
Illustration showing the existence of the WPNLA/TPNPB resistance vs the Indonesian Military (ChatGPT image generate/wenebuletin.com).
INTAN JAYA, sebuah kabupaten di jantung Pegunungan Papua Tengah, telah lama kehilangan ketenangan. Sejak 2018, deru peluru dan desing helikopter lebih akrab terdengar ketimbang suara anak-anak yang bermain atau doa dari dalam gereja.
Tahun demi tahun, suasana tak kunjung membaik. Kini, pada tahun 2025, ketakutan masih menyelimuti langit Sugapa dan Hitadipa. Warga hidup dalam ketidakpastian, antara pergi dari kampung atau tetap tinggal dan menunggu ajal tiba tanpa aba-aba.
Pada tanggal 13 Mei 2025, pengisiran bersenjata besar-besaran terjadi. Satuan gabungan militer TNI dari Satgas Habema bentrok dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Baku tembak ini kembali menelan korban sipil. Gereja tak lagi menjadi tempat aman.
Elisa Wandagau, seorang hamba Tuhan berusia 75 tahun yang mengabdi di Gereja GKII Anugerah Sugapa Lama, ditembak mati. Ia bukan pemberontak, hanya seorang tua yang tiap hari mendoakan kedamaian. Ruben Wandagau, Kepala Kampung Hitadipa, juga tewas tertembak. Ia meninggalkan seorang istri dan tiga anak yang kini terpaksa mengungsi, kehilangan sandaran hidup.
Deretan korban lainnya: Mono Tapamina Tapani, seorang warga kampung Sugapa Lama, juga meninggal dunia. Sementara Hetina Mirip, seorang ibu muda berusia 24 tahun, ditemukan tak bernyawa 12 hari setelah dilaporkan hilang. Tubuhnya tergeletak membusuk di halaman rumahnya sendiri.
Tak hanya mereka yang meninggal. Beberapa warga mengalami luka-luka: Yubelina Kogoya, ibu rumah tangga berusia 25 tahun; Nopen Wandagau, seorang ayah berusia 36 tahun; seorang anak bernama Minus Jegeseni yang baru berusia lima tahun; serta Junite Janambani, perempuan 21 tahun. Mereka bukan kombatan, tapi korban dari konflik yang tak berkesudahan.
Setidaknya tujuh kampung dari dua distrik menjadi lokasi pengungsian besar-besaran: Titigi, Ndugusiga, Jaindapa, Sugapa Lama, Hitadipa, Janamba, dan Soagama. Warga lari ke hutan atau ke kampung lain yang dianggap lebih aman. Anak-anak tak bisa sekolah, puskesmas tak berfungsi, pasar-pasar tradisional lumpuh. Kehidupan sehari-hari berhenti, digantikan rasa takut yang mengakar hingga ke tulang.
Konflik, Pelanggaran HAM dan Tuntuan Keadilan
Konflik bersenjata yang terjadi di Intan Jaya bukan sekadar soal politik atau keamanan. Ia telah menjadi krisis kemanusiaan. Berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, setiap orang berhak atas kehidupan, keamanan, tempat tinggal, pendidikan, dan perlindungan hukum. Namun di Intan Jaya, hak-hak itu telah dirampas oleh senapan, intimidasi, dan operasi militer yang tak kenal waktu.
Pengusiran paksa, pembunuhan di luar proses hukum, teror psikologis, dan penghilangan paksa menjadi bagian dari pelanggaran HAM berat, sebagaimana didefinisikan dalam Statuta Roma dan hukum internasional. Laporan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat tren peningkatan kekerasan terhadap warga sipil di Papua selama lima tahun terakhir. Intan Jaya menjadi salah satu titik paling rawan.
Melihat kenyataan getir ini, Komunitas Mahasiswa Independen Somatua Intan Jaya (KOMISI) menyerukan sembilan tuntutan yang tegas dan jelas. Pertama, Panglima Kodam XVII Cenderawasih dan Kapolda Papua Tengah diminta segera menarik seluruh personel militer organik dan nonorganik dari Intan Jaya. Kedua, Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin diminta menghentikan pendekatan militer di wilayah sipil.
Selain itu, pembangunan pos militer menuju Janamba dan Soagama harus dihentikan. Alih-alih memperluas kontrol bersenjata, negara seharusnya mengirim tim perdamaian dan dialog. KOMISI juga mendesak DPR Papua Tengah dan lembaga-lembaga representatif lainnya untuk membentuk tim independen yang menginvestigasi kekerasan dan menangani konflik secara damai.
Yang lebih mendesak lagi adalah penghentian pembunuhan, teror, dan kriminalisasi terhadap rakyat Intan Jaya. Ketentuan UUD 1945 Pasal 28I ayat (1) menyatakan bahwa hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Namun di Intan Jaya, nyawa manusia seolah tak ada nilainya.
Tambang dan Pemekaran: Ancaman Baru
Selain konflik bersenjata, warga Intan Jaya juga menghadapi ancaman baru dari rencana izin pertambangan dan pemekaran wilayah. Pemerintah Provinsi Papua Tengah, di bawah kepemimpinan Gubernur Meki Nawipa dan Dinas Geley, dianggap tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat dalam setiap kebijakan strategis. KOMISI menyebut kebijakan itu cacat moral karena dilakukan di tengah situasi pelanggaran HAM yang terus berlangsung.
Papua, yang kaya akan emas, tembaga, dan nikel, telah lama menjadi incaran korporasi tambang. Namun kekayaan alam itu justru menjadi kutukan bagi rakyatnya. Mereka diusir dari tanah leluhur mereka, demi eksploitasi yang hanya menguntungkan segelintir elite dan pemodal. Intan Jaya tidak membutuhkan tambang, melainkan kedamaian.
Kekerasan demi kekerasan hanya akan melanggengkan trauma. Generasi muda tumbuh dalam ketakutan. Mereka tidak tahu seperti apa rasanya hidup tanpa bunyi tembakan. Mereka tidak mengenal sekolah yang utuh atau rumah sakit yang lengkap. Yang mereka tahu hanyalah: setiap suara keras bisa berarti kematian.
Sudah saatnya negara mengubah pendekatan. Sudah saatnya aparat militer ditarik, dan ruang dialog dibuka. Sebab Papua bukan tanah kosong, dan rakyat Intan Jaya bukan angka statistik. Mereka manusia ciptaan Tuhan yang memiliki hak hidup, hak bermimpi, dan hak untuk hidup damai di atas tanah mereka sendiri.
Kami, Komunitas Mahasiswa Independen Somatua Intan Jaya, akan terus bersuara. Sebab diam berarti mengiyakan kekerasan. Dan bagi kami, Intan Jaya layak mendapatkan keadilan, bukan peluru.
(*) Catatan ini awalnya dikirim ke redaksi dalam bentuk pernyataan sikap oleh KOMISI (Komunitas Mahasiswa Independen Somatua Intan Jaya), lalu diedit ulang untuk diberitakan dalam bentuk tulisan narasi.