Gambar ilustrasi (doc: wenebuletin)
SEJARAH panjang Papua tidak dapat dilepaskan dari proses kolonialisasi yang dilakukan oleh kekuatan asing sejak abad ke-19. Dalam konteks ini, Papua bukan sekadar wilayah geostrategis atau ladang sumber daya alam, tetapi juga medan pembentukan dominasi kekuasaan atas manusia dan budayanya.
Masyarakat adat Papua, dengan keberagaman etnis, bahasa, dan adatnya, menjadi korban dari proses sistematis penghilangan kedaulatan sosial, ekonomi, budaya, dan politik mereka.
Tragisnya, sejak masa kolonial Belanda hingga integrasi dengan Indonesia, Papua terus mengalami penjajahan dalam bentuk baru. Salah satu bentuk penjajahan yang paling merusak adalah budaya korupsi yang merasuki institusi, birokrasi, hingga cara pandang terhadap orang asli Papua.
Analisis terhadap kolonialisme di Papua menunjukkan bahwa ini bukan hanya peristiwa sejarah masa lalu, melainkan fondasi bagi “peracunan structural” yang terus berlangsung hingga kini.
Konsep “kolonialisme internal”, seperti yang diungkapkan oleh Michael Hechter, relevan untuk memahami bagaimana negara pascakolonial dapat mereproduksi pola dominasi yang mirip dengan kolonialisme tradisional terhadap wilayah dan kelompok etnis minoritas di dalam batas-batas negaranya sendiri.
Ini menjelaskan mengapa pengalaman Papua setelah integrasi dengan Indonesia seringkali terasa sebagai kelanjutan dari dominasi kolonial.
Awal Mula Kolonialisasi dan Peneguhan Kekuasaan Belanda
Papua bagian barat secara resmi diklaim sebagai wilayah Hindia Belanda pada akhir abad ke-19, meskipun pengaruh langsung kolonial baru terasa kuat setelah tahun 1920-an.
Pemerintah kolonial Belanda memasuki wilayah ini dengan dalih “misi peradaban” (civilizing mission), “misi Kristen”, dan “kemajuan”, sembari mengabaikan sistem sosial politik yang telah hidup dalam komunitas-komunitas lokal.
Mereka memaksakan sistem pemerintahan distrik, menetapkan peraturan-peraturan tanah, dan membuka akses eksplorasi terhadap sumber daya alam, terutama emas dan kayu. Namun, proses kolonialisasi ini tidak berlangsung tanpa perlawanan.
Masyarakat adat Papua lantas mempertahankan tanahnya dengan berbagai cara, baik melalui resistensi kultural maupun fisik. Namun, dengan teknologi militer yang superior dan strategi birokratisasi wilayah, kekuasaan kolonial berhasil mengkonsolidasikan kontrol atas tanah dan orang Papua.
Kontrol itu bukan hanya dalam bentuk kekuatan fisik, tetapi juga melalui infiltrasi nilai dan sistem pemerintahan asing yang bertentangan dengan prinsip hidup orang asli Papua yang menjunjung tinggi keseimbangan alam, kekerabatan, dan keadilan sosial.
Ini mencerminkan pemikiran Michel Foucault tentang bagaimana kekuasaan bekerja tidak hanya melalui represi, tetapi juga melalui pembentukan subjek dan pengetahuan yang tunduk pada norma-norma dominan.
Perampasan Tanah dan Pemusnahan Sistem Adat
Salah satu dampak paling destruktif dari kolonialisme adalah perampasan tanah. Bagi masyarakat Papua, tanah bukan hanya tempat hidup, tetapi juga pusat spiritualitas, identitas, dan kelangsungan komunitas.
Tanah adalah warisan leluhur yang dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi, bukan komoditas yang bisa dijual-beli atau diperdagangkan bebas. Ini sejalan dengan konsep “common property rights” yang kontras dengan sistem kepemilikan privat Barat.
