Mama-mama Pedagang Papua saat menghadiri pertemuan koordinasi di pelataran depan Kantor Wali Kota Sorong (doc: P2MPKS)
“Perjuangan Tak Kenal Lelah untuk Keadilan Ekonomi di Tanah Sendiri.”
Sorong, Papua Barat Daya – Pagi-pagi benar, aroma pinang dan daun ubi jalar (betatas) masih tercium di sela-sela tenda-tenda darurat yang biasa jadi tempat mengais rejeki. Tapi pada Kamis, 10 Juli nanti, lebih dari 500 mama-mama pedagang Papua tak akan duduk di tikar jualan.
Mereka akan berdiri tegak, berjalan bersama menuju Kantor Gubernur Papua Barat Daya (PBD) di Kota Sorong. Mereka datang membawa lebih dari sekadar data. Mereka membawa harapan dan harga diri.
Komunitas Pasar Pedagang Mama-Mama Papua Kota Sorong (P2MPKS), yang sejak 2024 telah aktif mengorganisir mama-mama Papua dari berbagai kabupaten dan kota di wilayah Sorong Raya, akan kembali menemui Gubernur Elisa Kambu.
Agenda mereka sudah diatur dengan jelas: menyerahkan hasil pendataan lebih dari 4.000 pedagang asli Papua, dimana 95 persen di antaranya adalah perempuan dan meminta tindak lanjut konkret atas janji-janji yang telah diberikan.
Kehadiran mama-mama pedagang Papua di Kantor Gubernur PBD merupakan tindak lanjut dari pertemuan pada 25 April lalu, saat Gubernur Elisa Kambu menerima aspirasi mama-mama Papua, yang mencakup permintaan dukungan modal usaha, penyediaan fasilitas jualan yang layak, dan pembangunan Pasar Khusus Mama-Mama Papua.
Dalam pertemuan itu, gubernur juga secara lisan memberi mandat kepada P2MPKS untuk mendata seluruh pedagang asli Papua di wilayah Papua Barat Daya. Mulai dari pasar utama hingga lorong-lorong kampung.
Misi itu telah dilaksanakan dengan penuh dedikasi. Pada pendataan dan konsolidasi tahap pertama, tim relawan, pendamping hukum, dan para koordinator lapangan bergerak dari Kota Sorong hingga sejumlah area dimana pedagang Papua tersebar di Kabupaten Sorong.
Mereka tidak hanya mendata, tetapi juga mengorganisir pedagang ke dalam kelompok-kelompok berbasis wilayah. Membentuk lebih dari 60 struktur pengurus lokal, demi membangun sistem koordinasi dan solidaritas antar pedagang.
Pada tahap berikutnya, tim akan menyisir wilayah Maybrat, Sorong Selatan, Tambrauw hingga pasar-pasar kecil di Raja Ampat.
“Jad ini bukan hanya soal pasar. Ini tentang hidup kami, anak-anak kami, dan hak kami sebagai perempuan Papua,” ujar Kezia Asrima, koordinator mama-mama Pedagang Papua di KM 13 saat menjadi nara sumber di RRI Sorong mewakili tim P2MPKS.
Ia kadang berjualan di Pasar Sentral Remu di Kota Sorong yang disediakan pemerintah daerah. Namun di pasar ini, kondisi mama-mama pedagang Papua begitu memprihatinkan. Ada realitas dan ironi ketika pasar makin berkembang, pedagang bertumpuk dan fasilitas tidak memadai.
Di Pasar Remu misalnya, mama-mama Pedagang Papua hanya bisa berjualan di pinggiran jalan dan lorong-lorong pasar dengan beralaskan karung, karton dan daun pisang seadanya. Beberapa mama-mama juga membuat meja jualan dan tenda sebisa mungkin.
Sementara ada potret keprihatinan yang lain. Sejumlah mama-mama Papua dari area perbatasan Kabupaten Sorong-Sorong Selatan dan Maybrat, memilih datang ke Pasar Remu dengan menumpang transportasi publik di sore hari, lalu berjualan pada malam hingga dini hari menjelang pagi.
Dalam perjuangan ekonomi dan penderitaan ini, mereka harus rela tidur sambil menjaga jualan di malam hingga pagi hari. Bahkan sejumlah mama-mama Papua ada yang terpaksa membawa anak balita.
Ritme perjuangan hidup semacam ini membuat mereka rentan mengalami kondisi cuaca yang buruk; terkena hujan dan panas di siang hari, menghirup debu jalanan, bau tak sedap dan sakit.
Bagi yang tinggal di area pinggiran Kota dan Kabupaten Sorong, setelah berjualan mereka akan menumpang angkutan pedesaan kembali ke rumah dengan ongkos transportasi yang tergolong mahal.
