
Kasus penembakan terhadap warga sipil oleh anggota TNI AD di Asmat menyebabkan sebuah pos militer dibakar massa (doc ; ist)
Asmat, Papua Selatan – Kabupaten Asmat, yang seharusnya menjadi salah satu wilayah ‘aman dan damai’ di selatan Papua, dikejutkan oleh letusan senjata mematikan pada Sabtu, 27 September 2025.
Insiden tragis yang diduga melibatkan oknum anggota TNI Angkatan Darat (AD) Satgas Yonif 123/Rajawali ini menewaskan seorang warga sipil bernama Irenius Baotaipota (21 tahun) dan melukai beberapa warga lain, termasuk seorang anak di bawah umur, Erik Amiyaram.
Kejadian ini akhirnya memicu kemarahan dan serangan balik berupa pembakaran Pos Satgas TNI oleh warga yang marah di Distrik Agats. Tak hanya itu, kasus ini pun membuka kembali perdebatan krusial tentang penempatan pasukan non-organik di wilayah sipil dan minimnya akuntabilitas militer dalam kasus-kasus kekerasan di tanah Papua.
Menurut keterangan pers dari Kapendam XVII/Cenderawasih, Kolonel Infanteri Candra Kurniawan, insiden tersebut terjadi sekitar pukul 07.45 WIT. Kejadian bermula ketika anggota Satgas TNI berupaya menenangkan Irenius Baotaipota, yang saat itu diduga dalam kondisi mabuk dan menyebabkan keributan.
Pihak TNI mengklaim bahwa korban melawan dan menyerang anggota Satgas, sehingga prajurit tersebut merasa terancam dan mengeluarkan tembakan peringatan. Namun, tembakan tersebut secara fatal mengenai korban, yang kemudian tewas di tempat.
Dari sejumlah foto dan video yang beredar luas di media sosial, korban Irenius Baotaipota yang tergeletak dengan kepala bersimbah darah diatas rangkaian jembatan papan kayu, lalu ditangisi dengan histeris oleh kerabat keluarga. Mereka tampak shock dan tidak menerima perlakuan aparat TNI.
Selain Irenius, insiden ini juga melukai Petrus Bakas, Gerfas Yaha, dan Erik Amiyaram (korban anak di bawah umur). Para korban ini kemudian dievakuasi ke rumah sakit. Peristiwa ini telah memecah keheningan Agats ibukota Asmat yang biasanya tenang.
Alih-alih meredam, respons ini justru memicu gelombang amarah warga setempat. Pada hari yang sama, massa menyerang dan membakar habis Pos Satgas Yonif 123/Rajawali di Jalan Pemda, Distrik Agats, Asmat, sebagai bentuk protes keras terhadap tindakan aparat.
Indikasi Pelanggaran Hukum dan HAM
Kasus ini dengan seketika mendapat perhatian publik. Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua (KPHHP) yang terdiri dari belasan organisasi HAM terkemuka, termasuk LBH Papua, Elsham Papua, dan Kontras Papua, dengan keras mengutuk insiden tersebut.
Koalisi ini menilai kasus tersebut sebagai pelanggaran serius terhadap Hak Asasi Manusia, khususnya Hak Hidup. KPHHP menunjukkan kontradiksi fundamental antara tugas pokok TNI dan tindakan yang dilakukan.
“Tugas TNI adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,bukan menghilangkan nyawa warga sipil,” tegas Koalisi. Mereka menegaskan bahwa fungsi utama menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) adalah kewenangan Kepolisian, bukan TNI, apalagi di wilayah aman seperti Asmat.
KPHHP bahkan merinci potensi jerat pidana yang harus dihadapi oknum TNI tersebut, mulai dari Tindak Pidana Pembunuhan (Pasal 338 KUHP) atau Penganiayaan Berat (Pasal 351 Ayat 3 KUHP), hingga Tindak Pidana Penyalahgunaan Senjata Api (UU No. 12 Tahun 1951).
Selain itu, korban anak dibawah umur turut menegaskan adanya Pelanggaran Hak Anak. “Tindakan oknum TNI terhadap Masyarakat Sipil Papua di Kabupaten Asmat merupakan Tindakan sewenang-wenang yang berujung pada meninggalnya salah satu masyarakat sipil Papua”.
Tuntutan Keadilan dan Evaluasi Keberadaan Pasukan Non-Organik
Kasus di Asmat ini menambah deret panjang insiden kekerasan militer terhadap warga sipil di tanah Papua.
Kejadian serupa, di mana interaksi berujung fatalitas, sering terjadi, terutama di wilayah konflik yang padat dengan kehadiran Pasukan Non-Organik (TNI) yang ditempatkan di luar struktur komando teritorial reguler.
KPHHP lantas mendesak Panglima TNI untuk segera mengevaluasi keberadaan penempatan Pasukan Non-Organik di wilayah kota dan padat penduduk di tanah Papua yang statusnya daerah aman dan damai seperti Asmat.
Tim koalisi ini juga mendesak agar oknum anggota TNI yang melakukan penembakan, perlu diproses hukum secara transparan. Ini demi memenuhi hak atas keadilan bagi korban Irenius Baotaipota dan korban luka-luka lainnya, termasuk anak di bawah umur.
Lebih lanjut, KPHHP mendesak Gubernur Papua Selatan dan Bupati Asmat untuk menggunakan kewenangan konstitusional mereka dalam memastikan tidak terjadi impunitas dan bahwa hak atas keadilan para korban terpenuhi sesuai prinsip negara hukum Indonesia.
Desakan agar Komnas HAM RI dan Komnas Perlindungan Anak Indonesia segera melakukan Investigasi Pro Justicia juga ditekankan untuk memastikan proses hukum berjalan independen.
Peristiwa di Asmat adalah ilustrasi nyata dari kegagalan reformasi sektor keamanan di tanah Papua. Penempatan pasukan non-organik di wilayah yang dikategorikan ‘damai’ secara efektif memiliterisasi ruang sipil. Hal ini menciptakan kerentanan tinggi terhadap konflik horisontal dan eskalasi kekerasan.
Narasi yang dibangun TNI bahwa penembakan terjadi karena korban mabuk, melawan, dan anggota merasa terancam, seringkali menjadi dalih yang berulang dalam kasus kekerasan militer terhadap orang Papua.
Bahkan jika ada keributan, penanganan awal seharusnya dilakukan oleh Polisi atau setidaknya dilakukan dengan protokol pelumpuhan non-fatal, bukan tembakan yang merenggut nyawa.
Keberadaan militer di ruang publik sipil seharusnya dibatasi pada konteks bantuan kemanusiaan atau ancaman keamanan yang spesifik. Di Asmat, ketiadaan ancaman militer yang nyata membuat kehadiran Satgas tersebut rentan terhadap penyalahgunaan wewenang dan penggunaan senjata api yang berlebihan.
Selama Panglima TNI tidak secara fundamental mengevaluasi dan menarik Pasukan Non-Organik dari zona sipil, dan selama proses hukum militer masih cenderung menutup-nutupi (impunitas), insiden serupa akan terus terjadi.
Ini adalah krisis yang menuntut intervensi politik dan hukum dari pusat dan dunia internasional, agar Hak Hidup warga sipil di tanah Papua tidak terus-menerus menjadi korban akibat ekspansi militer Indonesia dan kegagalan tata kelola keamanan. (Julian Haganah Howay)