022, regulasi ini menekankan penertiban izin tambang yang tidak sesuai dengan prinsip keberlanjutan.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 53 Tahun 2020. Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8 Tahun 2019, Tentang Penatausahaan Izin Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya.
Kisruh Batubara, PSN dan Wacana Kesejahteraan Papua
Tambang batubara di Papua relatif kecil dibandingkan tembaga dan nikel, namun eksploitasi di wilayah seperti Pegunungan Bintang menimbulkan kekhawatiran lingkungan.
Meskipun Wapres selaku Ketua BP3OKP menekankan pelestarian kualitas lingkungan dalam RIPPP, hingga saat ini belum ada laporan audit lingkungan terkait dampak tambang batubara terhadap ekosistem hutan tropis Papua dan komunitas adat.
Secara keseluruhan, kebijakan tambang di Papua belum sepenuhnya selaras dengan misi Papua Produktif, “jauh panggang dari api”, tidak satu pun kata dan tindakan. Peran Wapres dalam isu tambang hanya sebatas arahan umum untuk memastikan proyek PSN secara kuantitatif di atas kertas berjalan akuntabel.
Namun, fakta di lapangan tidak menunjukkan bukti spesifik bahwa Wapres sungguh-sungguh bersikap langsung terhadap isu dampak lingkungan atau ketimpangan distribusi manfaat tambang.
Kurangnya fokus pada perlindungan hak adat dan mitigasi kerusakan lingkungan menunjukkan bahwa BP3OKP belum sepenuhnya menjawab tantangan dekolonisasi ekonomi, di mana kekayaan alam Papua masih dikuasai pihak asing atau oligarki tanpa melibatkan masyarakat adat.
PSN di Papua, diatur dalam Perpres Nomor 109 Tahun 2020, mencakup proyek infrastruktur dan ekonomi untuk mempercepat pembangunan. Untuk itu, Wapres selaku Ketua BP3OKP bertugas mengoordinasikan implementasi PSN agar mendukung kesejahteraan OAP.
Beberapa PSN utama meliputi: Bandara Nabire Baru (Papua Tengah). Pembangunan Bandara Nabire Baru pada Juli 2023 merupakan relokasi dari bandara lama untuk meningkatkan konektivitas dan membuka jalur transportasi dan perdagangan antara Nabire dengan wilayah lain di Indonesia.
Namun, proyek ini hanya berkutat pada infrastruktur tanpa menyentuh pemberdayaan dan penguatan ekonomi masyarakat setempat. Lalu pertanyaannya, infrastruktur ini digunakan untuk kepentingan siapa?
Apakah ini menjadi karpet merah kepentingan modal asing yang datang ingin mengeksploitasi dan merampok kekayaan Papua, ataukah memang sungguh-sungguh tulus bagi sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat adat setempat?
Jalan Trans Papua. Wapres menyoroti pentingnya kebutuhan sistem transportasi terpadu untuk mendukung Daerah Otonomi Baru (DOB) dengan tujuan meningkatkan akses ke wilayah terpencil.
Niat baik pembangunan jalan ini dilakukan dengan menghalalkan segala cara, bahkan sering kali memicu konflik lahan dengan komunitas adat karena kurangnya pendekatan dialog dan partisipasi masyarakat adat. Pendekatan top-down pemerintah pusat dinilai tidak menghormati identitas OAP.
Food Estate Merauke (Papua Selatan). Program lumbung pangan di Merauke yang meliputi lima klaster di 13 distrik mengindikasikan adanya tumpang tindih kebijakan dengan Otsus Papua. Komnas HAM mencatat pelanggaran hak asasi manusia terkait penggusuran lahan adat.
Pendekatan top-down selalu saja jadi pilihan utama sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah, tetapi justru memunculkan masalah baru yang jauh lebih parah di Papua. Dalam kapasitasnya sebagai Ketua BP3OKP, Wapres tidak menunjukkan sikap tegas yang sungguh-sungguh berpihak pada masyarakat adat, meski ia menekankan pentingnya melibatkan tokoh adat.
