Keempat Tapol NRFPB saat disidangkan di Makassar pada 28 Agustus 2025 (doc: PN Makassar/Kompas)
Makassar, Sulsel – Pagi di Kota Makassar, 4 November 2025, tiba dengan aroma tegang. Langit belum sepenuhnya terang ketika suara motor polisi berderu di sekitar Asrama Kamasan IV, rumah bagi mahasiswa Papua yang menempuh studi jauh dari tanah kelahiran.
Hari itu, jalan menuju Pengadilan Negeri Makassar berubah menjadi lorong penuh penjagaan. Pukul tujuh pagi, aparat berseragam mulai berdatangan. Mereka menempati warung kopi di sebelah kanan asrama, menyisir trotoar, dan mengamati setiap gerakan mahasiswa.
Namun di sisi lain, dari kamar-kamar asrama, satu demi satu mahasiswa Papua keluar membawa spanduk bertuliskan “Bebaskan Tapol Papua tanpa syarat!”. Suara kecil yang berusaha menembus tembok pengadilan yang dijaga ketat.
Mereka datang ke pengadilan bukan untuk membuat gaduh, melainkan untuk mengawal sidang empat tahanan politik Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) dari Sorong, yang kini diadili jauh dari tanah kelahiran mereka: Abraham Goram, Nikson May, Piter Robaha, dan Maksi Sangkek.
Empat nama ini tak asing bagi rakyat Papua Barat Daya. Pada 14 April 2025, keempatnya ditugaskan Presiden Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB), Forkorus Yaboisembut, untuk mengantarkan sebuah surat resmi ke Kantor Pemerintah Daerah Papua Barat Daya di Sorong.
Surat itu berisi seruan untuk membuka dialog damai antara Jakarta dan Papua, sebuah upaya diplomasi damai yang sudah lama diidamkan rakyat Papua.
Namun dua minggu kemudian, 28 April 2025, aparat bersenjata lengkap menangkap mereka secara represif. Tanpa perlawanan, mereka diborgol, dibawa ke kantor polisi, dan dijerat pasal makar: Pasal 106 dan 110 KUHP, pasal yang sejak lama menjadi “pisau hukum” untuk membungkam suara politik damai dari Tanah Papua.
Barang-barang pribadi mereka telah disita. Akses keluarga diputus dan proses hukum berlangsung tanpa kejelasan saat mereka masih ditahan di rutan Mapolres Sorong Kota.
Yang lebih ganjil, perkara mereka tiba-tiba dipindahkan dari Sorong ke Makassar. Tak ada pemberitahuan resmi kepada keluarga maupun kuasa hukum. Pemindahan ini, menurut para pengacara dan pegiat HAM, bukan sekadar administratif, melainkan bentuk kontrol politik.
Dengan jarak ribuan kilometer, mereka dipisahkan dari dukungan sosial, keluarga dan solidaritas rakyat Papua. Strategi yang telah berulang kali digunakan negara Indonesia sejak 2020 untuk melemahkan gerakan politik rakyat Papua di pengadilan.
Di Bawah Bayang Aparat
Kronologi hari sidang itu seperti potongan film hitam-putih. Pukul 9:45 WITA, tiga puluh mahasiswa bergerak dari asrama menuju Pengadilan Negeri Makassar.
Delapan motor dinas polisi sudah berjajar di sisi jalan. Pukul 10:00 tepat, mereka tiba di lokasi dan membuka aksi dengan nyanyian serta doa.
Pukul 10:40 WIT, lima perwakilan mahasiswa mencoba masuk ke ruang sidang untuk menyaksikan jalannya proses pengadilan. Namun mereka dihadang oleh dua polisi bernama Budisman dan Mustang.
Alasannya, ruang sidang “belum tersedia.” Padahal, ketika akhirnya diizinkan masuk setelah perdebatan panjang, sidang sudah berjalan hingga pertengahan. Saat itu Jaksa Penuntut Umum (JPU) tengah membacakan tuntutan terhadap Abraham Goram.
Persidangan berlangsung di bawah pengawasan ketat: tiga anggota Brimob, sembilan polisi berseragam, tiga intel berpakaian preman, dan empat anggota ormas berpakai hitam berjaga di luar ruang sidang.
Hanya lima mahasiswa Papua yang diizinkan masuk. Mereka duduk di bangku paling belakang, menyaksikan jalannya sidang yang katanya “terbuka untuk umum”.
Tuntutan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum Steevan Mc Lewis Malioy dan Harlan, SH, menyatakan keempat terdakwa “terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana makar.”
