
Gambar ilustrasi perampasan tanah proyek PSN Merauke, Papua Selatan (Julian Haganah Howay/ChatGPT Image Generate)
Merauke, Papua Selatan – Di sebuah rumah sederhana di Kampung Soa, Distrik Tanah Miring, Mama Yohana duduk sambil memandangi salinan dokumen yang telah disimpannya sejak tahun 1990.
Di atas kertas yang mulai menguning itu tertulis pernyataan pelepasan hak atas tanah, disertai tanda tangan Marga Balagaize, pemilik ulayat yang secara sah dan adat menyerahkan sebagian tanah kepada 75 keluarga yang kini mendiami Dusun Arwa.
Namun, sejak pertengahan 2024, tanah itu tidak lagi tenang. Datang alat berat. Datang pekerja perusahaan. Datang patok-patok yang memisahkan kebun dari halaman rumah. Semua datang tanpa pemberitahuan, tanpa persetujuan, dan tanpa dialog.
Pada Selasa, 27 Mei 2025, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Merauke menerima pengaduan resmi dari 75 keluarga Orang Asli Papua (OAP) yang tinggal di Dusun Arwa. Mereka berasal dari Kampung Soa, Distrik Tanah Miring, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.
Isi aduan mereka jelas: penyerobotan tanah oleh PT. Global Papua Abadi (GPA), perusahaan yang bergerak dalam proyek pengembangan swasembada energi di bawah skema Proyek Strategis Nasional (PSN). Menurut pengaduan itu, perusahaan GPA masuk ke wilayah yang telah ditempati 75 keluarga sejak 1942.
Masyarakat telah memiliki dokumen legal pelepasan hak atas tanah dari Marga Balagaize, dilengkapi bukti-bukti seperti akta adat dan dokumentasi upacara adat suku Malind yang dilakukan saat pelepasan. Upacara itu disaksikan oleh saksi-saksi dari berbagai pihak, yang hingga kini masih hidup dan dapat dimintai keterangan.
Namun, semua itu tampaknya tidak diindahkan. PT. Global Papua Abadi tetap masuk ke wilayah tersebut, mengklaim tanah itu sebagai bagian dari konsesi seluas 30.777,9 hektar untuk produksi tebu dan bioetanol.
Proyek ini didukung langsung oleh negara melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol, serta Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 15 Tahun 2024 tentang Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Papua Selatan.
Proyek Negara, Konflik yang Berulang
PT. GPA bukan satu-satunya perusahaan yang menghadapi penolakan. Sejak proyek PSN diumumkan, gelombang protes datang dari masyarakat adat di Merauke. Suku Kimahima, Maklew, Malind, dan Yei adalah sebagian yang telah menyatakan sikap menolak.
Mereka menyebut proyek ini sebagai bentuk perampasan tanah, penghilangan hak adat, dan ancaman terhadap kelangsungan hidup masyarakat Papua.
Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan bahwa sepanjang 2024, terdapat 75 konflik agraria di Tanah Papua. Mayoritas disebabkan oleh ekspansi lahan untuk proyek-proyek industri berbasis lahan seperti sawit, tebu, dan tambang.
Sementara itu, riset Yayasan Pusaka mencatat bahwa lebih dari 2 juta hektar tanah di Papua telah dikonsesikan. Namun hanya sebagian kecil yang mengikuti mekanisme konsultasi dan persetujuan bebas dan didahulukan (FPIC) sebagaimana diatur dalam hukum nasional dan internasional.
Kajian Hukum: Pelanggaran HAM dan Tindak Pidana
Kembali ke Dusun Arwa, pengaduan 75 keluarga kepada LBH Papua Merauke mengandung lebih dari sekadar laporan hukum. Ini adalah jeritan. Menurut mereka, sejak 1942, tanah itu telah mereka olah, mereka rawat, dan menjadi sumber penghidupan sehari-hari.
Ketika tanah itu dirampas, maka kehidupan mereka ikut terancam. “Kami tidak pernah menjual. Kami punya dokumen, kami punya saksi, dan kami punya sejarah. Tapi sekarang kami dipaksa pergi seolah kami tidak pernah ada,” ungkap seorang mama yang ikut menyampaikan aduan.
Sebagian besar pengadu terdiri dari para perempuan yang selama ini menjadi tulang punggung pangan keluarga. Ketakutan yang mereka bawa bukan hanya tentang kehilangan tempat tinggal, tetapi kehilangan masa depan anak-anak mereka.
LBH Papua Merauke, setelah menelaah kasus ini, menyatakan bahwa dugaan tindakan PT. Global Papua Abadi melanggar hukum pidana dan perdata Indonesia, yakni: Pasal 385 jo 372 KUHP tentang penyerobotan dan penggelapan tanah. Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian.
Lebih jauh, dari sisi jumlah korban dan dampak terhadap hak hidup, LBH menilai tindakan ini mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia. Masyarakat kehilangan hak atas tanah, sumber daya alam, dan mata pencaharian, yang merupakan bagian dari hak hidup layak sebagaimana dijamin oleh Konstitusi UUD 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia.
Berdasarkan seluruh fakta tersebut, LBH Papua Merauke mendesak: Pertama, PT. Global Papua Abadi segera menghentikan semua aktivitas perbuatan melawan hukum di atas lahan milik 75 keluarga di Dusun Arwa.
Kedua, Gubernur Papua Selatan dan Bupati Merauke segera memanggil pihak PT. GPA untuk klarifikasi, menghentikan penyerobotan dan penggelapan tanah, serta memulai proses pemulihan hak-hak masyarakat sebagai bentuk penghormatan dan perlindungan HAM. (Julian Haganah Howay)