Infrastruktur Internet (Kemenkominfo). Ma’ruf menegaskan internet sebagai kebutuhan dasar, dengan Kemenkominfo membangun infrastruktur di Papua untuk meningkatkan akses pendidikan dan ekonomi. Namun, digitalisasi ibarat pedang bermata dua yang justru berisiko memperkuat digital colonialism jika tidak diimbangi dengan literasi digital dan konten berbasis budaya lokal.
Meski PSN dianggap sebagai bukti dari komitmen pemerintah terhadap Papua, namun karena pendekatan elitis dan militerisasi serta kurangnya pelibatan dan manfaat langsung bagi OAP, kehadiran PSN masih menyisakan pertanyaan besar.
Sesungguhnya PSN untuk kepentingan siapa? Apakah memang bagi sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat adat Papua? Atau sesungguhnya bagi kepentingan oligarki yang ingin mengeruk kekayaan alam Papua?
Kelapa Sawit: Antara Manfaat Ekonomi dan Ancaman Ekologi
Seperti halnya isu tambang dan PSN, luasnya tanah Papua sungguh menjadi daya tarik bagi ekspansi industri kelapa sawit di Papua.
Meski masih merupakan bagian dari agenda ekonomi nasional yang terkait dengan PSN dan pembangunan kesejahteraan, namun pendekatan top-down masih selalu memposisikan masyarakat adat Papua sebagai objek dan bukan sebagai subjek selaku tuan rumah atas negerinya.
Alih fungsi tanah adat dan ulayat menjadi perkebunan kelapa sawit tanpa melibatkan masyarakat adat, tidak hanya berpotensi terjadinya pelanggaran HAM akibat perampasan tanah adat lewat militerisasi, tetapi juga berpotensi terjadinya deforestasi dan marginalisasi OAP.
Studi menunjukkan bahwa ekspansi kelapa sawit di Papua berkontribusi pada kerusakan ekosistem dan konflik dengan masyarakat adat, tanpa manfaat ekonomi yang signifikan bagi mereka.
Pada konteks ini, Wapres sebagai Ketua BP3OKP, gagal dalam mengorkestrasi BP3OKP untuk melakukan Sinkronisasi – Harmonisasi – Evaluasi – Koordinasi (SHEK) lintas sektoral baik kementerian maupun lembaga terkait, untuk menangani isu ekstraktif yang sensitif.
Ketiadaan derigensi yang terarah tentang isu ini mencerminkan pola pendekatan yang semata terfokus pada pembangunan fisik dan ekonomi makro dengan mengabaikan aspek dekolonisasi budaya dan lingkungan yang menuntut revitalisasi identitas adat.
Ketidakseimbangan ini memperkuat narasi bahwa pembangunan di Papua masih mencerminkan pola kolonial, di mana sumber daya dieksploitasi tanpa pemberdayaan dan penguatan kelembagaan masyarakat adat.
Apa yang dilakukan oleh BP3OKP atas Papua, lebih mirip apa yang dilakukan oleh VOC atas wilayah Nusantara di abad 16-17. Wapres berperan layaknya Pieter Both sebagai Gubernur Jenderal VOC pertama yang ditempatkan di Ambon.
Otsus Jilid II Era Prabowo-Gibran
Sesuai Perpres Nomor 121 Tahun 2022, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang dilantik pada 20 Oktober 2024, otomatis langsung menjabat sebagai Ketua Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP).
Dalam konteks misi Asta Cita Prabowo, peran Gibran selaku Ketua BP3OKP menjadi sangat vital dan strategis. Ia diharapkan mampu mempercepat pembangunan kesejahteraan di Papua.
Misi Asta Cita menekankan penguatan ideologi Pancasila dan demokrasi, kemandirian pangan, energi, dan air, hilirisasi sumber daya alam, pemerataan pembangunan, reformasi hukum dan pemberantasan korupsi, penguatan ekonomi kreatif, hijau, dan biru, harmoni lingkungan dan budaya, toleransi beragama dan keadilan sosial,
Namun, terhitung delapan bulan hingga Juni 2025, Gibran masih belum mampu menunjukkan kinerja yang signifikan sebagai Ketua BP3OKP, baik dari segi kapasitas kepemimpinan maupun dampak kebijakan terhadap isu Proyek Strategis Nasional (PSN), dan kelapa sawit, terutama isu masalah tambang nikel di Raja Ampat yang marak muncul belakangan ini.
