
Gambar ilustrasi kepalan dua tangan dari ras berbeda memutuskan rantai penindasan (Sumber: ChatGPT image generate).
Yahukimo, Papua Pegunungan – Malam itu, 20 Agustus 2024, hujan baru saja reda ketika suara tembakan menggema di Jalan Sekla, sebuah jalan kecil di kota Dekai, Kabupaten Yahukimo. Di bawah cahaya temaram lampu jalan, tubuh Tobias Silak, staf Bawaslu Yahukimo, tergeletak bersimbah darah.
Tembakan mengenai kepala dan pelipis kirinya. Tak jauh dari sana, seorang warga sipil lain, Naro Dapla, merintih kesakitan dengan luka tembak di lengan dan paha. Kabar penembakan menyebar cepat ke penjuru tanah Papua.
Tobias, seorang aparatur sipil negara, tewas bukan dalam perang, bukan dalam kerusuhan. Melainkan dalam aktivitas kesehariannya, ditembak oleh aparat gabungan dari Satgas Operasi Damai Cartenz yang seharusnya melindungi warga.
Keesokan harinya, suasana duka bercampur amarah menyelimuti keluarga Tobias dan masyarakat Yahukimo. Sejumlah suku yang menaungi wilayah ini menyatakan satu suara: menolak segala bentuk “bayar kepala” atau kompensasi tradisional yang ditawarkan oleh pihak kepolisian.
“Anak kami bukan hewan buruan. Dia manusia. Dia pegawai negara. Kami tidak butuh uang. Kami butuh keadilan,” tegas seorang perwakilan keluarga Tobias saat itu.
Desakan agar kasus ini diusut secara hukum mengalir deras. Namun, seperti banyak kasus kekerasan aparat di Papua, perjalanan menuju keadilan kembali berjalan lambat, nyaris tertahan.
Investigasi yang Tertutup dan Terlambat
Komnas HAM RI bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua mengirim tim investigasi ke Dekai pada 24-26 September 2024. Mereka mewawancarai saksi, mengumpulkan bukti, dan menyusun laporan.
Namun, hasil investigasi baru dibuka pada 17 Desember secara tertutup, hanya melalui keluarga korban. Itu pun setelah terjadi aksi serentak di berbagai kota di Papua dan Indonesia sehari sebelumnya, pada 16 Desember.
Bersamaan dengan meningkatnya tekanan publik, barulah Polda Papua menyampaikan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) pada 13 Januari 2025. Di dalamnya, hanya dua anggota Brimob disebut sebagai tersangka: Fernanfo Alexander Aufa dan Muh. Kurniawan Kudu. Tidak ada kejelasan soal komandan mereka atau atasan yang memberi perintah.
Selama lebih dari delapan bulan, keluarga Tobias menanti. Pemeriksaan dilakukan terhadap 36 saksi, termasuk tiga anggota keluarga korban. Bukti-bukti telah disita. Namun, baru pada 30 April 2025, berkas perkara dilimpahkan ke kejaksaan.
Bagi Front Justice for Tobias Silak, ini bukan sekadar kelambanan administrative. Tapi bentuk perlindungan sistematis terhadap para pelaku di tingkat komando.
“Ini pelanggaran terhadap asas peradilan yang cepat dan sederhana. Mereka bukan hanya memperlambat proses, mereka sedang menutup-nutupi,” ujar Herliana Sobolim, Koordinator Front Justice.
Dalam upaya mengusut kasus ini, penyidik hanya menjerat para tersangka dengan sejumlah pasal yang ringan untuk tidakan yang berat: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) dengan ancaman maksimal 15 tahun, Pasal 359 KUHP (kelalaian mengakibatkan kematian), dan Pasal 360 KUHP (kelalaian mengakibatkan luka berat).
Tak satu pun pasal berat digunakan, seperti Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana yang memungkinkan hukuman mati atau seumur hidup, atau Pasal 55 KUHP yang menyasar aktor intelektual dan atasan.
“Penembakan ini bukan kecelakaan. Tobias ditembak di kepala. Itu bukan kelalaian,” ujar Gustaf Kawer, kuasa hukum keluarga korban, dalam sebuah wawancara.
Pelanggaran HAM, Desakan dan Ancaman Aksi Besar
Front Justice menegaskan bahwa kasus ini tidak layak disidangkan di pengadilan umum. Penembakan terhadap Tobias Silak harus dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Penembakan oleh aparat bersenjata, terhadap warga sipil, dalam konteks militerisasi Papua yang sistematis, telah memenuhi unsur “meluas” dan “terorganisir”.
Dalam pernyataan terbarunya, Front Justice for Tobias Silak menyampaikan sembilan tuntutan, antara lain: (1). Komnas HAM RI dan Kepolisian RI perlu mengungkap aktor di level komandan yang terlibat dalam kasus penembakan Tobias Silak.
(2). Komnas HAM dan Kepolisian RI dalam penyelidikan dan penyidikan perlu menggunakan Pasal 340 Tentang Pembunuhan Berencana dan Pasal 55 Tentang Turut Serta untuk menjerat pelaku dilevel komandan hingga pelaku langsung/pelaku dilapangan.
(3). Mendesak proses hukum perlu dilakukan secara transparan dengan memperhatikan akses bagi keluarga korban dan masyarakat Papua untuk menghadiri sidang yg dilakukan secara terbuka untuk umum. (4). Pelaku harus divonis maksimum dan dipecat dari kesatuan, serta memperhatikan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban dan keluarga.
(5). Mengacam tindakan tim penyidik yang masih melindugi kedua pelaku di level komandan. (6). Jaksa Penuntut Umum ( JPU) segera mempercepat proses persidangan dan melimpahkan berkas ke pegadilan Jayapura dalam minggu besok (secepatnya).
(7). Bahwa dengan pertimbangan keamanan di Wamena yang tidak memungkinkan sehingga kelurga korban meminta sidang harus dilakukan di Pegadilan Negeri Jayapura. (8). Hentikan segala bentuk pembunuhan diluar hukum (exstra judicial killing) di seluruh tanah Papua. (9). Apabila tuntutan ini tidak dipenuhi, maka Front Justice for Tobias Silak akan mobilisasi massa di Indonesia dan Papua.
Hingga Mei 2025, kasus ini telah memasuki tahap penyerahan berkas ke kejaksaan. Namun, belum ada kepastian waktu sidang. Karena itu pihak keluarga, tim hukum dan solidaritas mendorong agar persidangan digelar secepatnya, dengan sorotan media dan pemantauan HAM.
“Kalau negara membiarkan kasus ini seperti lewat angin, maka rakyat Papua akan terus ditangkap, ditembak, dan dibunuh tanpa konsekuensi. Maka kami akan turun ke jalan,” ujar Herliana dalam konferensi pers 24 Mei 2025 di Jayapura. (Julian Haganah Howay)