Maxi Sangkek, satu dari 4 tahanan politik NRFPB saat tertidur lemas karena sakit di ruang KBO, Polresta Kota Sorong (doc: Ronald Kinho/MAI-P)
Sorong, Papua Barat Daya – Kamis, 19 Juni 2025, menjadi hari yang memilukan bagi para aktivis Masyarakat Adat Independen (MAI) Papua Komite Kota Sorong. Bersama keluarga, mereka menyambangi Rumah Tahanan (Rutan) Polresta Sorong Kota.
Bukan untuk bersilaturahmi, melainkan untuk menengok kondisi empat Tahanan Politik Negara Federal Republik Papua Barat (NRFPB): Abraham Goram Gaman, Nikson May, Piter Robaha, dan Maxi Sangkek.
Sejak ditahan pada 28 April 2025, kehidupan mereka terjebak dalam sel sempit yang dihuni 30 orang. Ruangan ini begitu sesak, pengab dan panas di siang hari. Jauh melebihi kapasitas dan sarat dengan represi.
“Bapa ini de punya sakit paru-paru bawaan baru tambah de di ruangan sempit seperti itu, pasti de punya sakit tambah parah,” ungkap istri Bram Goram, saat ditemui sehari sebelumnya (Rabu, 18 Juni 2025) di rumah keluarga yang beralamat di Kompleks Bukit Woroth, Klademak III, Kota Sorong.
Istrinya dan pihak keluarga menggambarkan kekhawatiran mereka yang mendalam. Benar saja, saat ditemui di Rutan Polres Kota Sorong, kondisi para tahanan politik ini sangat memprihatinkan!
Maxi Sangkek, misalnya, menderita sakit paru-paru yang tampak serius hingga batuk darah. Diduga kuat akibat asap rokok dari sesama tahanan. Penyakit asam urat bawaannya pun kambuh, membuat kesehatannya kian merosot.
Ia bahkan membutuhkan pengobatan tradisional ala Maybrat untuk penyakitnya, termasuk penyakit adat yang dideritanya. Abraham Goram Gaman juga tak luput dari sakit. Penyakit paru-parunya kembali kambuh dan memperburuk kondisinya.
Sementara kondisi kedua tahanan lainnya: Nikson May dan Piter Robaha cukup baik. Meskipun menderita tekanan psikis dan terisolasi.
Melihat kondisi yang memburuk, pada Senin, 16 Juni 2025, pihak keluarga membawa Maxi Sangkek dan Abraham Goram Gaman ke Poliklinik Bintang Timur. Setelah pemeriksaan, mereka kembali diantar ke sel tahanan dengan pengawalan ketat aparat.
Ironisnya, permohonan penangguhan penahanan yang diajukan keluarga dan pendamping hukum, termasuk LP3BH dan Kementerian HAM RI, tak kunjung diindahkan Polresta Sorong Kota.
Padahal, pihak keluarga telah sepakat memberikan jaminan. Mulai dari KTP adik perempuan Maxi hingga KTP istri Goram, demi memastikan mereka tidak melarikan diri.
“Saya hanya minta dong kasih pulang berobat di rumah dulu. Setelah sembuh sa pasti balik. Tidak mungkin sa lari. Kita ini orang tua jadi siap bertanggungjawab,” tutur Maxi Sangkek dengan nada berharap.
Ia bahkan dipindahkan ke ruangan Kepala Urusan Pembinaan (KBO) dengan alasan istirahat. Namun ruangan ber-AC dan minim ventilasi itu justru memperburuk kondisi paru-parunya. “Sejak dong kasi pindah sa kesini, sa tra pernah istirahat baik,” tambahnya.
Di ruangan itu, ia ditemani istri dan ketiga anaknya yang merawatnya. Namun, pihak Polresta terus berdalih khawatir mereka akan melarikan diri. Tanpa mempertimbangkan kondisi kesehatan yang kian memburuk.
“Bapa ini ketua RT dan kepala suku di Kilo 13, jadi tidak mungkin mau melarikan diri,” sanggah istri Maxi Sangkek.
Saat tiba, kami sempat berusaha mengambil foto keempat tahanan politik ini di ruang tahanan sebagai dokumentasi. Tapi dua anggota polisi yang sedang berjaga tidak mengijinkan. Jadi kami hanya bisa mengambil foto Maxi Sangkek saat ia sudah berada di ruang KBO bersama keluarganya.
