Gambar ilustrasi ini menunjukan TNI melakukan operasi penyisiran di Intan Jaya (Foto Ist)
Puncak, Papua Tengah – Bumi Cenderawasih kembali menyala. Bukan oleh obor pembangunan yang kerap digembor-gemborkan. Melainkan oleh bara api yang melalap rumah-rumah.
Oleh raungan helikopter militer yang membelah langit kampung. Oleh tangis pilu warga sipil yang kini tercerai-berai, berlindung di hutan dan kota dengan perut kosong serta raga yang letih.
Sejak Mei 2025, Kabupaten Puncak, sebuah wilayah yang menjadi jantung Pegunungan Papua Tengah, telah berubah menjadi panggung baru operasi militer berskala besar.
Operasi ini secara langsung menyasar kantong-kantong sipil, mengakibatkan ribuan orang mengungsi, dan memicu dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius.
Laporan hasil investigasi lapangan oleh Tim Investigasi Mahasiswa Puncak se-Indonesia mengungkapkan realitas pahit ini. Para mahasiswa ini, yang merupakan bagian dari masyarakat Puncak, menyaksikan langsung bagaimana kehidupan warga berubah drastis dalam hitungan hari.
“Pendropan personel militer dalam jumlah besar, penyisiran bersenjata, hingga pembakaran rumah-rumah menjadi bukti bahwa konflik bersenjata di Papua telah keluar dari batas ‘penanggulangan kelompok bersenjata’ dan kini menghantam jantung masyarakat sipil,” tulisTim Investigasi dalam laporan mereka, memberikan gambaran mengerikan tentang dampak langsung pada kehidupan sehari-hari warga.
Babak Baru Militerisasi: Ketika Satuan Maleo Mendarat
Pada 10 Mei 2025, suasana damai Distrik Pogoma dan Sinak Barat di Kabupaten Puncak tiba-tiba diguncang oleh kedatangan 300 personel TNI dari satuan elite Maleo. Operasi ini, yang diklaim sebagai bagian dari strategi keamanan untuk mengejar kelompok bersenjata yang beroperasi di kawasan itu, nyatanya jauh dari semangat penegakan hukum.
Dalam waktu beberapa hari, kampung-kampung di kedua distrik itu berubah menjadi daerah pengungsian massal. Setidaknya 966 warga sipil terpaksa meninggalkan rumah mereka, belum termasuk anak-anak yang tak terdata secara administratif, sebuah angka yang mengkhawatirkan dan menunjukkan skala pengungsian yang masif.
Situasi kian memburuk dengan adanya operasi lanjutan yang digelar pada 22–28 Mei di Distrik Gome dan Gome Utara. Operasi gabungan darat dan udara ini mengakibatkan 850 warga tambahan mengungsi ke wilayah Nabire, Timika, dan Jayapura.
Tragisnya, di tengah pelarian dan perjuangan hidup, tiga warga sipil meninggal dunia. Mereka meregang nyawa akibat kelaparan dan kondisi fisik yang menurun drastis, sebuah potret kelam dari dampak konflik yang tak hanya merenggut nyawa melalui senjata, tetapi juga melalui penderitaan yang tak terlihat.
Korban Jiwa dan Luka Sosial yang Mendalam
Tim Investigasi mencatat secara rinci tiga korban meninggal dunia selama masa pengungsian: Kiumban Tabuni (67 tahun), seorang lansia yang meninggal akibat kelelahan dan sakit saat berada di lokasi pengungsian, menambah daftar panjang korban tak bersenjata. Dua korban pembunuhan langsung oleh aparat keamanan di Distrik Gome: Sole Mosib (59 tahun) dan Agus Murib (27 tahun)
Menurut kesaksian warga dan saksi mata, kedua korban terakhir dieksekusi secara tidak manusiawi. Tubuh mereka ditemukan dalam kondisi mengenaskan, memperkuat dugaan bahwa mereka bukan hanya menjadi korban salah sasaran, tetapi juga korban kekerasan sistematis yang membutuhkan penyelidikan serius.
Selain korban jiwa, jumlah pasti rumah-rumah warga yang terbakar belum bisa dihitung secara akurat karena banyak kampung telah dikosongkan, menjadi saksi bisu kehancuran. Fasilitas umum seperti gereja dan sekolah juga ditinggalkan, menambah kesengsaraan. Kehilangan tempat tinggal tak hanya berarti kehilangan atap, tetapi juga hilangnya tempat beribadah, tempat belajar, dan seluruh fondasi kehidupan bersama yang telah dibangun selama bertahun-tahun.
Pengungsi di Negeri Sendiri: Satu Rumah Dihuni 20 Orang
Di Nabire, Timika, dan Jayapura, ratusan pengungsi kini hidup dalam kondisi darurat yang memprihatinkan.
