
Mbak Danar dalam potret menyamping berwarna hitam putih (doc: Lami)
PERTEMUAN pertama itu berawal di kantor sekertariat sebuah organisasi masyarakat sipil bernama Bengkel Pembelajaran Antar Rakyat (Belantara), yang beralamat di Remu, Kota Sorong, dua dekade silam atau sekitar tahun 2008.
Saat itu, pikiran saya yang masih muda, labil dan lugu hanya mampu menangkap satu kesan: dia hanya seorang perempuan Jawa yang datang ke Papua untuk kawin dan menikah dengan kerabat kami, Max Binur.
Suaminya yang sering kami panggil kaka Max adalah direktur Belantara Papua. Sayangnya pada Kamis 18 September 2025, kaka Max juga ikut berpulang ke rumah bapa di surga.
Menyusul istrinya yang lebih dulu pergi beberapa bulan lalu membawa kisah dan kenangan. Baik Max dan istrinya, keduanya adalah guru dan pembimbing dalam mewarnai gerakan masyarakat sipil di Tanah Papua, terlebih di Sorong Raya.
Kesan awal bahwa istrinya hanya seorang perempuan Jawa bersuami Papua, adalah sebuah stereotip sederhana yang sempat melekat di benak.
Namanya Danar, atau yang lebih akrab kami sapa Mbak Danar. Ia bagai sosok asing yang tiba-tiba hadir dalam kehidupan kami, di tengah hutan Papua yang memeluk erat setiap cerita dan sejarah.
Waktu bergulir, hari-hari di Papua terus berputar. Saya mulai mengenal Mbak Danar lebih dekat, melampaui sekat-sekat etnis dan asal-usul. Perlahan, pikiran awal saya tentang “perempuan Jawa” itu runtuh, digantikan pemahaman yang lebih mendalam.
Di hadapan saya, bukan sekadar seorang istri, melainkan seorang perempuan dengan hati yang lapang, jiwa yang tulus, dan dedikasi yang tak terhingga.
Ia mendedikasikan seluruh hidupnya untuk perjuangan kemanusiaan di Tanah Papua, khususnya bagi kami, para pemuda yang berproses dan belajar bersamanya di belantara ini.
Mbak Danar adalah guru yang mendidik dalam sunyi, tanpa mencari sorotan atau validasi. Ia tidak pernah menuntut pengakuan, apalagi popularitas.
Yang ia lakukan hanyalah menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, mengajarkan kami arti ketulusan, dan memberikan pertolongan kepada siapa pun yang membutuhkan. Ia adalah aktivis perempuan yang mempraktikkan idealismenya dalam tindakan nyata, bukan sekadar teori yang bersemayam dalam buku.
Saya memiliki pengalaman pribadi yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata bersama Mbak Danar. Ada masa-masa sulit dalam hidup saya, ketika jalan terasa buntu dan harapan seolah pudar.
Mbak Danar selalu hadir, menjadi penyelamat di saat saya paling membutuhkan. Di tengah kesibukan masing-masing, kami sering bertemu, berbagi cerita tentang pelik hidup yang semakin rumit.
Terkadang, tawa-tawa kecil menguar, memecah kesunyian dan menjadi obat penenang bagi hati yang gundah. Mbak Danar adalah pendengar yang setia, yang tidak hanya mendengar keluh-kesah, tetapi juga memberikan solusi alternatif dengan tindakan yang luar biasa.
Ia adalah sosok kakak perempuan yang selalu ada, menjadi oase di tengah gurun. Dedikasinya dalam memperjuangkan hak pendidikan bagi anak-anak Papua dan hak-hak kaum minoritas sangat kami hormati.
Ia memahami betul bahwa pendidikan adalah kunci untuk memutus rantai kemiskinan dan ketidakadilan. Melalui karya-karyanya, ia seolah menabur benih harapan di tanah yang sering kali kering.
Mbak Danar percaya bahwa setiap anak Papua berhak mendapatkan kesempatan yang sama, berhak bermimpi, dan berhak menggapai masa depan yang cerah.
Jiwa revolusioner Mbak Danar bergejolak dalam diam. Ia tidak pernah lantang berteriak di panggung-panggung besar, tetapi gagasannya mengalir dalam setiap tindakan.
Ia memiliki mimpi dan harapan yang sederhana namun agung: tentang Manusia Papua yang bermartabat, yang hidup adil dan damai di atas tanah leluhurnya sendiri. Sebuah mimpi yang ia perjuangkan dengan sepenuh hati, tanpa lelah.
Melampaui batas samudera, melintasi gunung, dan pesisir pantai, kebaikan Mbak Danar telah menyentuh banyak hati. Ia datang dari seberang lautan, tetapi berhasil menemukan rumah di hati kami, di Tanah Papua.
Terima kasih, Kakak Danar, untuk setiap kebersamaan dan cinta yang tulus. Semangat perjuanganmu akan selalu menjadi lilin-lilin kecil yang menerangi kami dalam gelapnya jalan sunyi ini.
Engkau telah membuktikan bahwa kebaikan tidak mengenal batas, tidak dibatasi oleh suku, ras, atau etnis. Kebaikanmu melampaui segalanya, dan itu adalah pelajaran paling berharga yang pernah kami terima.
(*) Lami Faan adalah penulis artikel ini. Dia adalah aktivis perempuan dan HAM dari Maybrat.