
Deklarasi pembentukan Komite Aksi Selamatkan Demokrasi dan Lingkungan Papua Selatan (KOMASDELING PAPSEL) di Merauke (doc: aworo/komasdeling)
Merauke, Papua Selatan – Di bawah langit biru yang membentang luas di ufuk Merauke, Papua Selatan, tanah basah itu masih menyimpan jejak-jejak kaki para leluhur Marind.
Hutan sagu berdiri bagai tiang kehidupan. Rawa-rawa membisikkan nyanyian air. Kanguru, rusa dan burung kasuari menapak pelan di jalur yang telah mereka kenal sejak zaman purba.
Namun, di sela nyanyian alam itu, suara lain menyeruak, suara keresahan rakyat yang melihat masa depan tanahnya hendak direbut atas nama Program Strategis Nasional (PSN) yang digalakan rezim kolonial Jakarta.
Pada Jumat, 5 September 2025, sebuah deklarasi dibacakan di Merauke oleh Komite Aksi Selamatkan Demokrasi dan Lingkungan Papua Selatan (KOMASDELING PAPSEL).
Deklarasi itu lahir dari kegelisahan panjang tentang demokrasi yang kian sempit. Tentang hutan yang hendak ditebang. Tentang tanah adat yang nyaris lenyap dirampas dan diambil alih dalam peta investasi dan skema pendudukan negara Indonesia.
Di suatu kesempatan, seorang tetua Marind, yang rambutnya sudah memutih dan matanya tajam menatap cakrawala, berucap lirih:
“Sejak 1961 kami hanya menjadi penonton. Orang lain menentukan nasib kami. Dari Perjanjian New York, Pepera, sampai Otsus, kami tak pernah benar-benar ditanya.”
Kata-kata itu bukan sekadar nostalgia. Ini mengingatkan pada luka demokrasi yang diwariskan turun-temurun. Otonomi Khusus, yang dijanjikan sebagai jalan baru, justru menghadirkan jilid kedua pada 2021 tanpa mendengar suara rakyat. Pemaksaan!
Pemekaran provinsi, penempatan batalion militer, hingga investasi raksasa yang menyerobot tanah adat. Semua diputuskan dari jauh, dari Jakarta, Indonesia, tanpa ruang partisipasi.
Karena itu, deklarasi KOMASDELING PAPSEL menegaskan kembali bahwa “Demokrasi harus menjadi ruang bicara yang aman, nyaman, setara.” Namun di tanah Papua Selatan, ruang itu telah lama dipersempit.
PSN: Luka Menganga Baru di Tanah Marind
Bayangan PSN membentang dari pesisir hingga hutan pedalaman. Luasnya mencapai dua juta hektar, menyasar wilayah adat Marind, Yeinan, Maklew, Khimaima, hingga Yei.
Bagi masyarakat adat, angka itu bukan sekadar hektar. Itu adalah hutan tempat mereka berburu, sungai tempat mereka menangkap ikan, dan rawa tempat mereka mengambil sagu. Itu adalah kosmos kehidupan, yang menyatukan manusia dengan leluhur dan roh alam.
Para pelapor khusus PBB pada Juni 2025 sudah mengingatkan: proyek ini bisa menghancurkan identitas budaya dan spiritual orang Marind. Laporan mereka menulis:
“Dampaknya sangatlah menghancurkan, menghilangkan akses terhadap makanan tradisional, mengganggu identitas budaya, sosial, dan spiritual masyarakat.”
Di banyak kampung, orang tua bercerita bahwa binatang mulai jarang terlihat. Burung-burung yang dulu memenuhi padang luas, pepohonan dan langit semakin berkurang. Hutan yang dulu mereka sebut “ibu” perlahan digunduli.
Keresahan itu dituangkan dalam sebuah petisi online: “Alam dirusak, burung tidak bernyanyi lagi, hewan lenyap. Tolong bantu kami!”
Bagi orang luar, itu mungkin terdengar sederhana. Tapi bagi orang Marind, hilangnya burung berarti hilangnya penanda musim. Hilangnya doa yang biasa diucapkan sebelum berburu. Hilangnya cerita rakyat yang diwariskan lewat nyanyian.
Dr. Budi Hernawan, seorang aktvis HAM dan peneliti di Universitas Paramadina menegaskan lebih jauh: “Dampak paling serius adalah kekerasan terhadap kosmos orang Malind, alam ciptaan, roh leluhur, dan tempat sakral mereka.”
Artinya, PSN bukan sekadar proyek pangan dan energi. Ini adalah penggusuran terhadap jiwa, roh dan alam masyarakat adat.
KOMASDELING PAPSEL: Panggung Baru Perlawanan
Deklarasi di Merauke itu dihadiri berbagai kelompok: anak muda, perempuan, mahasiswa, hingga tetua adat. Mereka berkumpul di sebuah rumah sederhana, dindingnya dihiasi peta tanah adat.
Dari halaman dimana deklarasi itu digaungkan, suara-suara kecil bergema, membentuk satu tuntutan bersama.
Mereka menuliskan daftar panjang aspirasi: hentikan PSN di Merauke, tarik batalion militer organik maupun non-organik dari Papua Selatan, hentikan perampasan tanah adat dan pertambangan ilegal.
Mereka juga meminta diwujudkannya pendidikan gratis dan kesehatan layak untuk Orang Asli Papua, serta pembukaan akses jurnalis independen seluas-luasnya.
Di tempat deklarasi, matahari sore Merauke mulai condong. Bayangan pohon sagu jatuh ke tanah, angin membawa aroma rawa yang khas. Dari jauh, suara burung-burung terdengar, seakan ikut mendukung suara rakyat yang sedang mencari jalannya.
Tetua adat menutup pertemuan itu dengan kalimat sederhana, namun penuh makna:
“Kami orang Papua punya hubungan dengan alam. Jika kalian rusak alam, sama saja kalian bunuh kami.”
Deklarasi KOMASDELING PAPSEL adalah penanda zaman baru: zaman ketika masyarakat adat dan rakyat kecil memilih berbicara, meski ruang demokrasi dibatasi. Dari Merauke, suara itu melintasi rawa, hutan, dan pesisir, hingga bergema ke dunia internasional.
Di antara gelombang investasi, suara rakyat Papua Selatan menyeruak sebagai ombak sunyi yang tak bisa dibungkam. Yang selalu kembali meski berkali-kali dihalau. (Julian Haganah Howay)