“Kita Bukan Dijajah Karena Lemah, Tapi Karena Dihilangkan”
Sejak proklamasi kemerdekaan Papua Barat pada 1 Desember 1961, rakyat Papua sejatinya telah menyatakan dirinya sebagai sebuah bangsa yang merdeka, berdaulat, dan siap memerintah dirinya sendiri.
Namun, sebelas hari setelah proklamasi itu, tepatnya pada 19 Desember 1961, Soekarno (Presiden Indonesia) mengumandangkan Trikora (Tri Komando Rakyat), sebuah dekrit militer untuk merebut wilayah Papua Barat dari Belanda.
Dalam konflik geopolitik antara Indonesia dan Belanda yang kala itu tengah merampungkan pendirian Negara Papua Barat melalui Dewan Nugini (Nieuw Guinea Raad), muncul tekanan dari Amerika Serikat yang kemudian memfasilitasi Perjanjian New York (15 Agustus 1962).
Perjanjian ini menyerahkan kendali Papua Barat ke dalam administrasi sementara PBB (UNTEA), sebelum akhirnya diserahkan kepada Indonesia melalui Perjanjian Roma pada 30 September 1962.. Dya kesepakatan yang cacat hukum secara prosedural dan tanpa melibatkan rakyat Papua sebagai subjek utama.
Akhirnya, pada 1 Mei 1963, Papua Barat resmi dianeksasi ke dalam wilayah Republik Indonesia secara de facto dan de jure, menghapus hak kedaulatan yang telah diperjuangkan.
Pepera 1969: Prosedur Legal Tapi Tidak Legitimate
Proses Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 yang seharusnya menjadi wujud demokrasi, justru berlangsung dalam situasi militeristik, manipulatif, dan tidak representatif.
Hanya 1.025 orang dari sekitar 800.000 jiwa penduduk Papua Barat yang diikutsertakan, dan itupun di bawah tekanan aparat keamanan.
Hasil Pepera yang cacat hukum tersebut tetap disahkan oleh PBB melalui Resolusi 2504 (XXIV) tanggal 19 November 1969—sebuah keputusan politik yang tidak mencerminkan prinsip “self-determination” yang dijamin oleh hukum internasional.
Dalam kacamata Frantz Fanon, ini adalah bentuk penjajahan yang diformalisasi: kolonialisme yang tidak hanya menaklukkan wilayah, tetapi juga menundukkan kesadaran, bahasa, dan sejarah rakyat yang dijajah.
1 Juli 1971: Proklamasi di Markas Victoria
Sebagai bentuk perlawanan terhadap penipuan sejarah tersebut, pada 1 Juli 1971, Brigjen Zeth Javet Rumkorem bersama Jacob H. Prai memproklamasikan kembali Republik Papua Barat dari Markas Victoria, menyatakan bahwa tanah Papua adalah milik rakyat Papua, dari Numbay hingga Merauke, Sorong sampai Pegunungan Bintang.
Bersamaan dengan proklamasi ini, disahkan pula UUD Sementara Republik Papua Barat sebagai dasar hukum negara, dan dibentuk sayap militer yang disebut Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) atau TEPENAL.
1 Juli bukan sekadar tanggal historis. Ini adalah simbol bahwa rakyat Papua tidak pernah menyerah, bahwa hak menentukan nasib sendiri (the rights for self determination) adalah milik yang sah dari bangsa yang pernah menyatakan kemerdekaannya.
Sikap Politik Kami: 1 Juli 2025
Memperingati 53 tahun proklamasi 1 Juli 1971, kami, Forum Independen Mahasiswa (FIM) West Papua – Komite Kota Nabire, menyatakan sikap politik sebagai berikut:
- Menolak secara tegas hasil Pepera 1969, yang disahkan dalam Resolusi PBB No. 2504, karena pelaksanaannya tidak demokratis, tidak inklusif, dan berlangsung di bawah tekanan militer.
- Menuntut pengakuan kembali kemerdekaan Republik Papua Barat sebagaimana dideklarasikan pada 1 Desember 1961, dengan mengacu pada pembukaan UUD 1945 Republik Indonesia sendiri yang menyatakan bahwa:
“Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.”
- Menyatakan bahwa TPN-PB adalah bentuk perjuangan rakyat tertindas, yang sah dan historis sebagai respons terhadap kegagalan sistem internasional dan nasional dalam menjamin hak rakyat Papua atas penentuan nasib sendiri.
- Menolak seluruh bentuk eksploitasi sumber daya alam di tanah Papua, termasuk operasi PT Freeport Indonesia, LNG Tangguh, dan korporasi multinasional lainnya yang beroperasi atas dasar penjajahan ekonomi. Ini adalah wujud nyata imperialisme dan kolonialisme yang menggerogoti masa depan anak cucu Papua.
- Menuntut penentuan nasib sendiri sebagai solusi damai dan demokratis, sebagaimana dijamin dalam Piagam PBB, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan prinsip-prinsip dekolonisasi global.
Melawan Penjajahan Tak Pernah Usang
Hari ini, ketika sejarah dikaburkan, tanah dirampas, dan suara dibungkam, maka menjadi kewajiban generasi muda Papua untuk mengingat, melawan, dan menyuarakan kembali kebenaran yang diwariskan oleh para leluhur kita.
Sebagaimana dikatakan oleh Frantz Fanon:
“Satu bangsa yang tidak memiliki kesadaran atas masa lalunya, akan dengan mudah ditundukkan oleh narasi penjajah.”
Kami percaya bahwa perlawanan bukanlah tindakan subversif, tapi hak politik dan moral untuk menentukan masa depan bangsa kami sendiri.
📍 Nabire, Selasa, 1 Juli 2025
Forum Independen Mahasiswa (FIM) West Papua
