Senin, 23 Des 2024
Politik

Senyum Pembebasan Pilot Selandia Baru di Papua

 

Senyum bahagia Philip Mark Mehrtens bersama Edison Gwijangge, seorang negosiator lokal saat berada di dalam helicopter yang membawa mereka (dok foto. TPNPB).

DI TENGAH hutan belantara Tanah Papua, kabut tebal kerap menyelimuti puncak-puncak pegunungan yang menjulang. Di salah satu kawasan yang terisolasi ini, drama penyanderaan panjang berlangsung selama 20 bulan.

Philip Mark Mehrtens, seorang pilot asal Selandia Baru, mendapati dirinya menjadi pion dalam konflik bersenjata yang sudah bertahun-tahun mewarnai wilayah tersebut. Pada 7 Februari 2023, Mehrtens disandera Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) setelah pesawat yang ia terbangkan mendarat di Bandara Paro, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Peguungan.

Kelompok TPNPB yang menyadera pilot ini dipimpin Brigjen Egianus Kogoya yang menjabat panglima Komando Daerah (Kodap) III Ndugama Derakma. TPNPB adalah sayap gerakan bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang oleh otoritas keamanan Indonesia sering diplesetkan dengan nama Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

Kelompok kombatan Papua paling tangguh di tengah rimba raya Papua itu juga sebelumnya disebut Kelompok Kriminal Separatis Teroris (KKST) Papua. Bahkan ada beberapa nama lain yang tujuannya membangun citra negatif kelompok ini di mata rakyat Indonesia dan dunia.

Penyanderaan Mehrtens lantas menjadi sorotan internasional. Bukan hanya karena ia adalah warga negara asing. Tetapi karena ini menjadi salah satu peristiwa yang paling dramatis dalam sejarah konflik Papua. Mehrtens, yang saat itu bekerja untuk Susi Air, adalah simbol dari keterlibatan asing di wilayah yang penuh dengan gejolak politik antara keinginan kemerdekaan dan upaya integrasi nasional.

Dalam beberapa hari pertama penyanderaan, situasi di Papua menjadi sangat tegang. Video yang dirilis TPNPB selaku kelompok penyandera menunjukkan Mehrtens dalam kondisi baik. Tetapi jelas bahwa ia dijadikan sebagai alat tawar dalam perjuangan untuk kemerdekaan Papua.

TPNPB menuntut agar pemerintah Indonesia mengakui kemerdekaan Papua. Sebuah tuntutan yang sudah lama mereka perjuangkan namun tidak pernah diakui oleh Jakarta. Meresponnya, pemerintah Indonesia segera mengirim pasukan keamanan untuk mencari dan membebaskan Mehrtens.

Namun, wilayah Papua yang luas, medannya yang sulit, serta jaringan kelompok bersenjata yang bergerak dengan lihai membuat upaya ini menjadi sia-sia dan penuh tantangan besar. Bahkan operasi pembebasan sandera pilot Selandia Baru ini justru mengantarkan tak sedikit personal TNI/Polri tewas. Ironisnya, mereka yang tewas tak sedikit yang berasal dari Komando Pasukan Khusus (Kopassus), kesatuan elit TNI AD.

Setiap operasi militer di Papua selalu dihantui resiko bentrokan bersenjata yang dapat memicu kekerasan lebih lanjut. Situasi ini lantas menyebakan tak sedikit warga sipil setempat, rumah, fasilias publik, kebun, bahkan ternak peliharaan ikut menjadi korban keganasan aparat keamanan Indonesia. Meski begitu, keselamatan Mehrtens tetap menjadi prioritas.

Proses Negosiasi Alot

Proses negosiasi untuk pembebasan pilot Selandia Baru ini pun cukup alot dengan dirasa perlu melibatkan banyak pihak. Diantaranya pemerintah Indonesia, otoritas lokal Papua, pemerintah Selandia Baru, serta tokoh-tokoh masyarkat adat setempat. Namun komunikasi dengan kelompok TPNPB sangat sulit.

 

Pejuang TPNPB OPM Kodap III Ndugama Derakma berpose bersama Juha Christensen seorang milyarder Finlandia yang juga pernah terlibat memfasilitasi perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). (Doc foto: TPNPB).

