Gambar ilustrasi (wenebuletin.com)
DI BALIK gemerlap janji politik dan seremonial peresmian proyek, banyak daerah di Indonesia (termasuk di Tanah Papua) masih terseok-seok dalam jurang ketertinggalan. Ironisnya, bukan karena kekurangan dana.
Setiap tahun, dana transfer dari pusat mengalir dalam jumlah besar melalui Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), hingga Dana Otonomi Khusus (Otsus) di wilayah tertentu. Namun, realita di lapangan memperlihatkan bahwa banyak pemimpin daerah tak mampu mengelola keuangan dengan bijak.
Akibatnya, pembangunan tersendat, kemiskinan merajalela, dan kepercayaan publik terkikis.
Dr. Budi Santosa, pakar administrasi publik dari Universitas Gadjah Mada, menjelaskan bahwa kegagalan pengelolaan keuangan daerah bukan semata persoalan teknis. “Sering kali, ini adalah soal kepemimpinan yang lemah dan rendahnya komitmen moral terhadap pelayanan publik. Banyak kepala daerah memimpin dengan orientasi kekuasaan, bukan pengabdian,” ujarnya.
Dalam banyak kasus, pemimpin daerah tidak memiliki kompetensi teknokratis yang memadai. Mereka terpilih bukan karena visi pembangunan yang jelas. Melainkan karena kekuatan popularitas, uang, atau jaringan politik.
Hasilnya, anggaran daerah tidak digunakan secara strategis, bahkan kerap menjadi ladang bancakan kelompok elite. Di Tanah Papua, beberapa kabupaten induk seperti Manokwari, Biak Numfor, Jayapura, Jayawijaya, Kepulauan Yapen dan Nabire, termasuk tidak efisien dalam pengelolaan keuangan daerah.
Ini belum termasuk kabupaten-kabupaten pemekaran di Tanah Papua yang selama ini pemimpin daerahnya masih mencari-cari format pembangunan, terkesan sangat tidak efisien dalam mengelola anggaran daerah dan tidak kreatif mengelola sumber-sumber pendapatan asli daerah (PAD).
Belum lagi jika problem korupsi menjadi masalah yang menguras keuangan daerah, anggaran yang hanya terfokus untuk mengurus kepentingan aparatur dan birokrasi, serta kurangnya anggaran untuk pelayanan publik, pembangunan daerah maupun masyarakat.
Sudut Pandang Ekonomi: Dana Ada, Niat Tak Ada
Ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI, Dr. Sri Mulyani Lubis, menyampaikan bahwa tata kelola keuangan daerah yang buruk sangat merugikan pertumbuhan ekonomi lokal.
“Dana yang mengendap di kas daerah hingga triliunan rupiah setiap akhir tahun menunjukkan rendahnya kapasitas serapan anggaran. Ini memperlambat perputaran uang dan menahan efek ganda ekonomi bagi masyarakat,” katanya.
Dalam laporan Kementerian Keuangan, masih banyak daerah dengan serapan anggaran belanja modal yang sangat rendah. Artinya, pembangunan fisik yang seharusnya dirasakan masyarakat tertunda, bahkan gagal diwujudkan.
Sementara itu, alokasi untuk belanja pegawai terus naik, memperlihatkan birokrasi yang boros namun tidak produktif.
Secara psikologi politik, muncul pertanyaan besar: mengapa masyarakat masih memilih pemimpin yang tidak mampu mengelola keuangan dengan baik?
Dr. Rizal Mulyawan, psikolog politik dari Universitas Airlangga, mengatakan bahwa masyarakat kita masih mudah terbuai dengan pencitraan. “Pemimpin yang pandai membangun narasi, tampil religius (baca munafik), atau menyentuh sentimen identitas, cenderung lebih mudah mendapat dukungan, walaupun rekam jejak mereka lemah dalam tata kelola,” jelasnya.
Ditambah lagi, rendahnya literasi politik di sejumlah wilayah membuat pemilih tidak memiliki bekal informasi yang cukup untuk menilai kapasitas calon pemimpinnya. Akibatnya, demokrasi lokal tersandera oleh popularitas semu, praktik politik uang, birokrasi yang tersandung korupsi dan minim pelayanan publik.