Seperti halnya pendahulunya Ma’ruf Amin, sebagai Ketua Badan Pengarah, Gibran bertugas mengoordinasikan kebijakan lintas kementerian, memastikan implementasi UU Otsus, dan menangani isu sensitif seperti ketimpangan ekonomi dan konflik sosial.
Namun, pengangkatan Gibran, yang berusia 37 tahun dan memiliki pengalaman politik terbatas (Wali Kota Surakarta 2021–2024), memicu skeptisisme. Gibran membawa beban politik yang memperumit legitimasi perannya akibat tuduhan nepotisme terkait kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi yang dipimpin pamannya, Anwar Usman, untuk menurunkan batas usia calon wakil presiden.
Dalam konteks Otsus Papua, misi Asta Cita Prabowo, sebagaimana diuraikan dalam National Transformation Strategy: Towards a Golden Indonesia 2045, menekankan kemandirian ekonomi melalui hilirisasi sumber daya alam, pemerataan pembangunan dan penguatan ekonomi hijau.
Ini untuk memastikan kesejahteraan masyarakat lokal, namun tampaknya semakin jauh dari harapan, mengingat masih minim capaian konkret akibat kelemahan dalam koordinasi, pengalaman, dan penanganan isu sensitif di Papua.
Hingga Juni 2025, tidak ada laporan publik spesifik yang merinci capaian Gibran di BP3OKP. Informasi yang tersedia menunjukkan fokusnya lebih pada inisiatif nasional, seperti pengenalan studi kecerdasan buatan (AI) dalam kurikulum pendidikan dibanding kebijakan spesifik di Papua.
Bahkan untuk masalah tambang nikel di Raja Ampat yang berujung pada pencabutan IUP empat perusahaan tambang sekalipun, Gibran tidak kunjung buka suara dan bersikap dalam kapasitasnya sebagai Ketua BP3OKP.
Hal ini semakin menimbulkan pertanyaan tentang skala prioritas dan kapasitas Gibran dalam menjalankan tugas BP3OKP untuk menyelesaikan masalah di Papua yang penuh dengan kompleksitas masalah seperti konflik separatisme, ketimpangan ekonomi, dan dampak lingkungan dari eksploitasi kekayaan alam.
Kelemahan Kapasitas, Legitimasi dan Kegagalan Otsus
Gibran, dengan rendahnya jam terbang dan minimnya pengalaman yang hanya dua tahun sebagai Wali Kota Surakarta, dianggap belum cukup memiliki kedalaman politik untuk mampu menangani isu Papua yang sangat kompleks dan dinamis.
Putusan Mahkamah Konstitusi 2023 yang memungkinkan pencalonannya dianggap sebagai manipulasi hukum sangat berdampak pada lemahnya kepercayaan publik terhadap perannya di BP3OKP.
Tidak ada dokumentasi terbuka tentang rapat BP3OKP atau dialog dengan pemimpin lokal di Papua sejak Gibran menjabat. Meski kinerja Wakil Presiden Ma’ruf Amin sewaktu menjabat sebagai Ketua BP3OKP dinilai masih sangat kuran. Namun Gibran justru menampilkan kinerja yang jauh lebih buruk dan mengecewakan.
Di tengah krisis anggaran yang tengah dialami Pemerintah saat ini, Prabowo berkomitmen untuk tetap melanjutkan IKN yang tentunya akan menyedot anggaran pemerintah dan berpotensi mengurangi anggaran Otsus Papua.
Pada konteks itu, Gibran tidak terlihat berjuang untuk mengadvokasi alokasi anggaran Otsus Papua agar tidak menjadi korban dari IKN yang lebih menjadi prioritas.