Namun, rezim kolonial mulai memperkenalkan konsep hak milik ala Barat dan memperlakukan tanah sebagai objek ekonomi. Ketika negara kolonial mengklaim tanah “tidak bertuan” (terra nullius), mereka secara sepihak merampas tanah-tanah adat dan menyerahkannya kepada misi, perusahaan, atau keperluan administrasi kolonial.
Dalam proses ini, terjadi penghancuran sistem nilai lokal, peminggiran kepala suku, dan pergeseran otoritas sosial ke tangan penguasa kolonial atau elit binaan mereka.
Sebuah manifestasi dari “akumulasi primitive” sebagaimana diuraikan oleh Karl Marx, di mana tanah dan sumber daya masyarakat adat dijarah untuk kepentingan akumulasi modal.
Proyek Misi dan Pendidikan Kolonial: Peradaban atau Penjinakan?
Salah satu strategi kolonial yang tampak “baik” di permukaan tetapi penuh manipulasi adalah pengiriman misi Kristen sebagai agen “peradaban”. Misionaris menjadi perpanjangan tangan kolonialisme, yang secara tidak langsung menyebarkan cara hidup Eropa dan menanamkan ketaatan pada kekuasaan kolonial.
Sekolah-sekolah misi, meskipun berhasil menekan praktik kekerasan suku dan memperkenalkan pendidikan formal, secara bersamaan menggantikan bahasa-bahasa lokal, menghapus sistem pendidikan adat, dan membentuk mentalitas tunduk terhadap “otoritas dari luar”.
Dalam banyak kasus, pendidikan misi tidak bertujuan membentuk manusia Papua yang kritis dan mandiri, tetapi tenaga kerja yang patuh dan terintegrasi dalam sistem kolonial. Mereka diajari membaca dan menulis bukan untuk menuntut hak, tetapi untuk menjalankan perintah atasan dan mencatat data untuk keperluan birokrasi.
Dengan demikian, sistem pendidikan kolonial menjadi alat domestikasi kultural yang melemahkan struktur berpikir kritis masyarakat Papua. Ini menunjukkan bagaimana hegemoni kultural (Antonio Gramsci) bekerja, di mana ideologi dominan disebarkan melalui institusi seperti sekolah untuk menciptakan konsensus dan penerimaan terhadap kekuasaan yang ada.
Warisan Kolonial dalam Struktur Sosial dan Politik Papua
Kolonialisme tidak berakhir pada masa pendudukan fisik semata. Warisannya masih terasa dalam struktur sosial-politik Papua kontemporer. Salah satu warisan terpenting adalah pembentukan sistem birokrasi dan kekuasaan yang hierarkis, terpusat, dan elitis.
Sistem ini sangat berbeda dengan pola kepemimpinan tradisional Papua yang bersifat kolektif, deliberatif, dan berbasis kesepakatan adat. Setelah integrasi Papua ke dalam wilayah Indonesia, struktur warisan kolonial ini tidak dibongkar, melainkan direproduksi.
Pemerintahan pusat meneruskan praktik-praktik kolonial dengan mengirimkan pejabat-pejabat non-Papua, menetapkan kebijakan dari Jakarta, dan menjadikan Papua sebagai “daerah pengawasan khusus” yang penuh militerisasi.
Bahkan, banyak kebijakan otonomi khusus pun masih dijiwai oleh mentalitas kolonial: melihat Papua sebagai objek pembangunan, bukan subjek dengan kedaulatan penuh atas masa depannya. Ini adalah bentuk “kontinuitas colonial” yang menunjukkan bagaimana pola kekuasaan yang telah mapan cenderung direplikasi meskipun rezim politik telah berubah.
Kolonialisme sebagai Proses Ideologis yang Masih Berlangsung
Kolonialisme di Papua bukan hanya peristiwa sejarah, melainkan proses ideologis yang masih berlangsung.
Dalam bentuknya yang baru, kolonialisme itu hadir dalam narasi dominan media nasional, kurikulum sekolah yang mengabaikan sejarah Papua, serta dalam kebijakan-kebijakan yang menyingkirkan perspektif orang asli.