Proses Hukum yang Sarat Pertanyaan
Empat tahanan NRFPB, Abraham Goram Gaman, Nikson May, Piter Robaha, dan Maxi Sangkek, awalnya sangat kooperatif saat memenuhi panggilan polisi. Namun, setelah pemeriksaan kedua yang berlangsung sembilan jam, mereka langsung ditetapkan sebagai tersangka tanpa bukti yang kuat.
“Anak-anak, bapa ini dipenjara hanya karena bapa antar surat yang berisi solusi penyelesaian konflik Papua,” ujar Bram Goram, mempertanyakan alasan penahanan mereka.
Ia menambahkan, surat serupa juga diantar di beberapa kota lain di Tanah Papua. Tapi tanpa penangkapan. Namun mengapa di Sorong mereka justru ditangkap? Hero Goram, anak dari Bram Goram, juga sempat diperiksa atas ujaran kebencian, namun dibebaskan karena tidak terbukti.
Masa penahanan pertama berlangsung 21 hari, dari 28 April hingga 19 Mei 2025. Namun, secara sepihak, masa penahanan diperpanjang hingga 26 Juni 2025, dengan alasan bukti yang belum cukup dan perlu Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) kedua untuk mengumpulkan bukti lain.
“”Mama hanya minta itu, polisi dong kasih penangguhan ke bapa supaya berobat sampe pulih. Baru bisa kembali lanjutkan proses hukum,” harap istri Bram Goram.
Yan Christian Warinussy, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari dan penasihat hukum para tersangka, menegaskan bahwa kondisi Maxi Sangkek “mengalami sakit serius dan patut mendapat perhatian dari Negara.”
Ia mengungkapkan bahwa kliennya mengeluh sesak napas, batuk, dan sempat muntah darah di dalam tahanan. Warinussy menduga hal ini disebabkan oleh polusi udara dari asap rokok dalam sel. Dokter pun menyarankan perawatan intensif dan pemindahan ke ruangan yang lebih steril.
Warinussy juga menyoroti kejanggalan dalam penerapan pasal makar terhadap kliennya. “Saya boleh berpandangan ini prematur, karena klien kami empat anggota NRFPB hanya membawa surat yang disuruh antar,” tegasnya.
Ia mengklaim bahwa kliennya hanya disuruh membawa surat kepada Gubernur Papua Barat Daya, Wali Kota Sorong, dan Polresta Sorong Kota, sehingga dikategorikan makar atau mau menggulingkan pemerintahan.
Ia juga mengingatkan bahwa sesuai Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, batas penahanan penyidik hanya 20 hari, dan perpanjangan dapat dilakukan selama 40 hari oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Jika tidak ada penambahan masa tahanan hingga Jumat, 17 Mei 2025 pukul 00.00 WIT, keempat kliennya seharusnya bebas demi hukum. Namun ini tidak dilakukan.
Stabilitas dan Biasnya Penegakan Hukum
Kapolresta Sorong Kota Kombes Pol Happy Perdana, di sisi lain, menyatakan penetapan tersangka dilakukan setelah penyelidikan intensif, termasuk pemeriksaan 5 saksi dan gelar perkara pada 28 April 2025.
Ia juga menyebutkan penyitaan barang bukti berupa pakaian dinas polisi dan tentara versi NRFPB serta 18 dokumen resmi organisasi yang mengindikasikan adanya struktur kenegaraan tandingan.
Penggeledahan di kediaman Abraham Goram Gaman pada 30 April 2025 yang melibatkan 100 personel gabungan juga menjadi bagian dari upaya pengumpulan bukti. Namun, di rumah Goram, hanya ditemukan sebuah kaos bertuliskan NRFPB di bagian depan.
Kasus keempat tahanan politik ini bukan hanya tentang proses hukum, tetapi juga tentang hak asasi manusia dan kemanusiaan. Kesehatan mereka yang memburuk di tengah kondisi tahanan yang tidak layak menjadi sorotan.
Akankah negara memberikan perhatian yang layak dan memastikan hak-hak mereka terpenuhi, ataukah jeritan di balik jeruji akan terus menjadi bisikan yang tak terdengar?
Sementara Pemerintah Indonesia terus membangun narasi tentang stabilitas dan penegakan hukum di Tanah Papua, suara-suara dari dalam jeruji ini mengingatkan: hukum tanpa kemanusiaan adalah kekerasan yang disahkan.(Ronald Kinho & Julian Haganah Howay)