Dengan rendahnya kapasitas pengalaman yang dimiliki dan lemahnya legitimasi moral, sulit membayangkan Gibran Rakabuming Raka sebagai Ketua BP3OKP mampu menyelesaikan permasalahan tambang, PSN, dan Kelapa Sawit di Papua demi mewujudkan misi Asta Cita seperti yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Papua.
Peran Gibran Rakabuming Raka sebagai Ketua BP3OKP hingga Juni 2025 belum menunjukkan dampak signifikan terhadap isu tambang, PSN, dan kelapa sawit di Papua. Minimnya pengalaman, tuduhan nepotisme, dan kurangnya transparansi menghambat efektivitasnya.
Dari dua periode kepemimpinan Wakil Presiden sebagai Ketua BP3OKP bisa terlihat bahwa sesungguhnya “Negara Tidak Hadir” di tanah Papua bagi sebesar-besarnya kemakmuran OAP.
Program ini mendanai 60 sekolah baru di wilayah pegunungan dan beasiswa untuk 5.000 pelajar pada 2022-2024 (badanpengarahpapua.go.id, 2025). Namun, IPM bidang pendidikan Papua hanya naik dari 68,9 (2021) ke 69,2 (2023), tertinggal dari rata-rata nasional (73,4) (BPS, 2023). Keterlibatan OAP terbatas, dengan hanya 15% penerima beasiswa dari komunitas adat karena birokrasi rumit (jentera.ac.id, 2024).
Jumlah puskesmas meningkat menjadi 17 per 100.000 penduduk pada 2025, tetapi rasio dokter rendah (13 per 100.000 penduduk) (badanpengarahpapua.go.id, 2025). Tidak ada inisiatif spesifik untuk melibatkan tenaga kesehatan OAP, dan layanan terkonsentrasi di perkotaan.
Pelatihan kewirausahaan, seperti kolaborasi dengan PT Ebier Suth Cokran di Manokwari Selatan, menjangkau 2.000 peserta, tetapi hanya 25% dari OAP (badanpengarahpapua.go.id, 2025). Kontraktor non-lokal mendominasi, mengurangi manfaat bagi masyarakat adat.
Pembangunan jalan Trans-Papua dan bandara menyerap Rp 27 triliun Dana Otsus hingga 2024 (bpkad.papua.go.id, 2024). Namun, proyek ini sering tidak relevan dengan kebutuhan OAP, seperti akses pasar, dan memicu konflik tanah ulayat, terutama pada PSN.
PSN, seperti kawasan ekonomi khusus Sorong, serta perkebunan sawit di Merauke, menyebabkan deforestasi dan penggusuran tanah adat tanpa kompensasi adil (hukumonline.com, 2023). Pertambangan, seperti PT Freeport di Mimika, menghasilkan limbah tailing yang mencemari Sungai Aghawagon, memengaruhi mata pencarian OAP (kempalan.com, 2024).
Tidak ada konsultasi memadai dengan OAP untuk proyek-proyek ini, bertentangan dengan Pasal 36 UU Otsus. BP3OKP, di bawah Wakil Presiden bertugas melakukan SHEK dengan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengevaluasi akuntabilitas Dana Otsus, fokus pada kebijakan, alokasi dana, akuntabilitas, isu terkini, dan hambatan (badanpengarahpapua.go.id, 2025). Bappeda Papua Barat menyusun laporan triwulanan (bpkad.papua.go.id, 2024).
Evaluasi, Refleksi dan Kritik
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) melaporkan Dana Otsus tidak efisien untuk belanja pendidikan dan kesehatan di tingkat kabupaten/kota karena tumpang tindih pendanaan (fiskal.kemenkeu.go.id, 2019). Efisiensi hanya terlihat pada belanja layanan umum di tingkat provinsi.
IPM Papua naik dari 60,8 (2021) menjadi 62,1 (2023), tetapi tertinggal dari rata-rata nasional (73,4). Penurunan kemiskinan sebesar 1,3% per tahun lebih baik dari nasional (0,46%), tetapi kesenjangan antar wilayah tinggi (BPS, 2023).