Misalnya, pembangunan jalan, bandara, dan infrastruktur besar yang tidak berdasarkan aspirasi lokal, tetapi atas dasar kebutuhan negara. Orang asli Papua tidak hanya dikorbankan secara fisik, tetapi juga secara simbolik.
Mereka direduksi menjadi “penerima bantuan”, “masyarakat tertinggal”, atau “sasaran pembangunan”, tanpa pengakuan terhadap sejarah kolonial dan luka kolektif yang mereka alami. Dalam konteks ini, kolonialisme bukan sekadar kontrol teritorial, tetapi juga kontrol naratif dan identitas.
Ini sejalan dengan teori orientalisme Edward Said, di mana pihak yang dominan menciptakan narasi tentang yang lain (oriental/koloni) yang merendahkan dan membenarkan dominasinya.
Kolonialisme di Papua adalah fondasi awal dari proses peracunan struktural terhadap orang asli Papua. Ia bukan hanya mengambil alih tanah dan sumber daya, tetapi juga menggusur sistem sosial, adat, dan nilai-nilai hidup masyarakat.
Kolonialisme tidak berhenti di masa lampau; ia bertransformasi dan mewujud dalam bentuk kekuasaan baru yang lebih kompleks. Pemahaman kritis terhadap kolonialisme ini menjadi penting sebagai pijakan untuk memahami bagaimana budaya korupsi dan imperialisme kemudian tumbuh dan berkembang di atas fondasi yang sama.
Imperialisme Modern: Eksploitasi atas Nama Pembangunan
Jika kolonialisme menjadi fondasi penaklukan atas orang asli Papua secara langsung melalui kontrol militer dan administrasi, maka imperialisme modern melanjutkan dominasi itu dalam bentuk yang lebih halus namun tetap merusak.
Milsanya, eksploitasi ekonomi dan kontrol politik melalui proyek-proyek pembangunan yang berpihak pada kepentingan negara dan korporasi, bukan masyarakat adat.
Di Papua, imperialisme tidak datang dalam bentuk pasukan bersenjata, melainkan dalam bentuk kontrak tambang, perkebunan, konsesi lahan, investasi infrastruktur, serta kebijakan pembangunan nasional yang mengabaikan hak-hak dasar dan eksistensi orang asli Papua.
Ini merefleksikan teori “dependensi” (André Gunder Frank, Immanuel Wallerstein), yang berargumen bahwa negara-negara maju (pusat) mengeksploitasi negara-negara berkembang (pinggiran) melalui struktur ekonomi global.
Eksploitasi Sumber Daya Alam: Antara Freeport dan Kehancuran Ekologis
Salah satu contoh paling nyata dari imperialisme modern di Papua adalah keberadaan PT Freeport Indonesia, perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar di dunia yang beroperasi di dataran tinggi Mimika sejak tahun 1967.
Kehadiran Freeport telah menjadi simbol dari bagaimana kekayaan alam Papua dijadikan objek eksploitasi tanpa memberikan manfaat seimbang bagi rakyat lokal.
Kontrak yang diberikan tanpa konsultasi dengan masyarakat adat, kerusakan lingkungan yang masif, serta peminggiran komunitas Amungme dan Kamoro adalah bukti bahwa imperialisme hari ini bukan hanya soal dominasi ekonomi, tetapi juga perampasan ruang hidup.
Sebagai contoh konkret, dalam rentang waktu operasinya, Freeport telah membuang miliaran ton tailing (limbah sisa tambang) ke sungai-sungai dan laut, merusak ekosistem dan mengancam mata pencarian masyarakat adat.
Pada tahun 2018 saja, Freeport membuang sekitar 200.000 ton tailing per hari. Kompensasi yang diterima masyarakat adat seringkali tidak sepadan dengan dampak lingkungan dan sosial yang mereka alami.
Selain Freeport, banyak konsesi hutan diberikan kepada perusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan perusahaan sawit tanpa proses Persetujuan Bebas dan Informasi Awal (Free, Prior, Informed Consent/FPIC) dari masyarakat adat.