Ini tidak seimbang dengan perjuangan mereka, tenaga dan ongkos transportasi yang sudah dikeluarkan pulang-pergi, hanya untuk datang berjualan di Pasar Sentral Remu.
Menantang Kekerasan Struktural dan Mimpi Pasar Khusus
Bagi mama-mama Papua, pasar bukan sekadar tempat jual beli. Ini adalah ruang hidup. Di sanalah mereka membesarkan anak-anak, membiayai sekolah, dan menyambung hidup. Namun selama ini, pasar modern seringkali tidak menyediakan tempat layak bagi mereka.
Banyak yang harus berjualan di tanah tanpa alas. Di emperan toko, atau di lorong-lorong jalan, trotoar dan emperan toko, bersaing tidak adil dengan pedagang migran bermodal besar.
Dalam pertemuan dengan Wakil Gubernur Ahmad Nausrauw pada Mei lalu, yang menggantikan kehadiran Gubernur Kambu karena menghadiri acara HUT Raja Ampat, P2MPKS menyampaikan tujuh poin tuntutan.
Diantaranya termasuk pembangunan pasar khusus pedagang Papua di bekas lokasi Pasar Boswezen, penyediaan modal usaha yang dikelola koperasi mama-mama secara mandiri dan transparan, hingga pengadaan transportasi dagang lintas kampung yang dikelola komunitas.
“Kami tidak minta belas kasihan. Kami minta keadilan,” tegas Yohanis Mambrasar, pendamping hukum dari tim P2MPKS.
Menurutnya, diperlukan sebuah ruang dalam konteks kebijakan Otonomi Khusus Papua untuk mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua di sektor ekonomi. “Sepanjang ruang-ruang afirmasi, proteksi dan pemberdayaan, termasuk yang sifatnya regulasi dapat dimanfaatkan”.
Selama puluhan tahun, mama-mama Papua telah menghadapi diskriminasi pasar: diusir dari tempat jualan, tidak diakomodasi dalam pembangunan pasar, hingga minimnya akses terhadap modal dan fasilitas ekonomi.
Dalam konteks Otonomi Khusus yang seharusnya menjamin keberpihakan terhadap Orang Asli Papua (OAP), ketidaksetaraan ini mencerminkan bentuk kekerasan struktural yang nyata.
Gerakan P2MPKS hadir sebagai salah satu alternatif gerakan sosial di bidang ekonomi. Mereka bukan lagi objek pembangunan, tetapi subjek yang mengorganisir dirinya, menyusun proposal kebijakan, dan membangun sistem ekonomi komunitas.
Konsolidasi yang dilakukan di 56 titik kompleks hanya dalam beberapa bulan membuktikan bahwa mama-mama Papua pelaku ekonomi di sektor informal siap menjadi mitra pemerintah dan sejumlah pihak, dalam pembangunan ekonomi yang adil dan berkelanjutan.
Membangun Papua dari Emperan Pasar
Pada Kamis, 10 Juli 2025 pukul 09.00 WIT, halaman Kantor Gubernur PBD akan kembali dipenuhi noken, baliho, dan suara perjuangan yang hangat. Surat pemberitahuan pertemuan sudah disampaikan secara resmi oleh tim pendamping ke bagian protokoler kantor gubernur.
“Mama-mama akan datang bukan untuk berdemo, tetapi untuk menyerahkan hasil kerja keras mereka dan mendesak realisasi komitmen pemerintah,” ujar Yohanis Mambrasar, Koordinator Tim Hukum P2MPKS.
Lebih dari 500 mama-mama dari Kota dan Kabupaten Sorong, perwakilan dari Maybrat, Tambrauw, Raja Ampat, hingga Sorong Selatan diperkirakan akan hadir. Mereka membawa bukan hanya nama-nama dalam lembaran data, tetapi kisah hidup yang menuntut didengar dan diperlakukan adil.
Sejarah perubahan seringkali lahir dari tempat-tempat tak terduga, termasuk dari emperan pasar. Di tanah yang masih terus mencari bentuk keadilan sosialnya, suara mama-mama Papua adalah pengingat bahwa pembangunan sejati dimulai dari pengakuan.
Pengakuan atas hak, atas martabat, dan atas peran perempuan Papua dalam menopang kehidupan ekonomi di akar rumput. Apa yang mereka minta bukan kemewahan. Mereka meminta ruang secara harfiah dan simbolik untuk hidup dengan layak di tanah yang mereka sebut rumah.
Hari Kamis nanti, mereka akan kembali menagih janji itu. Dengan kepala tegak dan noken di tangan, mereka datang membawa harapan untuk Papua yang lebih adil. (Julian Haganah Howay)
