Keempat Tapol NRFPB saat disidangkan di Makassar pada 28 Agustus 2025 (doc: PN Makassar/Kompas)
SITUASI politik dan kemanusiaan di tanah Papua kembali memperlihatkan wajah asli kolonialisme Indonesia. Penangkapan, pemindahan paksa tahanan politik, serta kekerasan aparat terhadap aksi-aksi damai rakyat Papua bukanlah peristiwa baru, melainkan pola penindasan yang terus berulang.
Pada 26 Agustus 2025, aparat keamanan secara brutal membubarkan aksi solidaritas rakyat Papua se-Sorong Raya yang menolak pemindahan empat tahanan politik NRFPB ke Makassar. Aksi damai itu justru dibalas dengan penembakan, penangkapan, dan penculikan.
Pemindahan tahanan politik ke luar tanah Papua adalah bentuk penghilangan ruang keadilan bagi orang asli Papua. Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum, sekaligus melanggar hak asasi manusia. Keputusan tersebut jelas bermuatan politik, bukan hukum.
Negara Indonesia bukannya melindungi rakyat, justru mengkriminalisasi aktivis pro-demokrasi dan keluarga tahanan.
Menyikapi situasi ini, Masyarakat Adat Independen Papua (MAI-P) menyatakan sikap tegas untuk menolak segala bentuk kriminalisasi, militerisasi, dan pemindahan paksa tahanan politik.
Pernyataan Sikap
Salam Masyarakat Adat. Selamatkan tanah adat dan manusia Papua!
Amolongo, nimaowitimi, yepmum, foi moi, tabea mufa, koyao, amakene, nare, dormum, walak, saifa, wainambe, mahikai, nayaklak, wa wa wa wa……
Tolak Pemindahan Empat Tapol NRFPB ke Makassar – Sulawesi Selatan!
Segera Bebaskan Tanpa Syarat!
Kami mengecam keras sikap pemerintah kolonial Indonesia yang terus menindas rakyat Papua. Tindakan represif, penembakan, dan penangkapan yang dilakukan aparat terhadap aksi damai solidaritas pro-demokrasi se-Sorong Raya merupakan bukti nyata praktik militerisme yang semena-mena.
Situasi Papua kian buruk dengan hadirnya kekuatan militer yang semakin masif, diskriminasi terhadap massa aksi, serta pola pemerintahan militeristik yang mengkambinghitamkan Front Solidaritas Rakyat Papua se-Sorong Raya dan keluarga empat tahanan politik (Tapol) NRFPB.
Aksi protes rakyat Papua menolak pemindahan empat Tapol NRFPB ke Makassar berlandaskan hukum yang sah. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal 85 jelas mengatur bahwa pemindahan tempat sidang hanya dapat dilakukan bila ada gangguan keamanan atau bencana alam. Tidak ada alasan sah untuk memindahkan persidangan ke luar Papua.
Pada 26 Agustus 2025, massa aksi Solidaritas Rakyat Papua Pro-Demokrasi se-Sorong Raya bersama keluarga tapol mendatangi Polresta Sorong Kota. Mereka berusaha menghentikan rencana pemindahan paksa keempat tapol.
Namun aksi damai itu justru dibalas dengan kekerasan: penangkapan, penembakan, bahkan penculikan. Perintah Gubernur Papua Barat Daya untuk melakukan konsolidasi penindakan massa telah memperparah situasi dan mengkriminalisasi aktivis pro-demokrasi. Karena itu kami menyatakan :
- Mendesak Mahkamah Agung segera membatalkan fatwa yang melegitimasi pemindahan empat tahanan politik Papua (NRFPB) dari Sorong ke Makassar, sehingga sidang tetap berlangsung di Kota Sorong.
- Menuntut Gubernur Papua Barat Daya dan jajaran Forkopimda bertanggung jawab atas surat kuasa bermuatan politis yang digunakan untuk memaksa pemindahan keempat tapol.
- Mendesak pemerintah Indonesia segera membebaskan keempat tapol NRFPB tanpa syarat.
- Meminta pertanggungjawaban Gubernur Papua Barat Daya dan Forkopimda atas situasi tidak kondusif di Kota Sorong sejak 27 Agustus 2025, termasuk penahanan delapan orang, penembakan tiga orang, dan penculikan satu orang rakyat Papua.
- Mengecam penggunaan kekuatan berlebihan oleh TNI/Polri terhadap massa aksi solidaritas rakyat Papua se-Sorong Raya.
- Mendesak Gubernur Papua Barat Daya dan Kapolda Papua Barat Daya menghentikan penangkapan sewenang-wenang terhadap solidaritas pro-demokrasi dan keluarga tapol NRFPB.
- Menuntut dihentikannya kekerasan militer terhadap masyarakat sipil dan aktivis pro-demokrasi di seluruh tanah Papua dan Indonesia.
- Menuntut penarikan seluruh pasukan militer organik maupun non-organik dari Kota Sorong dan seluruh tanah Papua.
- Mendesak pengusutan tuntas kasus pembunuhan Tobias Silak.
- Meminta agar ruang demokrasi di Sorong dan seluruh tanah Papua segera dibuka kembali.
- Menegaskan negara wajib bertanggung jawab menangkap dan mengadili pelaku pelanggaran HAM berat di Papua.
- Mendesak dibukanya akses bagi jurnalis di seluruh tanah Papua.
- Menyerukan penutupan PT Freeport dan mendesak segera diberikan hak penentuan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa Papua Barat.
Ketua Umum MAI-P
Ardhy Murib
West Papua, Sabtu, 30 Agustus 2025