Tanah-tanah adat Papua dikapling dan dijual atas nama investasi dan pembangunan ekonomi nasional, yang pada akhirnya memperkaya segelintir elit Jakarta dan investor luar, tetapi memiskinkan masyarakat kampung.
Praktik ini menunjukkan bagaimana kapitalisme ekstraktif beroperasi, di mana sumber daya alam diekstraksi tanpa mempertimbangkan keberlanjutan atau hak-hak masyarakat lokal.
Transmigrasi dan Rekayasa Demografi
Program transmigrasi yang digalakkan sejak era Orde Baru adalah strategi imperialisme demografis yang merusak tatanan sosial Papua. Atas nama pemerataan pembangunan dan pemerataan penduduk, ribuan keluarga dari Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara dikirim ke Papua.
Akibatnya, terjadi perubahan komposisi penduduk di berbagai kota utama Papua, seperti Jayapura, Sorong, Timika, dan Merauke.
Sebagai gambaran, data menunjukkan bahwa persentase penduduk asli Papua di beberapa kota besar mengalami penurunan signifikan. Misalnya, di Kota Jayapura, penduduk asli Papua diperkirakan menjadi minoritas sejak awal 2000-an, dengan proporsi yang terus menurun di bawah 50% dibandingkan pendatang.
Di kota-kota seperti Timika dan Sorong, proporsi penduduk non-Papua bahkan jauh lebih tinggi. Orang asli Papua yang sebelumnya menjadi pemilik sah atas tanah dan wilayah adat kini menjadi minoritas di kotanya sendiri.
Mereka terpinggirkan dalam sektor ekonomi formal, pendidikan, dan akses terhadap layanan publik. Transmigrasi juga menimbulkan ketegangan sosial, konflik identitas, dan marginalisasi politik yang masih berlangsung hingga hari ini.
Imperialisme modern melalui transmigrasi bukan hanya soal pemindahan manusia, tetapi rekayasa kekuasaan, penghapusan identitas lokal, dan pembentukan dominasi budaya luar atas orang asli Papua.
Hal ini merupakan bentuk kolonisasi terselubung yang telah menghancurkan kohesi sosial masyarakat Papua. Ini juga dapat dianalisis melalui lensa “genocida kultural”, di mana identitas dan struktur sosial suatu kelompok dihancurkan secara sistematis.
Infrastruktur Megah, Ketidakadilan Nyata
Salah satu narasi utama pembangunan di Papua adalah “menyambungkan daerah terisolasi” melalui pembangunan jalan, jembatan, pelabuhan, dan bandara. Namun, pembangunan ini seringkali tidak berangkat dari kebutuhan riil masyarakat lokal, melainkan agenda nasionalisme simbolik dan proyek-proyek mercusuar yang menguntungkan kontraktor besar dan memperkuat kontrol negara atas wilayah-wilayah yang dinilai “rawan”.
Pembangunan jalan trans-Papua, misalnya, yang digembar-gemborkan sebagai simbol kemajuan, justru membuka akses masuk bagi perusakan hutan, perluasan militerisasi, dan migrasi besar-besaran dari luar.
Sementara itu, masyarakat asli Papua di sekitar proyek tetap hidup dalam kemiskinan, tidak memiliki akses air bersih, listrik, atau layanan kesehatan yang memadai. Menurut data dari BPS, pada tahun 2023, persentase penduduk miskin di Papua masih menjadi yang tertinggi di Indonesia, mencapai sekitar 26,03%, jauh di atas rata-rata nasional yang sekitar 9,36%.
Ironisnya, pembangunan infrastruktur seringkali diiringi dengan pendekatan keamanan yang represif. Ketika masyarakat mempertanyakan atau menolak proyek tertentu karena bertentangan dengan nilai adat atau merugikan lingkungan, mereka sering dicap separatis atau anti-pembangunan.
Inilah bentuk baru imperialisme yang menindas melalui dalih “kemajuan”. Ini mencerminkan konsep “developmentalism”, di mana pembangunan ekonomi diprioritaskan di atas segalanya, seringkali dengan mengorbankan hak asasi manusia dan lingkungan.