Lagipula mereka memiliki tuntutan politik yang tidak mudah dipenuhi. Isinya antara lain meminta Pemerintah Selandia Baru untuk menyiapkan sebuah pesawat sipil yang akan mengangkut pilot Mehrtens dari Sentani Jayapura setelah ia diterbangkan dari Nduga oleh pesawat sipil lain yang diijinkan TPNPB. Pesawat ini selanjutnya diminta untuk terbang menuju PNG dan Selandia Baru.

Dalam prosesi pembebasan ini, TPNPB juga meminta keterlibatan perwakilan sejumah pihak. Diantaranya perwakilan PBB, Dewan Gereja Dunia (WCC), Dewan Gereja Pasifik, PNG Trust, Human Rights Monitor, tokoh gereja Papua, keluarga Mehrtens dari Selandia Baru, aktivis perdamaian nasional dan pengacara HAM.

Tidak hanya itu, mereka juga meminta keikutsertaan wartawan internasinal seperti; Reuters, BBC, Al Jazeera, CNN, dan sejumlah media nasional maupun lokal yang dipercaya seperti; Suara Pembaruan Jubi dan Suara Papua. TPNPB juga meminta agar wilayah dimana pilot Mehrtens akan dibebaskan dan ketika proses pembebasan dilakukan, harus bebas dari keberadaan personil dan aktivitas militer Indonesia.

Tuntutan itu tertuang dalam proposal pembebasan sandera pilot Selandia Baru yang sempat dirilis Komnas TPNPB melalui Sebby Sambom sebagai juru bicara. Pada sebuah tayangan video dan keterangan yang dirilis Sambom, ia mengklaim bahwa isi tuntutan yang tertuang dalam proposal itu telah disetujui Brigjen Egianus Kogoya, selaku Panglima Kodap III Ndugama Derakma yang bertanggung jawab langsung atas penyanderaan pilot Mehrtens.

Beberapa waktu setelah pengumuman pembebasan sandera dilakukan, seorang pilot helicopter lain yang juga asal Selandia Baru bernama Glenn Malcolm Conning tewas tertembak di Distrik Alama, Kabupaten Mimika, Papua Tengah. Ia tewas saat mendarat dan berupaya mengangkut sejumlah pekerja medis dan dua diantaranya membawa bayi mereka.

PT. Intan Angkasa Air Service merupakan perusahaan rekanan yang menyediakan jasa survei, pemetaan dan angkutan bagi sejumlah perusahaan multi nasional seperti Freeport, British Petroleum dan perusahaan nasional lain yang beroperasi di Papua. Bagi rakyat Papua, perusahaan-usahaan ini hanya tmengeksploitasi sumber daya alam Papua, namun tidak memberikan dampak berarti bagi mereka.

Kasus penembakan pilot helicopter asal Selandia Baru ini sempat menimbulkan pro kontra mengenai siapa pelaku sebenarnya? Sejumlah pihak sempat menuding pihak keamanan Indonesia berada di balik kasus ini. Sebab ini terjadi hanya beberapa hari di saat TPNPB mengumumkan akan membebaskan pilot Mehrtens. Tidak lama setelah Paus Fransiskus mengunjungi Indonesia, Papua New Guinea, Timor Leste dan Singapura.

Menanggapi proposal TPNPB mengenai tawaran pembebasan pilot Mehrtens, pihak pemerintah Indonesia tampaknya sangat berhati-hati agar tidak memperburuk situasi. Menurut beberapa sumber, negosiator independen berusaha menjembatani perbedaan ini dengan menawarkan solusi damai yang berfokus pada keamanan Mehrtens.

Salah satu tantangan utama adalah memastikan bahwa perundingan tetap berjalan tanpa menimbulkan bentrokan bersenjata antara aparat keamanan Indonesia dan kelompok penyandera. Di tengah semua ini, Mehrtens berada dalam posisi yang rentan, menjadi sandera dalam dinamika politik yang rumit.

Pemerintah Selandia Baru pun akhirnya perlu mengambil pendekatan diplomatik yang hati-hati. Mereka tidak ingin memperkeruh situasi dengan campur tangan militer atau paling tidak dapat memenuhi sejumlah permintaan kelompok TPNPB. Sementara sisi lain, mereka mendesak pemerintah Indonesia untuk segera menyelesaikan krisis ini.

Peran Pihak Lokal

Tekanan internasional pun sempat menguat, dengan berbagai pihak menuntut agar hak asasi manusia dan keselamatan sandera perlu diutamakan. Salah satu aspek yang jarang terekspos dari upaya pembebasan Mehrtens adalah peran yang dimainkan oleh penduduk lokal di wilayah Nduga, Papua.