Namun ironisnya, hukuman yang diminta hanya delapan bulan penjara dan denda lima ribu rupiah. Hukuman ringan untuk tuduhan seberat makar yang ancamannya bisa mencapai seumur hidup.
Bagi tim advokasi dari LP3BH Manokwari yang diketuai Yan Christian Warinussy, tuntutan itu paradoksal. Di satu sisi, jaksa menyebut para terdakwa makar; di sisi lain, tuntutannya begitu ringan, seolah mengakui bahwa tidak ada bukti kuat untuk menyebut mereka pemberontak.
“Ini bukan perkara hukum,” kata Warinussy dalam pernyataan tertulis yang diterima Wene Buletin, “melainkan perkara politik yang dibungkus hukum.”
Di halaman luar, para mahasiswa dari Forum Solidaritas Pelajar dan Mahasiswa Peduli Rakyat Papua (FSPM-PRP) Makassar terus bersuara. Mereka membacakan pernyataan sikap dengan lantang:
“Bebaskan empat tahanan politik Papua tanpa syarat! Hentikan kriminalisasi terhadap rakyat Papua yang memperjuangkan kemerdekaan secara damai! Kembalikan TNI ke barak dan buka akses jurnalis di Tanah Papua!”
Aksi itu berlangsung damai. Namun di perjalanan pulang ke Asrama Kamasan IV, sekelompok orang berpakaian preman yang mengaku polisi mengikuti mereka, memotret peserta aksi, dan bertanya sinis, “Masih mau demo lagi?”
Di sekitar asrama, delapan motor dinas polisi kembali terlihat berjaga. Meski aksi berakhir pukul 12:40 dengan evaluasi sederhana di asrama, suasana siang itu tetap menyisakan ketegangan. Mahasiswa merasa diawasi, bahkan setelah sidang selesai.
Menjelang senja, mahasiswa Papua di Asrama Kamasan IV menyalakan lilin-lilin kecil di halaman. Di atas aspal yang dingin, mereka berdoa untuk Abraham, Piter, Nikson, dan Maksi, empat nama yang kini menjadi simbol perjuangan damai yang dikriminalisasi.
Salah satu dari mereka berkata pelan, “Negara boleh memindahkan tubuh mereka ke Makassar, tapi suara mereka tetap di Papua.”
Empat tahanan itu kini menunggu sidang pembelaan (pledoi) yang dijadwalkan pada 11 November 2025. Sementara itu, solidaritas mahasiswa di Makassar, Sorong, Jayapura, dan Manokwari terus menyalakan perlawanan damai.
Mengingatkan bahwa keadilan tidak akan datang dari ruang sidang yang dikepung aparat, tapi dari keberanian untuk terus bersuara.
Pola Lama, Luka Baru
Apa yang dialami empat Tapol Papua ini bukan peristiwa tunggal. Amnesty International mencatat sedikitnya 145 aktivis Papua dan Maluku dijerat pasal makar sejak 2019.
Laporan ALDP dan TAPOL menunjukkan 132 orang diadili dengan dakwaan serupa sejak 2009, 121 di antaranya divonis bersalah. Di Indonesia, berbicara tentang hak menentukan nasib sendiri masih dianggap sebagai “makar” dan ancaman terhadap negara Indonesia.
Kasus Abraham Goram dan kawan-kawan memperpanjang daftar luka itu. Fakta persidangan menunjukkan tak ada unsur makar: tidak ada simbol perlawanan, tidak ada seruan untuk menggulingkan negara.
Surat yang mereka bawa adalah ajakan damai, bukan deklarasi perang. Bahkan saksi ahli dari Universitas Gadjah Mada yang dihadirkan jaksa sendiri menyatakan, ajakan dialog politik adalah tindakan konstitusional. Bukan makar!
Namun kenyataan di ruang pengadilan berkata lain. Jaksa tetap memaksakan pasal makar, hakim tetap menerima berkas itu, dan negara Indonesia tetap memperlakukan mereka bukan sebagai pembawa pesan damai, melainkan musuh politik.
“Delapan bulan,” kata seorang mahasiswa dalam evaluasi di asrama sore itu. “Delapan bulan karena mengantar surat damai.”
Semua diam sejenak. Mereka tahu angka itu bukan soal lamanya penjara, tapi simbol dari panjangnya represi yang terus berulang.
Bagi rakyat Papua, peristiwa ini menegaskan satu hal: hukum bukanlah alat keadilan, melainkan instrumen politik untuk menundukkan aspirasi kemerdekaan.
Pengadilan di Makassar hanyalah panggung baru dari drama panjang kolonialisme hukum di Tanah Papua. (Julian Haganah Howay)