BPKP mencatat hanya 25% program pemberdayaan ekonomi melibatkan OAP, tanpa indikator spesifik untuk mengukur keterlibatan, termasuk pada PSN, sawit, dan pertambangan (badanpengarahpapua.go.id, 2025).
Infrastruktur PSN meningkatkan konektivitas, tetapi PDRB per kapita Papua hanya tumbuh 2,5% per tahun (2021–2023), di bawah target 4% (BPS, 2023). Perkebunan sawit dan pertambangan memicu konflik tanah dan kerusakan lingkungan tanpa manfaat signifikan bagi OAP.
Tiga tahun pasca-revisi UU Otsus, Papua menunjukkan kemajuan terbatas di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, tetapi gagal memenuhi ekspektasi OAP. Peran Wakil Presiden sebagai Ketua BP3OKP tak lebih hanya sekadar seremonial, terkesan lemah dan rapuh, minimnya keterlibatan OAP, dan ketidakmampuan menyelesaikan isu HAM, PSN, perkebunan sawit, dan pertambangan.
Keterlibatan OAP bersifat tokenisme, dengan manfaat program lebih banyak dinikmati elit lokal dan pihak non-adat. PSN, sawit, dan pertambangan memperburuk marginalisasi OAP melalui konflik tanah, deforestasi, dan pencemaran lingkungan. Konflik keamanan dan korupsi memperdalam ketidakpercayaan terhadap Otsus.
Wakil Presiden masih menerapkan kepemimpinan seremonial. Fokus pada acara formal tanpa terobosan yang substansial, esensial, dan fundamental bagi OAP.
Pendekatan pembangunan masih bersifat Top-Down. Program, termasuk PSN, sawit, dan pertambangan, dirancang tanpa menggunakan konsep Free Prior Informed Consent (FPIC) atau Padiatapa (Persetujuan Berdasarkan Informasi di Awal Tanpa Paksaan) yang memanusiakan manusia OAP.
Korupsi dan Ketidakjelasan Dana. Lemahnya pengawasan Wakil Presiden menyebabkan penyelewengan, seperti di Mimika (2023) (hukumonline.com, 2023). Kegagalan HAM. Tidak adanya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) memperkuat persepsi Otsus sebagai alat politik.
Konflik PSN, Sawit, dan Pertambangan. Proyek-proyek ini menyebabkan penggusuran tanah adat, kerusakan lingkungan, dan minimnya manfaat bagi OAP sehingga berpotensi memicu kerawanan sosial dan meningkatnya potensi konflik.
Setelah tiga tahun pelaksanaan Otonomi Khusus Papua di bawah kepemimpinan Wakil Presiden sebagai Ketua BP3OKP, mendesak untuk segera dilakukan evaluasi kritis agar Otsus Papua benar-benar menjadi instrumen efektif untuk memastikan kehadirannya masih relevan, mengingat Otsus Papua lahir untuk mengakui hak-hak dasar orang Papua, bukan sekadar bagi-bagi proyek.
Tiga tahun perjalanan BP3OKP justru menunjukkan birokrasi yang sentralistik dan tidak peka terhadap kebutuhan masyarakat adat OAP. Jika tidak ada perubahan radikal, Otsus hanya akan menjadi alat legitimasi Jakarta untuk mengontrol Papua.
Dalam konteks misi Asta Cita dengan visi Indonesia Emas 2045, kita perlu mempertanyakan secara kritis relevansi dan urgensi kehadiran BP3OKP sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan Otonomi Khusus Papua. Namun saat ini justru memperdalam ketimpangan dan memperuncing ketegangan politik di Tanah Papua.
(*) Charles Imbir adalah penulis artikel ini. Ia adalah direktur Institut Usba yang berbasis di Waisai, Raja Ampat, Papua Barat Daya. Institut Usba adalah sebuah organisasi independen yang bekerja dengan misi pelestarian tradisi dan ekosistem lingkungan untuk kehidupan yang berkelanjutan.
