Gambar ilusrasi (doc : wenebuletin)
LIMA belas nyawa kembali melayang di Intan Jaya, Provinsi Papua Pegunungan. Sebuah angka yang mungkin terdengar biasa di telinga mereka yang terbiasa menutup mata terhadap derita rakyat Papua Barat.
Namun bagi warga masyarakat di kampung Janamba dan Soanggama, jumlah itu bukan sekadar angka. Ini adalah wajah-wajah saudara, anak, dan orang tua yang kini tiada.
Sosok-sosok jenazah yang kini bersemayam di kubur itu tergantikan oleh keheningan dan duka mendalam akibat operasi militer Indonesia yang telah dilakukan atas nama “penegakan keamanan negara” di tanah Papua.
Operasi Satgas Rajawali dan 712/WT yang diklaim menargetkan kelompok TPNPB OPM, gerilyawan bersenjata pejuang kemerdekaan Papua yang diplintir dengan sebutan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), justru memperlihatkan pola lama.
Yakni kekerasan negara yang membabi buta, tanpa kejelasan batas antara kombatan TPNPB OPM dan warga sipil. Bagi aparat keamanan Indonesia ketika melakukan operasi militer, yang penting sikat dulu, nanti tinggal buat keterangan propaganda di media yang mendukung mereka.
Pernyataan Tim Mediasi Konflik Intan Jaya, yang menyebut tidak semua korban adalah anggota TPNPB, memperkuat kenyataan pahit bahwa di Papua Barat, label “separatis” sering kali dijadikan pembenaran atau legitimasi untuk menghilangkan nyawa manusia tanpa proses hukum.
Tragedi ini bukan sekadar persoalan keamanan. Tapi cerminan dari kebijakan negara dan pemerintah Indonesia yang gagal melihat Papua Barat sebagai ruang kemanusiaan.
Militerisasi wilayah adat dan penggunaan pendekatan senjata oleh Pemerintah Indonesia, terus memutuskan hubungan sosial, menghancurkan tatanan kampung, dan menanamkan ketakutan yang diwariskan lintas generasi.
Di balik narasi keamanan yang dominan, tersembunyi sebuah motif ekonomi politik yang lebih dalam. Intan Jaya, khususnya Blok Wabu, adalah salah satu wilayah yang kaya akan cadangan emas, bahkan disebut-sebut sebagai salah satu yang terbesar di dunia.
Kehadiran operasi militer yang terus-menerus di wilayah ini memunculkan pertanyaan krusial: apakah ini hanya tentang keamanan, ataukah ada agenda terselubung untuk mengamankan wilayah bagi tujuan eksploitasi sumber daya alam?
Pertanyaan diatas merupakan suatu pertanyaan inti yang harus dijawab dengan analisis yang lebih detail dan mendalam, dan dengan data yang lebih akurat.
Pola penggusuran dan pemindahan paksa masyarakat adat dari tanah ulayat mereka sering kali terjadi beriringan dengan masuknya investasi skala besar di sektor ekstraktif. Operasi militer, dengan segala implikasi kekerasannya, dapat dilihat sebagai instrumen untuk menciptakan kondisi yang ‘kondusif’ bagi kepentingan modal.
Dengan adanya konflik yang terus-menerus, warga sipil terpaksa mengungsi, meninggalkan tanah mereka, yang kemudian membuka jalan bagi perusahaan tambang untuk masuk tanpa hambatan berarti.
Menurut laporan Amnesty International, Blok Wabu diperkirakan mengandung sekitar 8,1 juta ons emas (troy ounces). Juga secara teknis geologi, dalam publikasi “The Discovery of the Wabu Ridge Gold Skarn” disebut bahwa sumber daya (resource) Blok Wabu telah didefinisikan sebesar 117,26 juta ton bijih (ore) pada kadar rata‐rata 2,16 gram emas per ton (cut-off 1,0 g/t Au. (ausimm.com)
Sementara, di berbagai Media massa menyebutkan bahwa potensi ekonomi emas di Blok Wabu senilai sekitar US$ 14 miliar, atau setara dengan ratusan triliun rupiah, tergantung kurs dan asumsi harga emas. (odiyaiwuu.com & kumparan)
Labelisasi “separatis” yang kerap dilekatkan pada masyarakat Papua yang menolak atau menuntut hak-haknya, berfungsi sebagai alat dehumanisasi dan delegitimasi. Ini menciptakan justifikasi bagi tindakan represif negara Indonesia, sekaligus mengaburkan motif ekonomi di baliknya.
Kekerasan di Intan Jaya, dengan demikian, bukan sekadar respons terhadap ancaman keamanan, melainkan juga bagian dari strategi untuk memuluskan agenda eksploitasi emas di Blok Wabu, mengorbankan nyawa dan kemanusiaan demi keuntungan ekonomi.
Intan Jaya kini menjadi simbol dari luka kolektif rakyat Papua. Luka yang terus berdarah setiap kali operasi militer digelar, setiap kali aparat menekan rakyat dengan alasan menjaga “kedaulatan NKRI” dan mengamankan proyek-proyek ekstraktif.
Padahal, yang sesungguhnya diinginkan rakyat hanyalah hidup damai di tanah leluhur mereka, tanpa teror, tanpa stigma politik, dan tanpa penggusuran demi kepentingan korporasi dan kekayaan segelintir elit.
Sudah saatnya negara, pemerintah dan institusi keamanan Indonesia berhenti menutupi tragedi dengan narasi tunggal keamanan. Papua membutuhkan keadilan, bukan operasi.
Papua membutuhkan pengakuan atas kemanusiaan dan hak-hak adat, bukan impunitas, dan bukan pelabelan sebagai musuh negara yang menghalangi eksploitasi.
Lebih dari itu, rakyat Papua Barat berhak untuk menentukan nasibnya sendiri (the rights for self determination). Hak yang diakui dalam prinsip-prinsip hukum internasional sebagai ekspresi tertinggi demokrasi.
Hanya melalui penghormatan terhadap hak menentukan nasib sendiri, kekerasan struktural dan militerisasi yang telah berlangsung puluhan tahun dapat diakhiri.
Proses ini bukan semata soal politik kenegaraan, melainkan jalan menuju pemulihan martabat, keadilan, dan kemanusiaan bagi seluruh rakyat Papua.
Karena selama nyawa manusia terus menjadi korban politik kekuasaan dan ambisi ekonomi, selama itu pula kemerdekaan sejati, kemerdekaan untuk hidup sebagai manusia dan pengelola tanah leluhur mereka sendiri, belum benar-benar hadir di Tanah Papua Barat.
(*) Elisa Bisulu adalah penulis artikel ini. Dia adalah aktivis Papua yang tergabung dalam organisasi Masyarakat Adat Independen (MAI) Papua.
