Sorong, Papua Barat Daya – Hawa panas menyelimuti Kampung Sailala, Distrik Sayosa Timur, Kabupaten Sorong. Bukan karena terik matahari, melainkan karena rasa takut yang menyelimuti warga.
Pemicunya sebuah story WhatsApp. Status yang seharusnya personal itu, kini menjadi awal mula teror bagi seorang warga bernama Decky Skamuk. Karena merasa terancam, ia pun mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Pos Sorong.
Melalui lembaga ini, mereka mendesak agar pihak berwenang dapat menindak tegas oknum Brimob yang dituding mengancamnya.
Kasus ini bermula dari keresahan warga Sailala atas kehadiran aparat keamanan sejak perusahaan kayu bernama PT Mancaraya Agro Mandiri (MAM) beroperasi. Saat itu, anggota Brimob kerap berpatroli dengan senjata lengkap.
Suara tembakan yang tak jelas asal-usulnya, dan pemeriksaan berlebihan terhadap warga, menciptakan ketegangan di tengah masyarakat.
Warga dan pemuda Sailala akhirnya menyuarakan protes mereka pada 27 Juni 2025 dengan memalang ruas jalan Sorong-Maudus, tepat di depan rumah Decky Skamuk. Kayu balok berukuran 5×10 meter menjadi simbol penolakan mereka terhadap aktivitas PT MAM.
Pukul 08.30 WIT, lima anggota Brimob bersenjata lengkap tiba dengan sebuah mobil putih. Seorang di antaranya, yang belakangan diketahui mengaku sebagai Komandan Pos (Danpos), langsung menendang dan membongkar palang.
Adu mulut tak terhindarkan. Oknum Brimob tersebut, yang diidentifikasi sebagai Gerson, menunjuk ke arah Decky Skamuk dan Yordan Malamuk, menuduh mereka sebagai provokator.
Setelah Brimob pergi, warga kembali memasang palang dengan bahan yang lebih kuat: kayu, bambu, dan kain merah. Babinsa setempat sempat datang menenangkan warga, meminta mereka untuk tidak anarkis.
Sore harinya, sekitar pukul 14.40 WIT, lima anggota Brimob yang sama kembali, kali ini bersama lima atasan mereka, termasuk Danpos Gerson. Mereka meminta palang dibuka dengan alasan ingin mengambil barang di basecamp PT MAM.
Namun, warga tetap menolak, dan para anggota Brimob akhirnya kembali ke basecamp.
Mediasi Gagal, Ancaman Muncul
Pada 28 Juni 2025, mediasi antara masyarakat dan PT MAM digelar di Kampung Sailala. Bupati Sorong yang diwakili Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, anggota DPRK Sorong, dan Majelis Rakyat Papua Barat Daya turut hadir.
Kesepakatan tercapai: untuk sementara, tidak ada penempatan anggota Brimob di lokasi perusahaan. Sebuah angin segar bagi warga.
Namun, harapan itu kembali terkoyak. Sekitar pukul 21.57 WIT di hari yang sama, Danpos Gerson, oknum Brimob yang terlibat pembongkaran palang, mengunggah sebuah “story” atau status foto di akun WhatsApp pribadinya.
Foto itu adalah tangkapan layar, dengan tambahan tulisan berwarna merah: “Jangan percaya berita hoax. Kami Brimob bukan penjajah. Kami juga anak adat.”
Di bawahnya, tulisan berwarna kuning menyusul: “Kami lahir, besar, dan hidup di tanah Papua. Kami jaga tanah ini… karena ini rumah kami juga.”
Yang membuat Decky Skamuk bergidik adalah sebuah panah merah yang mengarah tepat ke fotonya dan warga lain dalam tangkapan layar tersebut.
Diikuti dengan keterangan yang menyeramkan: “Main saja skenario mu sekuat yang ko bisa… tapi ingat, semua manusia akhirnya kembali ke tanah. Jangan lupa asal dan tujuan.”
Ancaman terselubung via WhatsApp itu membuat Decky Skamuk merasa sangat tidak nyaman dan ketakutan untuk beraktivitas. Padahal, kehadiran aparat keamanan seharusnya membawa rasa aman, bukan sebaliknya.
Melalui rilis resmi yang diterima Wene Buletin, LBH Papua Pos Sorong memandang tindakan oknum Brimob tersebut jelas bertentangan dengan hak-hak korban atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G Ayat 1 UUD 1945 dan Pasal 30 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Menurut LBH Papua Pos Sorong, kalimat “Main saja skenario mu sekuat yang ko bisa… tapi ingat, semua manusia akhirnya kembali ke tanah. Jangan lupa asal dan tujuan” dengan panah yang mengarah langsung ke Decky Skamuk, adalah bukti kuat bahwa oknum tersebut sengaja melakukan pengancaman.
Tindakan ini juga dinilai melanggar Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang melarang pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti secara langsung kepada korban.
“Pelanggaran ini dapat berujung pada pidana penjara paling lama 4 tahun dan atau denda hingga Rp 750 juta, sesuai Pasal 45B UU ITE” ujar Ambrosius Klagilit, pendamping hukum dari LBH Papua Pos Sorong yang mendampingi kasus ini.
Menurutnya, kasus ini telah dilaporkan kepada Komandan Satuan Brimob, dan laporan polisi telah dibuat di Polda Papua Barat Daya dan Polres Sorong.
Desakan Penegakan Hukum
Berangkat dari kejadian tersebut, LBH Papua Pos Sorong mendesak tiga hal utama:
- Komandan Satuan Brimob Papua Barat Daya untuk segera menindak tegas dan menghukum anggotanya yang melakukan tindak pidana pengancaman.
- Kepala Kepolisian Daerah Papua Barat Daya (Cq. Direktorat Reserse Kriminal Umum) dan Kepala Kepolisian Resor Sorong (Cq. Kepala Satuan Reserse Kriminal Umum) untuk segera melakukan penegakan hukum sesuai peraturan yang berlaku.
- Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Papua Barat Daya dan Kepala Seksi Profesi dan Pengamanan Resor Sorong untuk memberikan sanksi tegas kepada pelaku atas pelanggaran profesionalitas Polri.
Kini, harapan Decky Skamuk dan warga Sailala tertumpu pada keadilan. Akankah oknum Brimob yang mengancam, mendapatkan ganjaran setimpal atas perbuatannya yang telah meresahkan warga? Waktu yang akan menjawabnya. (Julian Haganah Howay)
