Kamis, 14 Nov 2024
Politik

Dibalik Pembebasan Pilot Selandia Baru Setelah 20 Bulan Disandera di Papua

Philip Mehrtens (ketiga dari kiri) duduk bersama warga Nduga di dalam sebuah rumah menjelang pembebasannya (dok foto; TPNPB).

WENE BULETIN – Philip Mehrtens, seorang pilot asal Selandia Baru yang disandera Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB OPM) pada 7 Februari 2023 silam, akhirnya dibebaskan setelah melalui negosiasi panjang.

Mehrtens ditangkap setelah pesawat komersial kecil milik maskapai Susi Air yang dipilotinya mendarat di wilayah terpencil Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan. Ini adalah sebuah daerah yang menjadi pusat konflik berkepanjangan antara gerakan separatis Papua dan pemerintah Indonesia.

Konflik yang telah berlangsung selama enam decade ini, sering kali melibatkan kekerasan, penyanderaan, dan serangan terhadap aset Pemerintah Indonesia. Setelah hampir 20 bulan dalam penyanderaan kelompok TPNPB wilayah Ndugama yang dipimpin Egianus Kogoya, Mehrtens diserahkan kepada otoritas Indonesia di desa Yuguru di distrik Maibarok sebelum diterbangkan ke Timika.

Meskipun terlihat kurus dan berjenggot panjang, Mehrtens dilaporkan berada dalam kondisi sehat. Dalam sebuah tayangan video sebelum dia diterbangkan menggunakan sebuah helicopter ke Timika, dia sempat bersalaman dengan penuh suasana haru dengan warga setempat yang melepaskan kepergiannya. Dia juga diberikan dua ekor ayam kampung oleh warga sebagai kenang-kenangan.

Dalam pernyataan singkatnya kepada media, Mehrtens mengungkapkan kegembiraannya bisa segera pulang dan bertemu keluarganya. Pembebasannya disambut dengan hangat oleh pemerintah Selandia Baru, yang terlibat aktif dalam diplomasi dengan Jakarta untuk menyelamatkannya.

Konflik yang menjadi latar belakang penyanderaan ini berkaitan dengan perjuangan panjang masyarakat asli Papua untuk merdeka dari Indonesia. Sejak wilayah Papua diintegrasikan ke dalam Indonesia pada 1969 melalui referendum yang diperdebatkan legitimasinya, gerakan separatisme Papua terus memperjuangkan kemerdekaannya.

Banyak warga Papua merasa bahwa referendum atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 tidak mewakili kehendak mereka lantaran dipaksakan pemerintah Indonesia melalui kekerasan bersenjata dan dengan dukungan internasional yang lemah.

Papua, yang sebelumnya merupakan koloni Belanda, kaya akan sumber daya alam, termasuk emas dan tembaga, yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan internasional dengan pengamanan ketat dari militer Indonesia. Kondisi ini memicu ketidakpuasan mendalam dari masyarakat Papua yang merasa hasil kekayaan alam mereka diambil tanpa adanya manfaat yang cukup bagi mereka.

Ketegangan semakin meningkat seiring dengan langkah-langkah militer yang diambil oleh pemerintah untuk menjaga kontrol atas wilayah tersebut, yang sering kali disertai dengan kekerasan terhadap warga sipil.

Pada beberapa dekade terakhir, serangan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok separatis, seperti TPNPB OPM di beberapa wilayah, semakin meningkat. Sejak 2018, intensitas serangan yang dilakukan kelompok-kelompok ini, termasuk serangan langsung terhadap personel militer dan aset penerbangan, semakin sering terjadi.

Beberapa kelompok gerakan bersenjata untuk pembebasan Papua ini juga kerap menggunakan penculikan dan penyanderaan sebagai bentuk maupun taktik perlawanan. Penyanderaan ini sering kali lebih menyasar orang asing di Papua. Misalnya dalam kasus Mehrtens dan beberapa insiden lainnya yang melibatkan warga asing seperti peristiwa penyanderaan Mapenduma 1996.

Pada bulan April 2024, seorang tentara Indonesia juga tewas dalam upaya penyelamatan Mehrtens. Bulan lalu, seorang pilot Selandia Baru lainnya, Glen Malcolm Conning, ditembak mati oleh kelompok yang diduga merupakan kombatan pro-kemerdekaan setelah mendarat di Papua. Serangan ini menyoroti risiko besar yang dihadapi oleh pekerja asing yang beroperasi di wilayah konflik ini.

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), dalam pernyataannya, menyebut bahwa penculikan Mehrtens dilakukan untuk menyoroti apa yang mereka anggap sebagai peran negara-negara asing, seperti Selandia Baru dan Australia, dalam mendukung kebijakan politik  pendudukan dan kolonisasi Indonesia di Papua.

Mereka berharap bahwa dengan penyanderaan ini, dunia internasional akan lebih memperhatikan penderitaan rakyat Papua dan mendukung upaya mereka untuk menenmtukan nasib sendiri dan memperoleh kemerdekaan.

Sejak Papua dianeksasi Indonesia, wilayah ini menjadi pusat ketegangan politik dan militer. Meski banyak upaya diplomatik dan negosiasi dilakukan, termasuk dari PBB dan negara-negara tetangga seperti Australia, belum ada solusi yang bisa diterima semua pihak.

Bagi masyarakat Papua, perjuangan untuk merdeka adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan dan eksploitasi. Di sisi lain, pemerintah Indonesia menganggap Papua sebagai bagian integral dari wilayah nasional yang harus dijaga keamanannya dari ancaman separatis.

Pembebasan Philip Mehrtens menandai akhir dari sebuah babak panjang dalam konflik ini. Namun ketegangan di Papua tetap belum terselesaikan. Seperti yang dinyatakan oleh Presiden Joko Widodo, keselamatan Mehrtens diutamakan dalam proses negosiasi yang panjang ini, tanpa menggunakan kekuatan militer.

Namun, konflik yang lebih besar antara pemerintah Indonesia dan rakyat bangsa Papua masih jauh dari kata usai. Dengan banyak pihak yang terus menyerukan solusi damai dan penegakan hak asasi manusia bagi warga asli Papua yang selama ini merasa terpinggirkan di tanah mereka sendiri. 



Baca Juga