Gambar ilustrasi (doc: wenebuletin)
Pernyataan Sikap Masyarakat Adat Independen Papua (MAI-P) – Komite Kota Timika
Memperingati Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia, 9 Agustus 2025
Amolonggo, Nimao, Koyao, Koha, Kosa, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Saipa, Wainambe, Nayaklak, Wa wa wa….!!!
Kapitalisme, kolonialisme, dan militerisme wajib menghormati dan mengakui hak-hak masyarakat adat agar mereka dapat hidup adil, sejahtera, mandiri, berdaulat, dan bahagia di tanahnya sendiri.
Hari ini, 9 Agustus 2025, dunia memperingati Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS), yang pertama kali dideklarasikan pada 1995 bersamaan dengan dimulainya Dekade Internasional untuk Masyarakat Adat (Pribumi).
Bagi masyarakat adat Papua, peringatan ini adalah momentum refleksi sekaligus perlawanan. Sejak kedatangan bangsa-bangsa kolonial ke tanah Papua, telah terjadi perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, penghancuran tatanan adat, dan pencaplokan tanah melalui perjanjian sepihak yang tidak pernah melibatkan masyarakat adat Papua.
Ketika Papua dipaksakan bergabung dengan kolonial Indonesia, perampasan hak-hak adat semakin brutal. Negara-negara dengan kepentingan ekonomi-politik di Papua: Belanda, Inggris, Amerika Serikat, Indonesia, dan lainnya, tidak pernah sungguh-sungguh mengakui keberadaan masyarakat adat Papua.
Kekejaman kapitalisme, kolonialisme, dan militerisme terus menghancurkan tanah adat melalui undang-undang negara kolonial Indonesia yang mengabaikan hukum adat dan hukum internasional.
Pemerintah Indonesia berulang kali menebar janji di forum internasional bahwa mereka akan meratifikasi Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UN DRIP), melaksanakan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara, hingga akan mengagendakan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat dalam PROLEGNAS 2010-2014.
Namun semua ini hanya menjadi alat pencitraan demi kepentingan kapitalisme dan militerisme. Faktanya, pembahasan RUU Masyarakat Adat macet karena pemerintah tidak pernah serius menunjuk wakilnya, khususnya dari Kementerian Kehutanan. UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 dan UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967 telah merampas 80% wilayah adat menjadi “hutan negara”. Putusan MK No. 35 pun diabaikan.
Sistem kapitalisme global yang berkolaborasi dengan negara kolonial Indonesia telah menghancurkan ruang hidup masyarakat adat Papua, sehingga memicu berbagai gelombang perlawanan.
Misalnya suku Awyu di Selatan Papua telah menggugat PT Indo Asiana Lestari di PTUN Jayapura terkait perkebunan sawit seluas 36.096,4 ha di Boven Digoel yang mengancam hutan dan lahan basah.
Kemudian suku Moi (Malamoi) di Sorong juga menolak konsesi PT Hutan Hijau Papua Barat (92.148 ha) yang mengancam tanah adat mereka. Karena perampasan tanah ini, ancaman ekosida membayangi: hilangnya hutan, sumber pangan komunal, mata pencaharian, tempat suci, pengetahuan adat, dan keanekaragaman hayati endemik Papua.
Kebijakan seperti pemekaran provinsi DOB (2022) dan berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN) di Tanah Papua telah lahir dari kesepakatan oligarki Jakarta dan negara-negara anggota G20 demi memperluas investasi di tanah adat Papua. Ironisnya, ini dilakukan tanpa menghormati keinginan dan aspirasi rakyat dan masyarakat adat Papua sebagai pemilik tanah.
Seruan Perjuangan
Dengan mencermati situasi yang terjadi, ancaman terhadap masyarakat adat Papua akan terus ada. Karena itu perjuangan harus dijalankan melalui organisasi, aksi massa, tulisan, diskusi, hingga mobilisasi kekuatan rakyat untuk melawan kapitalisme, kolonialisme, dan militerisme yang melindungi investasi dan perampokan sumber daya alam.
Kami, Masyarakat Adat Independen Papua (MAI-P), menyatakan sikap:
- Tutup PT Freeport Indonesia di Timika
- Tolak MIFEE di Merauke
- Tolak MP3EI
- Tolak Blok Wabu, Warim, dan Bobara
- Tolak PT Agro Lestrasi (PAL) di Timika
- Tolak pabrik smelter di Fakfak
- Cabut seluruh izin usaha kelapa sawit di tanah adat Papua
- Bangun pasar khusus mama-mama Papua di seluruh tanah adat
- Dukung perjuangan suku Awyu di Merauke
- Dukung perjuangan masyarakat adat Malamoi tolak PT HHPB
- Dukung perjuangan adat Walesi dan Wouma menolak kantor Gubernur Papua Pegunungan
- Tolak bendungan Klaw Sow di Sorong
- Tolak Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Sorong
- Dukung perjuangan masyarakat adat Kimam dan Maklew (Merauke)
- Dukung perjuangan suku MPRI Tambrauw melawan PT Nuansa Lestari Sejahtera
- Cabut 53 izin tambang emas, batu bara, nikel, dan gas bumi di seluruh Papua
- Dukung semua perjuangan masyarakat adat Papua
- Hentikan pemekaran provinsi di seluruh Papua
- Buka akses jurnalis seluas-luasnya di Papua
- Tarik militer organik dan non-organik dari Papua
- Hentikan perampasan tanah adat dan kriminalisasi masyarakat adat
- Indonesia stop ekosida dan genosida di Papua
- Tutup bandara antariksa di Biak
- Bebaskan seluruh tahanan politik Papua tanpa syarat
- Adili jenderal pelanggar HAM
- Hentikan rasisme dan tangkap pelaku politik rasial
- Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Puncak Papua, Pegunungan Bintang, Maybrat, dan seluruh Papua
- PBB harus terlibat aktif dalam penentuan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan penyelesaian pelanggaran HAM di Papua
- Beri akses penuh kepada Komisi HAM PBB untuk meninjau langsung situasi di Papua
- Jamin kebebasan informasi, berekspresi, berorganisasi, dan berpendapat bagi bangsa Papua
- Dukung perjuangan masyarakat adat di Indonesia dan dunia melawan perampasan lahan oleh investor
- Tolak tambang nikel di Raja Ampat
- Tolak Daerah Otonomi Baru di seluruh tanah adat Papua
- Tolak PLTA di Timika
- Akui hak masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri sesuai Konvensi PBB ILO No. 169 Tahun 1989 Pasal 3
Salam Masyarakat Adat!
Selamatkan tanah adat dan manusia Papua!
Timika, 9 Agustus 2025
Koordinator: Jomiu Tabuni