Korupsi Merajalela, Ketimpangan dan Rasa Malu Yang Hilang
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa kepala daerah merupakan kelompok paling banyak terjerat kasus korupsi dalam dua dekade terakhir. Mulai dari bupati, wali kota, hingga gubernur. Modusnya pun klasik: mark-up proyek, suap pengadaan barang dan jasa, hingga jual-beli jabatan.
Menurut Prof. Yenti Garnasih, ahli hukum pidana ekonomi, lemahnya akuntabilitas di tingkat daerah menjadi pintu masuk korupsi. “Banyak daerah tidak punya sistem pengawasan internal yang efektif. Laporan keuangan hanya formalitas tanpa keterlibatan masyarakat,” ujarnya.
Lebih menyedihkan lagi, dalam beberapa kasus, praktik korupsi justru menjadi sistem yang mengakar dan dijalankan secara kolektif oleh elite daerah. Akibatnya, pembangunan hanya menjadi proyek pribadi, bukan kesejahteraan publik.
Dalam perspektif sosiologi kekuasaan, kegagalan pengelolaan keuangan daerah merupakan bentuk dari “ketimpangan struktural yang dilembagakan.” Demikian menurut Dr. Ignatius Reiner, sosiolog dari Universitas Atma Jaya Jakarta.
“Pemimpin yang gagal membangun tetapi tetap dipuja adalah bukti bahwa budaya malu sudah pudar. Di banyak tempat, kekuasaan justru membuat individu tak tersentuh kritik. Masyarakat yang kritis malah dianggap musuh,” jelasnya.
Kritik menjadi barang mahal. Ketika rakyat bersuara, mereka dibungkam dengan intimidasi atau janji palsu. Padahal, rasa malu seharusnya menjadi kontrol sosial bagi para pemimpin yang tidak menjalankan amanah.
Malu yang Seharusnya Menjadi Refleksi
Kita patut bertanya: sampai kapan masyarakat harus menanggung malu akibat pemimpinnya yang tidak kompeten?
Dalam budaya Nusantara dan Papua, rasa malu memiliki tempat penting sebagai pengendali diri dan etika sosial. Seorang pemimpin yang gagal, dalam tradisi banyak suku di Indonesia, seharusnya mengundurkan diri atau meminta maaf kepada rakyat seperti tradisi di Jepang dan negara-negara maju.
Namun kini, kegagalan kerap dibungkus retorika pencitraan, seolah tak terjadi apa-apa. Tidak tahu malu!
Lebih parah lagi, beberapa pemimpin daerah yang pernah divonis korupsi justru kembali maju dalam pemilu dan… menang. Ini benar-benar sangat tidak tahu malu!
Namun, masih ada harapan. Di beberapa daerah, kita menyaksikan sosok-sosok pemimpin yang mampu menggunakan dana daerah dengan bijak, membangun infrastruktur yang nyata, memberdayakan masyarakat adat, hingga menciptakan iklim investasi yang sehat.
Mereka tidak selalu populer di media sosial, tetapi dihormati di lapangan. Karena itu, dari refleksi diatas, ada beberapa langkah sistemik yang dapat dilakukan untuk memperbaiki keadaan :
Misalnya, perlunya reformasi sistem rekrutmen pemimpin daerah, agar lebih menekankan integritas dan kompetensi. Transparansi anggaran dan partisipasi publik, supaya rakyat bisa mengawasi penggunaan dana.
Perlunya pendidikan politik berbasis masyarakat, agar pemilih melek informasi dan tidak mudah dibodohi. Perlunya sanksi sosial dan moral yang tegas, agar pemimpin yang gagal merasa malu dan tidak berulang.
Yang berikut, perlu ada revitalisasi peran media dan LSM, sebagai penyeimbang kekuasaan dan penggerak suara rakyat.
Pemimpin sejati bukan hanya yang bicara lantang saat kampanye, tetapi yang mampu membawa rakyatnya keluar dari keterpurukan. Ia bukan yang membangun gedung megah, tetapi yang menumbuhkan harapan. Dan di atas semua itu, ia adalah pemimpin yang tahu malu bila gagal memenuhi amanah.
Saat seorang pemimpin tak merasa malu gagal membangun daerahnya, maka kita semua sebagai bangsa patut malu telah membiarkannya naik ke kursi kekuasaan.
(*) Nikodemus Kambu adalah penulis artikel ini. Ia seorang pensiunan guru SMA yang berdomisili di Amban Manokwari dan ketua Yayasan Wion Susai Papua.
