
Persidangan lanjutan terhadap 4 aktivis NRFPB di Makassar (doc: LP3BH)
Makassar, Sulsel – Drama persidangan perkara dugaan makar yang menjerat empat tokoh dari kelompok Negara Federasi Republik Papua Barat (NFRPB) di Sorong telah menguak ironi tajam: Tuduhan berat pidana yang menggantung pada peran seorang terdakwa sebagai ‘pengantar surat’.
Perkara yang ditangani di Pengadilan Negeri Makassar Kelas I A Khusus ini, menyidangkan empat nama: Penatua Abraham Goram Gaman, Piter Robaha, Nikson May, dan Maksi Sangkek, dalam empat berkas terpisah (nomor 967 hingga 970).
Penatua Gaman, yang dikenal sebagai Sekretaris Jemaat Gereja Kristen Injili (GKI) Syaloom di bukit Klademak III Kota Sorong, menjadi sorotan utama, tidak hanya karena statusnya. Tetapi juga karena kesaksian yang disajikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) justru melemahkan dakwaan terhadap terdakwa lain.
Dalam sidang lanjutan pada Senin (30/9), JPU dari Kejaksaan Negeri Sorong menghadirkan tiga saksi: dua anggota Polri dan satu karyawan swasta. Keterangan yang disampaikan ketiga saksi ini, sebagaimana dilaporkan oleh Advokat Thresje Jullianty Gasperzs dari tim Penasihat Hukum, menjadi titik balik yang signifikan.
Para saksi, termasuk Anggota Polri Muhamad Husein Tuankotta dan Irma, serta Diego Armando Lokollo yang merupakan staf honorer di Pemda Papua Barat Daya. Mereka secara serentak dan tegas mengaku hanya mengenal dan pernah bertemu dengan terdakwa Abraham Goram Gaman.
Mereka bersaksi bahwa Goram Gaman hanya datang ke kantor Polresta Sorong, Polda Papua Barat Daya, dan Kantor Gubernur Papua Barat Daya untuk mengantarkan surat, ditemani seorang ibu yang tidak mereka kenal.
“Menurut keterangan para saksi, klien kami Terdakwa Abraham Goram Gaman hanya datang mengantarkan surat saja dan tidak melakukan tindakan apapun yang melawan hukum,” jelas Thresje Jullianty Gasperzs, selaku tim Penasihat Hukum dari Lembaga Penelitian Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, melalui pesan yang diterima Wene Buletin.
Kesaksian ini, yang menggambarkan Terdakwa Gaman sebatas “kurir” berkas resmi, secara tidak langsung menciptakan keraguan besar terhadap substansi tuduhan makar.
Yang lebih menarik, ketiga saksi tersebut juga menyatakan sama sekali tidak mengenal tiga terdakwa lainnya: Piter Robaha, Nikson May, dan Maksi Sangkek.
Fakta ini disuarakan keras di depan sidang yang diketuai oleh dua Majelis Hakim: Herbert Harefa, SH, MH (untuk Gaman dan May) dan Hendry Manuhua, SH, M.Hum (untuk Robaha dan Sangkek).
Meskipun Majelis Hakim sempat menanyakan tentang kaitan kesaksian ini dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) para terdakwa lain, para saksi tetap kukuh pada pengakuan mereka. Ini menunjukkan adanya celah signifikan antara tuduhan makar yang disematkan pada keempat tokoh NFRPB dan bukti faktual yang disajikan di pengadilan.
Jika saksi-saksi kunci hanya bisa mengidentifikasi satu orang yang berperan mengantar surat, lantas di mana letak bukti keterlibatan ketiga terdakwa lainnya dalam konteks tindakan makar yang dituduhkan?
Kasus ini menambah daftar panjang persidangan dugaan makar terhadap aktivis dan tokoh yang terafiliasi dengan NFRPB. Kasus-kasus serupa seringkali menguji batas antara hak-hak sipil, kebebasan berekspresi, dan ketentuan pidana makar.
Status Penatua Gaman sebagai pemimpin jemaat di gerejanya, menambah dimensi spiritual dan sosial dalam kasus ini. Mengingatkan publik akan pentingnya dukungan dari lembaga keagamaan.
“Tim Penasihat Hukum secara terbuka mengharapkan perhatian dan dukungan doa dari Badan Pekerja Klasis GKI Sorong maupun Badan Pekerja Sinode GKI Di Tanah Papua,” ujar Yan Christian Warinussy, direktur LP3BH Manokwari selaku pihak yang dipercaya mendampingi kasus ini.
Peran seorang tokoh gereja yang terlibat dalam gerakan politik, meskipun di tengah klaim damai sebatas pengiriman dokumen, menggarisbawahi kompleksitas hubungan antara masyarakat Papua, aspirasi politik, dan respons hukum negara.
Sidang perkara nomor 967, 968, 969, dan 970 ini akan kembali dilanjutkan pada Selasa (7/10), dengan agenda mendengarkan saksi tambahan dari JPU.
Hingga saat itu, publik dan komunitas gereja tetap menanti, apakah “surat-surat” yang diantar oleh seorang penatua akan berujung pada vonis makar, ataukah kesaksian yang lemah ini akan menjadi celah hukum bagi kebebasan mereka. (Julian Haganah Howay)