Gambar ilustrasi (doc: FIM WP)
DI JANTUNG Pegunungan Tengah Papua, tersembunyi sebuah gunung emas bernama Blok Wabu. Lokasi deposit emas dengan ketinggian 2.200-3.100 meter di atas permukaan laut di Intan Jaya ini, berjarak sekitar 35 kilometer arah utara Distrik Mineral Grasberg di Mimika.
Sejarahnya membentang sejak April 1990, ketika Freeport Indonesia pertama kali masuk dan Blok Wabu menjadi bagian dari area eksplorasi mereka yang sebelumnya dikenal sebagai Blok B, seluas 0,5 juta hektar.
Meskipun Freeport kemudian memilih untuk tidak menambang dan mengembalikan wilayah ini ke pemerintah sebelum tahun 2018, potensi kekayaan alamnya tak terbantahkan.
Diperkirakan Blok Wabu menyimpan 117 juta ton bijih dengan kadar rata-rata 2,16 gram emas per ton dan 1,76 gram perak per ton, dengan total sumber daya emas mencapai sekitar 8,1 juta ons.
Nilai potensinya yang fantastis, diperkirakan mencapai Rp 221 triliun, bahkan disebut-sebut lebih tinggi dari tambang Grasberg milik Freeport.
Namun, di balik gemerlap potensi emas tersebut, terbentang kisah pilu dan perjuangan yang tak terpisahkan dari masyarakat adat, khususnya perempuan suku Moni di Intan Jaya. Mereka adalah penjaga dan pengelola tanah adat yang kini terancam oleh rencana pertambangan dan eskalasi konflik di wilayah mereka.
Beban Ganda Perempuan Moni: Antara Adat dan Tambang
Dalam masyarakat adat Papua, pembagian peran antara laki-laki dan perempuan sangat kompleks dan saling melengkapi. Namun, kehadiran eksploitasi sumber daya alam yang diiringi kekerasan telah menciptakan beban ganda yang tak terperikan bagi perempuan Moni.
Mereka menjadi kelompok yang paling rentan, menanggung dampak terberat dari situasi yang berkembang. Salah satu persoalan utama yang dihadapi perempuan Moni adalah keterbatasan akses informasi mengenai rencana pertambangan Blok Wabu.
Mereka sama sekali tidak pernah diberitahu atau dilibatkan dalam perencanaan yang akan mengubah nasib kampung mereka. Padahal, perempuan Moni memegang peran krusial dalam menjaga dan mengelola tanah adat.
Ketiadaan akses informasi ini diperparah dengan dampak kehadiran militer yang masif. Menurut temuan Amnesty International Indonesia, eskalasi konflik di Intan Jaya meningkat tajam sejak akhir 2019, ditandai dengan peningkatan kehadiran militer Indonesia.
Militer membangun markas-markas baru, bahkan beberapa gedung pemerintahan juga digunakan sebagai pos. Kehadiran aparat keamanan Indonesia ini, selain karena konflik ideologi, juga dilatari oleh status lokasi tambang sebagai objek vital negara yang harus dilindungi.
Dampak langsungnya sangat dirasakan masyarakat, terutama perempuan Moni. Mereka harus menanggung ketakutan akan hilangnya nyawa suami akibat stigma separatis di tengah konflik ideologi.
Amnesty International mendokumentasikan delapan kasus dengan 12 korban pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan Indonesia di Intan Jaya pada tahun 2020 dan 2021, termasuk kasus dua bersaudara Alpianus dan Luther Zanambani, serta pembunuhan Pendeta Zanambani dan tiga bersaudara di sebuah klinik.
Kehadiran aparat juga membawa rasa takut yang mendalam bagi perempuan Moni, bahkan bagi mereka yang sedang mengandung. Pengalaman kekerasan militer di Papua telah meninggalkan trauma psikologis yang mendalam bagi mereka.
Secara ekonomi, perempuan Moni harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan uang. Hilangnya akses terhadap tanah dan suami yang mungkin menjadi korban konflik, memaksa mereka untuk menafkahi anak-anak dan memenuhi kebutuhan dasar seperti biaya sekolah.
Ironisnya, akses pendidikan perempuan Moni juga sangat terbatas. Komnas HAM menemukan bahwa militer mendirikan markas di sekolah, seperti di Kampung Bomba, Distrik Hitadipa, Intan Jaya, di mana ratusan anak tidak bisa bersekolah karena gedung sekolah dijadikan Pos Koramil Persiapan Hitadipa.
Penolakan Kuat dari Masyarakat
Rencana tambang tanpa pelibatan, perlindungan hak, dan pemahaman budaya setempat telah berdampak buruk bagi keberlangsungan hidup kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak. Kondisi ini juga akan makin memupuk ketidakpercayaan Orang Papua terhadap sistem negara Indonesia, memperparah konflik yang telah berlangsung lama.
Pengalaman pahit dengan Freeport di masa lalu telah memberikan pelajaran berharga bagi Komunitas Adat Moni, mendorong mereka untuk menolak keras rencana tambang di tanah mereka.
Penolakan ini menggema kuat seperti yang terlihat dalam Aksi Penolakan Kehadiran Investasi Blok Wabu pada Kamis, 17 Juli 2025. Ketika ratusan mahasiswa dan warga yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa dan Rakyat Papua menggelar aksi damai di Kabupaten Nabire, Papua Tengah.
Aksi yang dimulai pukul 08.00 pagi di sejumlah titik seperti Siriwini Atas, Karang Tumaritis, dan Wadio ini menyuarakan penolakan keras terhadap masuknya PT Blok Wabu di Intan Jaya. Massa terbanyak terlihat di Wadio, gabungan massa dari Nabire Barat, yang melakukan long march menuju Kantor DPRP Papua Tengah.
Suara “tolak, tolak dan tolak” bergema lantang diiringi bentangan spanduk berisi pesan penolakan. Aksi ini sempat memicu kekhawatiran warga, menyebabkan sejumlah kios, warung, dan bengkel tutup.
Gubernur Papua Tengah, Meki Nawipa, menjelaskan bahwa kewenangan penerbitan izin usaha pertambangan berada di tangan pemerintah pusat, bukan daerah.
Ia menegaskan bahwa perizinan pertambangan mineral dan batubara (minerba) dilakukan sesuai ketentuan undang-undang seperti UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 dan perubahannya, serta PP dan Permen terkait.
“Jadi gubernur tidak punya kewenangan untuk keluarkan izin tambang,” tegas Meki, berharap semua pihak tidak berasumsi bahwa Pemprov Papua Tengah memiliki kewenangan memberikan izin pertambangan.
Meskipun aparat keamanan berjaga-jaga untuk memastikan aksi berjalan tertib, penolakan masyarakat tetap kuat.
Blok Wabu, dengan potensi kekayaan emasnya yang luar biasa, kini menjadi simbol dari perjuangan masyarakat adat, khususnya perempuan Moni, untuk mempertahankan tanah, budaya, dan kehidupan mereka dari ancaman eksploitasi dan konflik.
(*) Tulisan ini merupakan hasil pengembangan redaksi dari catatan sikap politik organisasi Forum Independen Mahasiswa West Papua (FIM-WP).
