Sorong, Papua Barat Daya – Terik matahari cukup menyengat kulit di pelataran Kantor Gubernur Papua Barat Daya di Jalan Kurana, Kelurahan Remu Utara, Kota Sorong. Namun ratusan mama-mama Papua yang sudah berkumpul sejak pagi, tetap bertahan.
Ada mama-mama pedagang Papua yang sudah datang sejak pagi dari arah Klamono, bahkan dari wilayah perbatasan Kabupaten Sorong, Maybrat dan Sorong Selatan. Mereka tidak sekadar berdiri di bawah terik matahari; mereka membawa harapan dan tuntutan akan keadilan ekonomi yang telah lama dinanti.
Aksi damai ini merupakan puncak dari keresahan yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari mereka sebagai pedagang kecil yang semakin terpinggirkan di tanah kelahiran sendiri. Mereka datang hanya karena ingin bertemu dan mendengar tanggapan terkait aspirasi pembangunan pasar yang dapat menjadi tumpuan ekonomi.
Mereka datang bukan untuk berdagang hari ini. Melainkan untuk menyampaikan suara yang selama ini tenggelam di balik jargon pembangunan: mereka ingin keadilan, mereka ingin pasar sendiri, pasar khusus.
Sejak pukul 10 pagi, pelataran kantor gubernur berubah menjadi ruang rakyat. Bukan dengan amarah, tetapi dengan semangat, keteguhan dan harapan, para perempuan yang tergabung dalam Pasar Pedagang Mama-mama Papua Kota Sorong (P2MP-KS) menyampaikan tuntutan: pembangunan pasar khusus.
“Kami bukan menolak pembangunan,” ujar Yohanes Mambrasar, pengacara HAM dari PAHAM Papua dan pendamping komunitas mama-mama pedagang Kota Sorong. “Kami menolak dilupakan. Ketersediaan pasar khusus bagi mama-mama Papua adalah amanat Otsus. Itu bukan hadiah, tapi hak.”
Mambrasar, yang juga koordinator Perkumpulan Avaa Kota Sorong, membuka aksi dengan orasi yang menyulut tepuk tangan. Ia menjelaskan bahwa aksi ini merupakan hasil dari konsolidasi lintas wilayah. Mulai dari mama-mama pedagang Papua yang tersebar di sejumlah pasar maupun tempat jualan di Kota dan Kabupaten Sorong, Sorong Selatan, Maybrat, Tambrauw hingga Raja Ampat.
Masing-masing membawa kisah yang mirip: pergulatan ekonomi, tergusur dari ruang ekonomi, kalah bersaing oleh pedagang bermodal besar, dan tak memiliki ruang aman untuk berdagang.
Janji Dari Kantor Gubernur
Aksi damai ini akhirnya mendapat respons langsung dari Gubernur Papua Barat Daya, Elisa Kambu. Dia menemui massa yang berkumpul di pelataran depan kantor gubernur sekitar pukul 12.30 siang setelah mama-mama menanti dalam kondisi kelelahan oleh terpaan terik matahari, haus dan lapar.
Dalam dialog terbuka yang berlangsung hingga hampir pukul dua siang, gubernur menyampaikan apresiasinya atas perjuangan para mama.
“Saya akan bentuk tim bersama Pemkot dan Pemkab di wilayah ini untuk menginventarisir kebutuhan pasar khusus,” ujar Kambu. “Tapi saya juga minta mama-mama aktif berjualan bila pasar itu dibangun, agar tidak mubazir seperti pasar-pasar yang sebelumnya.”
Meski mendapat respons dari pemerintah, banyak mama-mama yang masih meragukan keseriusan realisasi janji tersebut. “Kami sudah terlalu sering dijanjikan. Yang kami butuhkan bukan hanya janji, tapi kebijakan nyata.” ungkap mama Agustina Mayor, seorang mama pedagang di Pasar Modern Rufei
Pengalaman sebelumnya juga menunjukkan bahwa pembangunan pasar sering kali tidak melibatkan mereka secara langsung, sehingga hasilnya tidak sesuai dengan kebutuhan. Lagipula, pembangunan pasar khusus membutuhkan biaya besar dan pendampingan yang serius.
Mama Agustina menyarankan agar pemerintah mengevaluasi dan mengoptimalkan pasar-pasar yang ada dengan memberi perhatian khusus kepada mama-mama pedagang Papua. Ia menyarankan agar pemerintah tidak hanya membangun pasar baru, tetapi juga mengevaluasi pasar yang sudah ada seperti di pasar modern Rufei.
“Misalnya dengan memperbaiki pengelolaan keamanan, arus lalu lintas angkutan umum, hingga menyediakan kios khusus yang tidak bisa dialihkan ke pedagang non-Papua,” ungkapnya.
