Albert K. Barume, Pelapor Khusus PBB untuk Hak-Hak Masyarakat Adat saat bertemu perwakilan masyarakat adat Papua di Jayapura (doc: DAP)
Jayapura, Papua – Di tengah hijaunya hutan tropis Tanah Papua yang memukau, namun di balik tabir konflik yang tak berkesudahan, sebuah pertemuan penting berlangsung pada 4-5 Juli 2025.
Albert K. Barume, Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak-Hak Masyarakat Adat, hadir secara informal di Jayapura, membawa secercah harapan bagi komunitas adat yang telah lama menanggung beban militerisasi, ekspansi korporasi, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Kunjungan dua hari yang difasilitasi oleh sejumlah organisasi, termasuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Greenpeace Indonesia, dan media lokal Jubi, menjadi platform bagi ratusan suara yang terbungkam.
Dari korban ekosida hingga genosida dan etnosida, kisah-kisah pilu tentang kehilangan tanah, budaya, dan kehidupan mengalir deras di hadapan Barume. “Mendengar langsung korban adalah mandat dari jabatan saya,” tegas Barume, menunjukkan empati mendalam saat mencatat setiap kesaksian yang disampaikan oleh sejumlah perwakilan aktivis Papua.
Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan cerminan dari prinsip dasar mandat PBB dalam melindungi hak-hak masyarakat adat di seluruh dunia.
Sebagaimana yang ditekankan dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) Pasal 1, masyarakat adat memiliki hak untuk menikmati secara penuh, sebagai kolektif atau individu, semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental.
Kilas Balik Diplomasi dan Kegagalan Sistemik
Kunjungan Barume merupakan kelanjutan dari upaya diplomasi panjang yang dilakukan oleh aktivis Papua di kancah internasional.
Victor Yeimo, Juru Bicara Internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB) sekaligus seorang anak adat, mengungkapkan bahwa ia bersama Octovianus Mote telah mengundang Pelapor Khusus sebelumnya, José Francisco Calí Tzay, di markas PBB New York pada April 2024.
Meskipun Forum Permanen PBB untuk Isu Masyarakat Adat (UNPFII) tahun ini tidak mengeluarkan rekomendasi spesifik mengenai Papua, kehadiran Barume dianggap sebagai langkah strategis untuk mendorong implementasi rekomendasi sebelumnya yang kerap diabaikan.
Situasi di Tanah Papua, menurut Yeimo, adalah cerminan kegagalan sistemik dalam kerangka negara Indonesia. Data menunjukkan bahwa 14 kali permintaan kunjungan Komisi HAM PBB ke Papua telah ditolak.
Selain itu, dalam Universal Periodic Review (UPR) 2022-2023, 15 negara menyerukan akses internasional ke Papua. Rekomendasi dari forum regional seperti Pacific Islands Forum (PIF) dan ACP Group terkait isu Papua juga diabaikan.
Lebih lanjut, gugatan adat atas konsesi sawit, pertambangan dan proyek investasi berskala besar, yang merampas tanah leluhur masyarakat adat Papua, selalu kandas di pengadilan. Menyisakan kepedihan mendalam bagi masyarakat adat.
“Ini membuktikan bahwa dalam kerangka negara Indonesia, tidak ada jaminan perlindungan hak tanah dan hak hidup masyarakat adat Papua,” tegas Yeimo, menyoroti jurang lebar antara janji konstitusi dan realitas di lapangan.
Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 memang mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Namun implementasinya di Papua masih jauh dari harapan.
Tuntutan Mendesak dan Harapan Baru
Menanggapi situasi ini, Victor Yeimo, atas nama Dewan Adat Papua (DAP) dan seluruh masyarakat Papua, menyampaikan lima tuntutan mendesak kepada Pelapor Khusus dan Dewan HAM PBB:
Pertama, permintaan kunjungan resmi PBB ke Papua dalam kerangka Prosedur Khusus Dewan HAM. Kedua, pembentukan mekanisme investigasi independen jika akses resmi terus ditolak. Ketiga, resolusi khusus soal Papua di Majelis Umum PBB.
Keempat, penghentian kerja sama lembaga-lembaga PBB dengan institusi yang melanggar hak masyarakat adat Papua.
Keenam, pemenuhan hak menentukan nasib sendiri, sebagaimana dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR), serta UNDRIP Pasal 3-4.
Tuntutan mengenai hak menentukan nasib sendiri, merupakan poin krusial yang terus digaungkan.
Sejarah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 yang melibatkan 1.026 orang yang dipilih dan dipaksa di bawah tekanan militer, dinilai tidak sah secara hukum internasional oleh banyak pihak, termasuk masyarakat adat Papua sendiri.
Ini menciptakan fondasi konflik yang kompleks, di mana klaim atas hak politik dan budaya seringkali berbenturan dengan narasi pembangunan dan kedaulatan negara.
Di akhir kunjungannya, Barume juga bertemu dengan berbagai pemangku kepentingan lain, termasuk LSM, perwakilan Pemerintah Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP), dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).
Kehadiran Barume, menurut Yeimo, membuktikan satu hal penting: Papua aman dikunjungi. “Alasan keamanan tidak lagi relevan untuk menolak kehadiran badan-badan PBB,” ujar Yeimo, menegaskan bahwa penolakan akses bagi pemantau independen seringkali dijadikan tameng untuk menyembunyikan realitas pelanggaran HAM di lapangan.
Data dari berbagai laporan, termasuk Komnas HAM, telah mencatat 22 kasus pelanggaran HAM berat tanpa penyelesaian di Papua, dan Komnas Perempuan mengungkap pola kekerasan seksual sistematis di wilayah konflik.
Kunjungan informal Barume ini diharapkan menjadi pijakan awal bagi langkah-langkah konkret PBB. (Julian Haganah Howay)