Yakni mereka yang sehari-hari hidup dalam ketidakpastian akibat konflik, tapi turut memberikan kontribusi penting dalam menjaga situasi tetap terkendali. Mereka inilah yang lebih mengenal dan memilki hubungan keluarga dengan kelompok Egianus Kogoya, sebagai pihak TPNPB OPM penyandera pilot Mehrtens.

Para kepala suku dan tokoh masyarakat adat, melalui hubungan dan pengaruhnya, berperan besar dalam memastikan bahwa jalur komunikasi antara kelompok bersenjata dan pihak negosiator tetap terbuka. Banyak dari mereka merasa bahwa konflik ini harus segera diakhiri demi kesejahteraan masyarakat Papua sendiri.

Mereka melihat penyanderaan Mehrtens bukan hanya sebagai masalah politik, tetapi sebagai ujian bagi masa depan Papua. Disamping mereka juga memilik keinginan dan harapan agar rakyat Papua bisa menentukan nasib sendiri dan merdeka dari Indonesia. Keinginan untuk menjaga perdamaian di tengah ketegangan politik ini menjadi dorongan kuat bagi mereka untuk terlibat dalam proses negosiasi.

Akhirnya, pada Sabtu, 22 Agustus 2024, sebuah terobosan terjadi. Setelah hampir 20 bulan dalam tahanan kelompok bersenjata, pilot Selandia Baru, Philip Mark Mehrtens dibebaskan dalam kondisi selamat. Pembebasan ini terjadi setelah proses negosiasi yang melelahkan dan penuh ketidakpastian.

Walaupun pemerintah Indonesia tidak memenuhi tuntutan politik TPNPB, kelompok bersenjata melalui Egianus Kogoya akhirnya setuju untuk melepaskan Mehrtens. Ini sebagai bagian dari kesepakatan yang tidak dipublikasikan secara rinci.

Kabar pembebasan Mehrtens segera menyebar dan menjadi berita utama di seluruh dunia. Mehrtens, meskipun terlihat lelah dan terguncang, dilaporkan berada dalam kondisi fisik yang relatif baik. Ia langsung dipulangkan ke Selandia Baru, di mana keluarganya sudah menunggu dengan penuh harapan.

Pembebasan ini membawa kelegaan bagi semua pihak yang terlibat, tetapi juga meninggalkan sejumlah pertanyaan yang belum terjawab. Konflik di Papua tetap berkobar, dan penyanderaan Mehrtens hanya menjadi salah satu dari banyak episode dalam sejarah panjang ketegangan di wilayah Papua Barat. Meski demikian, pembebasan ini membuktikan bahwa di tengah krisis yang rumit, dialog dan diplomasi masih memiliki tempat.

Apa Arti Pembebasan Ini?

Bagi banyak pengamat, pembebasan Mehrtens menandai keberhasilan diplomasi kemanusiaan di tengah situasi yang sangat sensitif. Ini juga menunjukkan bahwa meskipun ada tekanan untuk menggunakan kekuatan militer, pendekatan yang lebih halus dapat menghasilkan hasil yang lebih aman dan terukur. Namun, di sisi lain, pembebasan ini juga menunjukkan bahwa konflik di Papua masih jauh dari selesai.

Pemerintah Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam menyelesaikan masalah Papua. Kelompok-kelompok bersenjata yang memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat masih aktif, dan tuntutan kemerdekaan terus bergema di kalangan masyarakat Papua. Bagi penduduk setempat, konflik ini bukan hanya tentang politik, tetapi juga tentang hak-hak dasar, kesejahteraan, dan masa depan mereka.

Di Selandia Baru, pembebasan Mehrtens disambut dengan sukacita. Bagi keluarganya, ini adalah akhir dari mimpi buruk yang panjang. Namun, bagi Mehrtens sendiri, pengalaman ini akan menjadi bab penting dalam hidupnya, sebuah peristiwa yang mungkin akan selalu membekas di ingatannya.

Kisah penyanderaan dan pembebasan Mehrtens tak hanya sebagai pengingat akan kompleksitas konflik di Papua, tetapi juga sebuah cerminan dari bagaimana manusia dapat bertahan di tengah krisis. Dibalik semua ketegangan, negosiasi panjang, dan ketidakpastian, cerita ini menyoroti harapan bahwa perdamaian di tanah Papua suatu saat nanti bisa tercapai, meski jalannya masih penuh tantangan. (Julian Haganah Howay)



Baca Juga