Sayangnya, semangat perjuangan ini butuh pengorbanan. Banyak mama-mama yang kelelahan dan pulang lebih awal karena kehausan dan kelaparan. Tidak ada air minum. Tidak ada makanan. Sekretariat kantor gubernur tampak abai terhadap kebutuhan dasar para peserta aksi.
“Sakit hati juga rasanya. Kami datang dari jauh, bawa suara rakyat, tapi bahkan seteguk air pun tidak disiapkan,” ujar salah satu mama yang enggan disebutkan namanya, sambil mengipas wajahnya dengan sapu tangan.
Meski begitu, sebagian besar tetap bertahan hingga akhir pertemuan. Mereka bersorak ketika pengarahan penutup dari pendamping P2MP-KS menyatakan bahwa mereka akan kembali dua minggu lagi, untuk melihat sejauh mana pemerintah menanggapi tuntutan mereka.
Otsus, Pemekaran dan Marginalisasi OAP
Dalam rilis resmi yang dibacakan perwakilan P2MP-KS, mereka mengingatkan bahwa narasi besar Otonomi Khusus (Otsus) dan pemekaran provinsi harus menjelma dalam kebijakan nyata bagi rakyat, terutama bagi orang asli Papua (OAP).
Mereka menegaskan tiga tuntutan utama. Pertama, Pembangunan Pasar Khusus: Meminta pemerintah membangun pasar khusus bagi pedagang asli Papua di lokasi bekas Pasar Boswesen. Kedua, Pembinaan dan Modal Usaha: Mereka menginginkan program pembinaan usaha yang berkelanjutan, termasuk pemberian modal dan peningkatan kapasitas usaha.
Ketiga, Penyediaan Fasilitas Penunjang: Mereka berharap pemerintah menyediakan fasilitas seperti kendaraan untuk transportasi pedagang, meja, kursi, lemari, dan tenda jualan. “Dana Otsus itu bukan hadiah, itu milik kami,” tegas Levina Duwith, Ketua P2MP-KS. “Kami akan terus datang, terus menagih, sampai janji-janji itu ditepati.”
Di tengah hiruk-pikuk pembangunan nasional, suara dari pelataran kantor gubernur hari ini mengingatkan kita semua: pembangunan tidak boleh menjadi kata-kata kosong.
Ia harus menyentuh tanah, menyentuh noken, menyentuh meja jualan para mama yang sejak dahulu menjaga denyut ekonomi Papua dari bawah. Jika tidak, maka Otsus hanyalah lembaran kertas tanpa makna di tangan kekuasaan.
Kota Sorong, sebagai gerbang utama masuknya migran dan barang ke Tanah Papua, telah mengalami perubahan demografis signifikan. Data BPS Kota Sorong tahun 2023 mencatat bahwa orang asli Papua (OAP) hanya sekitar 27,48% dari total penduduk yang melebihi 294 ribu jiwa .
Perubahan komposisi demografi antara penduduk asli Papua dan migran di Kota Sorong yang demikian mencolok itu berdampak langsung pada akses ekonomi dan sosial warga asli Papua, termasuk mama-mama pedagang. Pasar-pasar tradisional yang dahulu menjadi ruang ekonomi bagi mama-mama Papua kini didominasi oleh pedagang non Papua.
Komoditas pangan lokal, jasa parkir, buruh pelabuhan, hingga tukang ojek online, sebagian besar telah dikuasai oleh kaum migran . Situasi ini memaksa banyak orang asli Papua, termasuk mama-mama, untuk beralih ke pekerjaan serabutan demi bertahan hidup.
Janji Otsus dan Ketidakpastian
Sejak diberlakukannya Otonomi Khusus (Otsus) pada tahun 2001, pemerintah pusat telah mengucurkan dana triliunan rupiah untuk pembangunan di Papua. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa dana tersebut belum secara signifikan meningkatkan kesejahteraan OAP.
Ketimpangan sosial, diskriminasi, dan ketidaksetaraan ekonomi masih menjadi tantangan utama. Mama-mama Papua, sebagai tulang punggung ekonomi keluarga, merasakan langsung dampak dari kebijakan yang tidak berpihak.
Pasar-pasar yang dibangun tanpa melibatkan mereka sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan, tidak representatif dan tidak sesuai dengan budaya lokal Papua. Akibatnya, banyak dari mereka terpaksa berjualan di pinggir jalan atau lokasi yang tidak strategis, menghadapi risiko keamanan dan ketidakpastian penghasilan.
Aksi damai mama-mama Papua di Kota Sorong adalah cerminan dari perjuangan panjang untuk mendapatkan keadilan ekonomi dan pengakuan atas hak-hak mereka sebagai penduduk asli.
Di tengah tantangan dan ketidakpastian, mereka tetap teguh menyuarakan aspirasi. Berharap bahwa suatu hari nanti, mereka tidak lagi menjadi penonton di tanah sendiri, melainkan aktor utama dalam pembangunan yang inklusif dan berkeadilan. (Julian Haganah Howay)
