Maksi Sangkek, salah satu Tapol NRPB saat di Rutan Polresta Sorong (doc: Ebis Marshall/Solidaritas)
Sorong, Papua Barat Daya – Senja di Sorong, 25 Agustus 2025, terlihat biasa saja. Langit oranye keemasan memantul di permukaan laut teluk reklamasi yang indah. Menutupi sejenak luka-luka kota ini.
Namun di balik tembok jeruji Polresta Sorong Kota, ada empat jiwa yang tengah terhimpit: Abraham Goram Gaman, Nikson May, Piter Robaha, dan Maksi Sangkek. Sekali lagi, mereka bukan koruptor. Bukan pengedar narkoba. Bukan pelaku kriminal dan kekerasan.
Mereka adalah empat Tahanan Politik (Tapol) Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) yang ditangkap hanya lantaran menyampaikan surat politik yang berisi aspirasi damai untuk penyelesaian konflik Papua.
Hari itu, kabar mendesak datang: Maksi Sangkek, satu dari empat Tapol mengalami sakit parah. Nafasnya pendek-pendek, batuknya makin parah, bahkan sempat mengeluarkan darah.
Kondisi ruang tahanan yang pengap dan dipenuhi asap rokok membuat paru-parunya yang lemah tak mampu lagi bertahan.
“Kami mendapat informasi dari Jaksa lewat pesan WhatsApp, bahwa Bapak Maksi Sangkek dilarikan ke RS TNI AD Aryoko Sorong,” ungkap Yan Christian Warinussy, Direktur Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, sekaligus penasihat hukum keempat Tapol ini.
“Kami menduga beliau (baca, Maksi Sangkek) mengalami sakit akut di saluran pernapasan yang sangat berbahaya bila dipaksakan untuk perjalanan udara ke Makassar.”
Sejak 28 April 2025, keempat Tapol ini ditahan di ruang sempit Rutan Polresta Sorong Kota setelah ditangkap. Tiga puluh orang berbagi udara dalam ruangan yang seharusnya hanya menampung setengahnya.
Saat berada di dalam ruang tahanan dengan kondisi demikian, para Tapol pun mengeluh. Siang terasa panas, sirkulasi udara begitu sesak dan malam udara dingin menusuk tulang. Asap rokok mengepul menambah sesak napas.
Abraham Goram, salah satu Tapol NRFPB sempat kambuh sakit paru-paru yang pernah ia derita. Sementara Maksi, pria paruh baya asal suku Maybrat yang juga seorang ketua RT di Kilo 13, makin sering batuk darah.
“Bapa ini de punya sakit paru-paru bawaan, baru tambah parah karena kondisi ruangan,” lirih istri Abraham.
Pada 16 Juni 2025 lalu, keluarga membawa secercah harapan. Maksi dan Abraham sempat dibawa ke poliklinik, tetapi segera dikembalikan ke sel.
Permohonan penangguhan penahanan, lengkap dengan jaminan keluarga, tak pernah digubris.
“Saya cuma mau pulang sebentar untuk berobat. Setelah sembuh, saya pasti kembali,” ucap Maksi berharap. Namun bukannya diberi kesempatan pulih, ia justru dipindahkan ke ruang KBO yang ber-AC.
Alih-alih membantu, udara dingin ruangan itu justru memperburuk penyakit paru-parunya. “Sejak dipindahkan ke sini, saya tidak pernah bisa tidur nyenyak,” katanya.
Di tengah kondisi ini, Kejaksaan Negeri Sorong sebelumnya berencana memindahkan sidang ke Makassar pada 27 Agustus 2025. Alasan yang dipakai sederhana: demi keamanan.
Namun faktanya, Sorong dalam keadaan tenang. Tidak ada kerusuhan, tidak ada ancaman serius. Bagi keluarga dan kuasa hukum, rencana ini justru mengasingkan para terdakwa dari dukungan keluarga dan publik.
“Ini jelas upaya mengisolasi dan membungkam. Pemindahan akan membuat mereka jauh dari keluarga, dari pengobatan adat, dari dukungan rakyat Papua,” tegas Apey Tarami, dari Solidaritas Rakyat Papua Pro-Demokrasi se-Sorong Raya.
Bagi masyarakat adat Maybrat, sakit yang dialami Maksi bukan hanya soal medis. Pemindahan jauh dari tanah kelahirannya berpotensi dianggap sebagai pelanggaran adat.
“Kalau sampai beliau meninggal karena dipindahkan, tuntutan adat akan berlangsung turun-temurun kepada pihak yang dianggap bertanggung jawab,” jelas Warinussy melalui pesan WhatsApp yang diterima Wene Buletin.
Bagi keluarga, tuduhan makar terhadap Maksi dan tiga rekannya adalah bentuk kriminalisasi. “Apa yang mereka lakukan bukan makar. Mereka hanya mengantar surat. Itu pun surat untuk tawaran damai terkait konflik politik Papua,” tegas Yoab Iek, aktivis Papua yang juga kerabat Maksi.
Istri Maksi tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Baginya, tuduhan bahwa suaminya berpotensi melarikan diri hanyalah alasan aparat. “Bapa ini ketua RT, kepala suku. Dia tidak mungkin lari. Kenapa harus dipindahkan jauh-jauh ke Makassar?”
Sementara itu, Yoab menilai kasus ini adalah cermin dari wajah hukum yang dipakai sebagai alat represi. “Hukum dipakai untuk menciptakan ketakutan dan represi. Ini bukan penegakan hukum, ini jelas-jelas kriminalisasi politik,” ujarnya.
Tindakan penangkapan, penahanan dan upaya pemindahan paksa 4 Tapol NRFPB ke Makassar, menurut Yoab, selain upaya kriminiliasi, juga bertujuan menciptakan ketakutan dan upaya represif melalui alat kekuasaan seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan terhadap setiap aspirasi politik pembebasan rakyat Papua.
Dalam situasi ini, hukum dipakai untuk menekan, menciptakan ketakutan terhadap kebebasan berpendapat dan demokrasi.
Jika pemaksaan pemindahan 4 Tapol tetap dilakukan ke Makassar dan terjadi hal-hal yang menimpa mereka, dari sisi adat, menurut Yoab Iek, pemerintah tetap harus bertanggung jawab.
“Jadi kalo sampe Maksi Sangkek yang sedang sakit dipindahkan lalu meninggal di Makassar, maka Gubernur Elisa Kambu harus bertanggung jawab secara adat Maybrat,”
Menurut sejumlah aktivis HAM dan pengamat hukum, apa yang dilakukan 4 Tapol NRFPB sesungguhnya tidak dapat dikategorikan memenuhi unsur makar karena hanya mengantar surat tawaran perundingan politik damai.
Kasus 4 Tapol NRFPB ini telah membuka tabir, bagaimana hukum bagi Pemerintah Indonesia kerap dipakai untuk membungkam suara politik Papua.
Tuduhan makar yang prematur, kondisi tahanan yang memprihatinkan, hingga rencana pemindahan sidang yang jauh dari ‘locus delicti’, semuanya menunjukkan satu hal: hukum berjalan tanpa wajah kemanusiaan.
Pertanyaannya: apakah negara dan pemerintah Indonesia bersedia mendengar jeritan keluarga Maksi Sangkek beserta ketiga Tapol NRFPB, atau membiarkan mereka menderita di balik jeruji besi hingga ajal menjemput?
Seperti diingatkan banyak pegiat HAM: hukum tanpa kemanusiaan hanyalah kekerasan yang dilegalkan. (Julian Haganah Howay)
