
DI tengah hiruk pikuk kehidupan modern, seringkali kita terlena oleh janji-janji manis pembangunan dan stabilitas. Kita sibuk dengan rutinitas, dengan harapan-harapan pribadi yang sederhana.
Namun, di balik tirai kemajuan yang digaungkan, ada suara-suara yang dibungkam. Ada luka-luka yang menganga. Ada keadilan yang dirampas.
Di Indonesia, sebuah bangsa yang dibangun di atas fondasi kemerdekaan dan keadilan sosial, ironisnya kita menyaksikan ironi yang menyayat hati: penindasan terhadap mereka yang berani menyuarakan kebenaran.
Ini bukan sekadar isu politik elit. Ini adalah cermin dari krisis moral dan kemanusiaan yang membutuhkan respons dari setiap hati nurani yang masih peduli.
Kita sering mendengar adagium bahwa “rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi.” Namun, apa artinya kedaulatan jika suara rakyat yang kritis justru direspons dengan represi? Apa artinya keadilan jika mereka yang berjuang untuk hak-hak dasar justru dijebloskan ke penjara?
Sejak era Reformasi, kita berharap bahwa era Orde Baru yang represif telah usai. Namun, peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan ini, terutama pasca “Perlawanan Agustus”, menunjukkan bahwa hantu otoritarianisme masih berkeliaran, mengancam kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia.
Penangkapan para aktivis, kriminalisasi gerakan sosial, hingga hilangnya nyawa dalam perjuangan adalah pengingat pahit bahwa harga demokrasi adalah kewaspadaan abadi.
Mari kita tengok sejenak potret buram yang melanda negeri ini. Sejak kepemimpinan baru mengambil alih tampuk kekuasaan, retorika populis digaungkan untuk menenangkan massa. Program-program yang tampak “merakyat” disuntikkan, seolah-olah menjadi obat mujarab bagi segala derita.
Namun, data dari Aliansi Ekonom Indonesia berbicara lain: sumber daya negara justru lebih banyak tersedot untuk program-program kosmetik yang tidak menyentuh akar persoalan, seperti MBG, Danantara, atau Koperasi Merah Putih. Ini adalah ilusi kesejahteraan, sebuah siasat untuk mengalihkan perhatian dari masalah fundamental yang kian kronis.
Di sisi lain, saat rakyat disodori janji-janji kosong, kita menyaksikan korupsi yang kian merajalela, tunjangan elit yang terus meroket, bagi-bagi kue kekuasaan di antara segelintir orang, rangkap jabatan militer yang mengancam dwifungsi, serta kolusi dan nepotisme yang semakin memperparah kondisi.
Utang negara Indonesia membengkak melampaui batas kemampuan, melemparkan jutaan rakyat ke jurang penderitaan ekonomi. Fakta pahit ini terkonfirmasi: Indonesia kini menempati posisi paling atas sebagai negara dengan kesenjangan sosial tertinggi di Asia Tenggara.
Ini bukan sekadar angka; ini adalah tangisan jutaan keluarga yang hidup dalam ketidakpastian, memandang masa depan dengan cemas. Ini adalah kesenjangan antara kemewahan segelintir orang dan kemiskinan massal yang menyakitkan.
Namun, di tengah semua ini, ada satu wilayah yang lukanya menganga lebih dalam, yang suaranya seringkali dianggap bisu oleh pusat: Papua. Di tanah yang kaya raya dengan sumber daya alam, rakyatnya justru hidup dalam bayang-bayang represifitas yang tak kunjung usai.
Sejak Agustus hingga September, lebih dari 30 orang ditahan, 4 orang dijatuhi hukuman wajib lapor, 1 orang bernama Septinus Sesa meninggal dunia dalam tahanan, dan 1 orang bernama Maikel Weleribun mengalami luka parah.
Bahkan, 4 Tapol Papua yang berinisiatif mengantar surat perundingan damai, sebuah upaya mulia untuk merajut dialog, justru masih ditahan hingga hari ini. Mereka adalah simbol nyata bagaimana upaya damai pun dapat berujung pada jeruji besi.
Inilah puncak dari gunung es ketidakadilan yang menggerakkan rakyat untuk turun ke jalan. Namun, apa yang mereka dapatkan? Alih-alih perbaikan kebijakan, mereka justru disambut dengan represi yang brutal.
Lebih dari 5.444 orang ditahan, 900-an ditetapkan sebagai tersangka, 2 orang dihilangkan secara paksa, dan 11 orang meninggal dunia di seluruh Indonesia. Ini bukan lagi soal perbedaan pendapat; ini adalah pembungkaman massal terhadap kehendak rakyat.
Yang lebih mengkhawatirkan, rezim ini masih melanjutkan perburuan terhadap para aktivis hingga detik ini, menciptakan iklim ketakutan yang mencekik. Kondisi ini adalah panggilan darurat bagi kita semua.
Ini bukan hanya perjuangan para aktivis atau korban; ini adalah perjuangan untuk menjaga martabat bangsa, untuk memastikan bahwa keadilan tidak hanya menjadi jargon di buku-buku hukum, tetapi menjadi napas kehidupan bernegara.
Kita tidak bisa berdiam diri melihat ketidakadilan ini terus berlangsung. Kita tidak bisa membiarkan suara-suara kebenaran terus dibungkam. Setiap penahanan seorang aktivis adalah penahanan terhadap kebebasan kita, setiap represi adalah pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan.
Oleh karena itu, pada Rabu, 15 Oktober 2025, kita diajak untuk bangkit. Forum Rakyat Sorong Raya menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat di Kota Sorong, tanpa memandang latar belakang, baik orang Papua maupun non Papua untuk bergabung dalam aksi nasional ini.
Kita akan berlongmarch dari Ramayana dan Elin Fotocpy menuju Polres Kota Sorong, bukan untuk membuat kekacauan, melainkan untuk menyuarakan tuntutan yang jelas: Pembebasan Tapol Seluruh Indonesia!!!
Kita akan menuntut pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM, dan mendesak agar keadilan ditegakkan. Ini bukan sekadar aksi, ini adalah manifestasi dari kepedulian kita. Ini adalah pernyataan bahwa kita menolak diam.
Ini adalah langkah kecil namun signifikan untuk menegaskan bahwa rakyat masih memiliki kekuatan, bahwa solidaritas adalah senjata terampuh melawan penindasan. Mari bergabung, tunjukkan bahwa Sorong Raya berdiri di garis depan perjuangan keadilan.
Mari akhiri babak kelam ini. Wujudkan bangsa Indonesia dan Papua yang benar-benar adil dan beradab. Salam Pembebasan Nasional, Kita Harus Akhiri!
Forum Rakyat Sorong Raya