“Dalam satu rumah bisa dihuni hingga 15-20 orang. Tidak ada jaminan makanan, tidak ada air bersih, tidak ada layanan medis, dan terlebih lagi, tidak ada kepastian kapan mereka bisa pulang,” ujar Mis Murib, Ketua Tim Investigasi Mahasiswa Puncak.
Mis Murib dengan nada miris menambahkan, “Anda bisa bayangkan, masyarakat yang hidup dari hasil kebun, tiba-tiba harus mengungsi dan tinggal berdesakan. Lalu makan dan minum dari mana? Ini krisis kemanusiaan.”
Mayoritas masyarakat yang mengungsi adalah petani subsisten yang menggantungkan hidup dari hasil kebun harian mereka. Mereka tak memiliki tabungan, tak punya pekerjaan formal, dan kini, tanpa rumah. Kehidupan mereka yang sederhana, yang sebelumnya mandiri, kini bergantung sepenuhnya pada belas kasihan.
Pendekatan Militeristik yang Gagal: Sebuah Pola Berulang
Pendekatan militer yang diambil oleh negara dalam menangani konflik Papua bukanlah hal baru, melainkan sebuah pola berulang yang telah lama terjadi. Sejak tahun 1965-an, operasi militer di Papua telah berkali-kali dilakukan, dari operasi Sadar, Operasi Tumpas, Operasi Trikora II hingga kini di bawah berbagai satuan elite seperti Kopassus, Kostrad, hingga Satgas Maleo.
Namun, data justru menunjukkan ironi: semakin tinggi intensitas militerisasi, semakin besar pula angka pengungsian dan pelanggaran HAM. Sebuah laporan dari Amnesty International mencatat, dari tahun 2018 hingga 2023, terdapat lebih dari 120 warga sipil yang menjadi korban dalam konflik Papua, dan sebagian besar dari mereka tidak pernah mendapat keadilan hukum.
Alih-alih menciptakan stabilitas dan kedamaian, militerisasi justru menimbulkan ketakutan, trauma mendalam, dan memperdalam luka sosial antara negara dan rakyat Papua. Pendropan pasukan dalam jumlah besar di kawasan sipil tidak dapat dibenarkan secara hukum HAM internasional, terutama jika menyasar area yang tidak ada indikasi pertempuran aktif yang mengancam.
Tuntutan Mendesak kepada Negara dan Lembaga HAM
Berdasarkan hasil investigasi lapangan dan wawancara dengan para pengungsi, Tim Investigasi Mahasiswa Puncak se-Indonesia menyampaikan tiga poin penting sebagai pernyataan sikap yang tegas:
- Mendesak Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, segera menarik seluruh pasukan organik dan non-organik dari wilayah sipil di Papua, khususnya di Distrik Pogoma, Sinak Barat, Gome, Beoga, dan Intan Jaya. Langkah ini krusial untuk meredakan ketegangan dan mengembalikan rasa aman bagi warga.
- Menghimbau Panglima TNI menghentikan segala bentuk pendropan militer ke wilayah sipil dan memberikan penjelasan kepada publik: apakah ini bagian dari perlindungan rakyat atau justru praktik pembungkaman dan eksploitatif terhadap Papua? Transparansi menjadi kunci untuk membangun kembali kepercayaan.
- Meminta Komnas HAM RI segera membentuk Tim Penyelidik ad hoc untuk melakukan penyelidikan independen terhadap dugaan pelanggaran HAM berat, termasuk pembunuhan warga sipil, perusakan fasilitas, dan eksodus massal. Penegakan keadilan adalah hak fundamental bagi para korban.
Kemanusiaan di Atas Segalanya: Pertanyaan untuk Sebuah Bangsa
Situasi di Kabupaten Puncak bukan sekadar berita pinggiran dari wilayah timur Indonesia. Ini adalah krisis kemanusiaan yang membutuhkan perhatian nasional dan internasional. Ketika negara menjatuhkan bom di wilayahnya sendiri dan rakyatnya melarikan diri ke hutan, maka kita patut bertanya: negara ini milik siapa? Apakah negara ini benar-benar hadir untuk melindungi seluruh rakyatnya?
“Hari ini, orang Papua bukan hanya kehilangan rumah, tetapi juga kehilangan kepercayaan pada negara,” tegas Tim Investigasi. Jika pendekatan militer terus dikedepankan sebagai solusi, maka kita tidak sedang menciptakan perdamaian yang hakiki, melainkan hanya memperpanjang derita dan memupuk kebencian.
Masa depan Papua dan Indonesia, pada akhirnya, akan ditentukan oleh pilihan yang diambil saat ini: antara melanjutkan kekerasan atau membangun jembatan dialog dan keadilan.
(*) Yones Magai adalah penulis artikel ini. Ia adalah aktivis Forum Independen Mahasiswa (FIM) West Papua.
Catatan : Tulisan ini didasarkan pada hasil wawancara, investigasi lapangan, dokumentasi warga, serta sumber terbuka per 1 Juni 2025. Data dapat diperbarui sesuai perkembangan di lapangan.