Pendidikan dan Media sebagai Alat Imperialisme Kultural
Imperialisme modern tidak hanya bekerja secara fisik, tetapi juga melalui kontrol atas pengetahuan dan informasi. Sistem pendidikan nasional yang diterapkan di Papua cenderung mengabaikan bahasa daerah, sejarah lokal, dan nilai-nilai adat.
Kurikulum yang seragam dari Jakarta menjadikan anak-anak Papua tercerabut dari akar budayanya dan dicekoki narasi dominan tentang nasionalisme tanpa kritik.
Selain itu, media arus utama di Indonesia seringkali menggambarkan Papua dari kacamata luar: sebagai wilayah konflik, sebagai beban pembangunan, atau sebagai daerah tertinggal. Perspektif orang asli Papua jarang mendapat tempat.
Narasi yang dibangun bersifat kolonialistik, yang memperkuat stigma terhadap orang Papua sebagai “pemalas”, “kasar”, atau “tidak mampu mengurus diri sendiri”.
Dalam konteks ini, imperialisme kultural menjadi sangat halus tetapi destruktif. Ia menghancurkan rasa percaya diri kolektif orang Papua, mengerdilkan identitas mereka, dan menciptakan ketergantungan psikologis terhadap “orang luar” sebagai penyelamat atau pembawa kemajuan.
Ini sejalan dengan teori soft power Joseph Nye, namun dalam konteks yang merugikan, di mana nilai-nilai dan ideologi dominan disebarkan untuk menciptakan kepatuhan.
Hegemoni Negara dan Kapitalisme Global
Imperialisme modern di Papua juga tidak bisa dilepaskan dari kepentingan kapitalisme global. Negara menjadi aktor utama yang membuka pintu bagi eksploitasi oleh perusahaan transnasional, dan pada saat yang sama menyingkirkan rakyatnya sendiri.
Dalam sistem ini, hukum sering menjadi alat legalisasi perampasan tanah dan kekuasaan, bukan sebagai pelindung hak asasi warga.
Korporasi besar seperti Freeport, Korindo (perusahaan kelapa sawit dan kayu), atau perusahaan sawit lainnya, menjadi mitra negara dalam menjalankan skema perampasan dengan alasan pembangunan ekonomi.
Di sisi lain, suara masyarakat adat, tokoh agama, dan aktivis lingkungan ditekan melalui berbagai cara—mulai dari kriminalisasi, kekerasan, hingga pembatasan ruang berekspresi. Ini mencerminkan analisis Noam Chomsky tentang bagaimana negara dan korporasi bekerja sama untuk melanggengkan kekuasaan dan menekan perbedaan pendapat.
Dengan demikian, imperialisme hari ini bekerja melalui jalinan erat antara negara, modal, dan kekuasaan militer yang mengepung ruang hidup orang asli Papua dari berbagai sisi: fisik, ekonomi, budaya, dan spiritual.
Imperialisme modern di Papua adalah lanjutan dari kolonialisme, hanya saja dalam bentuk dan wajah baru. Ia hadir melalui eksploitasi sumber daya alam, perusakan budaya, rekayasa demografi, pembangunan simbolik, dan penghapusan pengetahuan lokal.
Semua itu terjadi dengan justifikasi “pembangunan nasional” yang ternyata tidak berorientasi pada keadilan, melainkan pada akumulasi modal dan kontrol kekuasaan. Orang asli Papua tidak hanya menjadi korban perampasan ekonomi, tetapi juga perampasan eksistensi.
Bagian ini menunjukkan bahwa pembangunan yang tidak sensitif terhadap nilai lokal dan hak adat hanya akan melanggengkan imperialisme, memiskinkan komunitas adat, dan merusak masa depan generasi Papua.
(*) Nikodemus Kambu adalah penulis artikel ini. Ia seorang pensiunan guru SMA yang tinggal di Amban Manokwari, Papua Barat dan ketua Yayasan Wion Susai Papua.
