Jayapura, Papua – Di jantung pulau New Guinea, tempat 312 suku dan 414 bahasa hidup berdampingan, sebuah narasi pahit tentang kolonialisme baru terungkap.
Albert K. Barume, Pelapor Khusus PBB untuk Hak-Hak Masyarakat Adat, baru-baru ini menyaksikan langsung bagaimana “pembangunan” di Papua justru menjadi kamuflase bagi pendudukan militer, asimilasi paksa, dan penyangkalan sistematis atas hak asasi manusia.
Bagi masyarakat adat Papua, tanah bukan sekadar properti. “Bagi kami, tanah adalah ibu, hutan adalah nafas, dan sungai adalah darah kehidupan. Tanpa tanah, tidak ada kehidupan sebagai orang Papua,” demikian bunyi pernyataan yang disampaikan Dewan Adat Papua (DAP) kepada Barume pada 4 Juli 2025.
Ini adalah sebuah pengingat akan ikatan spiritual yang tak terpisahkan antara manusia dan alam, sebuah filosofi yang mendasari perjuangan mereka. Pernyataan Barume sendiri yang menegaskan bahwa akar persoalan masyarakat adat di seluruh dunia adalah kolonialisme, menemukan resonansi kuat di Papua.
Namun, di sini, kolonialisme bukanlah relik masa lalu. Ia hadir dalam wujud militerisasi yang masif, kebijakan transmigrasi yang mengubah demografi, dan perampasan tanah atas nama investasi dan infrastruktur.
Pembangunan yang Mengancam Kehidupan
Sejak tahun 2000, Papua telah kehilangan 641.000 hektare hutan primer, sebuah angka yang menyoroti skala deforestasi masif. Pemerintah Indonesia telah memberikan 1,88 juta hektare untuk konsesi perkebunan dan 650.000 hektare untuk hutan tanaman industri.
Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digaungkan sebagai motor ekonomi, mencakup food estate seluas 2 juta hektare di Merauke, yang berpotensi menggusur ribuan masyarakat adat.
Pembangunan tujuh bandara baru dan 19 jalan strategis, yang meski diklaim untuk konektivitas, juga membuka akses lebih luas bagi eksploitasi sumber daya. Pengembangan kawasan industri di Teluk Bintuni dan Tambrauw.
Perluasan tambang Grasberg, yang setiap hari membuang 220.000 ton limbah ke lingkungan, menciptakan dampak ekologis yang mengerikan. Data-data ini bukan sekadar statistik; ini adalah potret dari kehancuran yang tak terlihat oleh banyak mata.
Hanya dalam setahun terakhir, 3.635 hektare hutan dibabat di Boven Digoel, Sorong Selatan, dan Fakfak. Semua ini mengancam 2,9 juta orang asli Papua dan menghancurkan lebih dari 80% keanekaragaman hayati hutan hujan terbesar di Asia Pasifik, sebuah paru-paru dunia yang tak ternilai harganya.
Ini adalah tragedi ekosida yang sedang berlangsung di hadapan mata dunia.
Perlawanan di Tengah Penyangkalan Hak
Perlawanan masyarakat adat Papua, baik melalui cara damai maupun bersenjata di beberapa wilayah, bukanlah pilihan, melainkan bentuk pertahanan diri. “Negara Indonesia menggunakan kekerasan bersenjata sebagai alat untuk mengatur ulang wilayah dan menggusur kami dari tanah leluhur,” demikian pernyataan DAP.
Hingga Maret 2025, sebanyak 86.886 warga Papua telah mengungsi akibat operasi militer, dan sejak 2018, jumlah total pengungsi melebihi 166.000 jiwa. Angka-angka ini adalah cerminan dari konflik yang tak hanya merenggut nyawa, tetapi juga mencabut akar kehidupan masyarakat.
Pemekaran provinsi, yang seringkali diklaim sebagai upaya percepatan pembangunan, justru dilihat sebagai strategi pendudukan yang sistematis oleh masyarakat adat. Hal ini karena pemekaran mempercepat pemberian izin konsesi dan memecah kekuatan adat, melemahkan ikatan komunal yang menjadi fondasi perlawanan.
Selama puluhan tahun, upaya hukum dan advokasi damai masyarakat adat tidak menghasilkan perlindungan yang nyata. Komnas HAM telah mencatat 22 kasus pelanggaran HAM berat tanpa penyelesaian, dan Komnas Perempuan mengungkap pola kekerasan seksual sistematis di wilayah konflik.
Rekomendasi dari UNPFII tahun 2014, yang menyerukan pengakuan hak tanah, penghentian kriminalisasi, kebebasan berkumpul, dan akses bagi pemantau independen, semuanya diabaikan. Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB (OHCHR) telah mengirim 14 permintaan resmi untuk mengunjungi Papua sejak 2019, namun semuanya ditolak.
Harapan pada PBB dan Komunitas Internasional
Kunjungan Barume, seorang pria yang berasal dari Republik Demokratik Kongo yang juga memahami ikatan spiritual antara masyarakat adat dan hutan mereka, membawa harapan baru. Rakyat Kongo dan Papua laksana pohon tua di hutan.
“Jika anda hanya mencatat ranting yang patah tanpa menghentikan kapak yang menebang, maka anda bukan pelindung kehidupan. Anda hanya saksi kehancuran,” demikian pesan kuat dari DAP kepada Barume.
Pernyataan ini adalah seruan bagi PBB untuk tidak hanya menjadi pencatat, tetapi juga agen perubahan yang sesungguhnya. Masyarakat adat Papua mendesak Barume untuk mengajukan permintaan resmi kunjungan ke Papua melalui Prosedur Khusus Dewan HAM PBB.
Menyusun dan menerbitkan laporan tematik berdasarkan temuan dan tanggapan pemerintah Indonesia. Mengeluarkan pernyataan publik yang menyatakan keprihatinan mendalam atas pola pelanggaran hak masyarakat adat di Papua.
Merekomendasikan pembentukan mekanisme investigasi independen internasional jika akses resmi terus ditolak. Mendesak Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi khusus tentang Papua dan menyerukan seluruh badan PBB untuk menghentikan kerja sama yang melanggar hak masyarakat adat Papua.
Kunjungan Barume hanya dua hari, namun gema dari suara-suara yang ia dengar diharapkan akan bergema di koridor-koridor PBB, membawa Papua ke dalam sorotan dunia yang lebih intens. (Julian Haganah Howay)
