
Keempat Tapol NRFPB bersama kuasa hukum dari LP3BH Manokwari saat mengikuti persidangan di Makassar. (doc: LP3BH/solidaritas)
Sorong, PBD – Di bawah langit mendung Sorong, Senin siang (15/9/2025), deretan aparat kepolisian dan intelijen memenuhi halaman depan Pengadilan Negeri Sorong.
Dua mobil patroli, satu truk Dalmas, dan puluhan polisi berseragam berdiri berhadapan dengan sekitar tiga puluh orang massa Solidaritas Rakyat Papua Pro Demokrasi Se-Sorong Raya. Mereka membawa spanduk lusuh: “Bebaskan Sorong Empat!” dan meneriakkan yel-yel, “Papua merdeka!”
Di tengah terik dan tatapan tajam aparat, suara orator Ronald Kinho menggema. “Kami datang bukan untuk membuat kerusuhan. Kami datang menuntut keadilan,” serunya, meminta perwakilan pengadilan mendengar tuntutan mereka.
Di balik spanduk itu, empat nama bergema: Abraham Goram Gaman, Piter Robaha, Nikson May, dan Maksi Sangkek, dikenal sebagai “Sorong Empat.” Mereka bukan perancang pemberontakan bersenjata, melainkan pengantar surat dari presiden Negara Federal Republik Papua Barat (NRFPB), Frokorus Yaboisembut.
Namun, di ruang sidang Prof. Dr. Baharuddin Lopa, Pengadilan Negeri Makassar Kelas I A Khusus, mereka didakwa dengan pasal-pasal makar yang berat.
Dakwaan berlapis itu dibacakan jaksa dengan nomor register PDM-82 hingga 85/R.11.2/Eoh.2/08/2025, memuat Pasal 110 jo 106 KUHP, Pasal 55, Pasal 53, bahkan pasal ujaran kebencian dari UU ITE.
Eksekutif Direktur LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy, bersama tim hukum, mereka berdiri di garda depan pembelaan. “Pasal-pasal ini sering digunakan untuk membungkam suara Papua,” ujarnya seusai sidang.
Menurutnya, surat dakwaan setebal 25 halaman untuk tiap terdakwa hanyalah hasil copy-paste yang dipaksakan. “Jaksa tidak cermat. Tuduhan ini lebih mirip instrumen politik ketimbang produk hukum yang jujur,” tegasnya.
Dalam eksepsi pribadi tiga halaman yang ditulis tangan dan dibacakan Abraham, keempat terdakwa menolak keras tuduhan “permufakatan jahat.” Mereka mengingatkan majelis hakim: saat NFRPB dideklarasikan di Jayapura pada 19 Oktober 2011, mereka sama sekali tidak hadir.
“Kami hanya disuruh mengantar surat-surat dan dokumen dari Presiden NFRPB, Forkorus Yaboisembut, ke Gubernur Papua Barat Daya dan forkopimda Sorong,” kata Abraham. “Kami bukan makar. Kami hanya kurir.”
Sementara di Sorong, massa aksi mendesak Ketua Pengadilan Sorong hadir di lapangan. Kronologi aksi mencatat, pukul 11.40 siang waktu Papua, ketua pengadilan tiba dan mendengar orasi aktivis solidaritas, Apey Tarami.
Ia memaparkan ulang kemarahan publik atas pemindahan paksa Sorong Empat ke Makassar pada 27 Agustus, peristiwa yang sempat memicu kericuhan kota. Pada pukul 12.02, pernyataan sikap diserahkan. Ketua pengadilan berjanji meneruskan tuntutan itu ke Makassar, tetapi massa tetap waspada. “Aksi ini belum selesai. Kami akan terus kawal sampai mereka dibebaskan,” tegas Ronald sebelum massa bubar.
Kisah Sorong Empat kini melintasi sekat-sekat ruang sidang dan jalanan kota. Mereka adalah simbol ketegangan lama antara aspirasi politik Papua dan pendekatan keamanan negara.
Sidang eksepsi bukan sekadar formalitas; ini menjadi panggung ujian bagi netralitas peradilan Indonesia. “Kalau pengadilan hanya menjadi corong kekuasaan, rakyat Papua akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap hukum,” kata Warinussy.
Empat pria yang hanya mengantarkan surat kini memikul beban sejarah. Massa kecil di depan pengadilan Sorong, spanduk lusuh, dan suara-suara serak mereka adalah pengingat bahwa keadilan bukan sekadar pasal-pasal kaku.
Di tanah yang masih menyimpan luka kolonialisme dan diskriminasi, pertanyaan itu menggema lagi: apakah hukum Indonesia berdiri untuk rakyat Papua, atau hanya untuk menutup telinga negara?
Jawabannya akan bergantung pada apa yang diputuskan hakim di Makassar dan apakah suara-suara kecil dari jalanan Sorong ini akan terus menggema sampai didengar. (Julian Haganah Howay)