Jakarta, Indonesia – Surat perintah Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto tertanggal 5 Mei 2025 telah menimbulkan gejolak serius dalam diskursus demokrasi Indonesia. Telegram rahasia militer itu memerintahkan pengerahan personel TNI ke seluruh Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di Indonesia, dengan dalih “dukungan pengamanan” terhadap institusi penegak hukum.
Langkah ini sontak memicu kecaman luas dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, yang menilai kebijakan tersebut sebagai bentuk penyimpangan hukum dan indikasi kembalinya dwifungsi TNI, sebuah warisan gelap Orde Baru yang seharusnya sudah dikubur dua dekade lalu.
“Surat perintah ini bukan hanya bentuk pelanggaran hukum, tetapi juga ancaman nyata terhadap prinsip supremasi sipil dan independensi penegakan hukum di Indonesia,” ujar Ardi Manto, Direktur Imparsial melalui pers rilis koalisi yang ditujukan ke media.
Koalisi yang terdiri dari lebih dari 20 lembaga, termasuk KontraS, Amnesty International Indonesia, YLBHI, ELSAM, dan LBH Jakarta, menyebut langkah ini sebagai bentuk intervensi militer dalam ruang sipil yang secara jelas dilarang dalam konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 7 Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI secara eksplisit mengatur bahwa tugas militer dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) hanya dapat dilakukan dalam kondisi dan mekanisme yang sangat ketat, termasuk melalui keputusan politik negara. Bahkan dalam konteks tersebut, TNI hanya dapat menjalankan tugas perbantuan setelah mendapat persetujuan Presiden dan DPR, serta harus diatur dengan peraturan pelaksana.
Namun, hingga hari ini, belum ada regulasi teknis atau peraturan pemerintah yang menjabarkan secara spesifik bentuk kerja sama antara TNI dan institusi sipil seperti Kejaksaan.
“Pengerahan TNI tanpa dasar hukum yang jelas tidak hanya melanggar UU TNI, tetapi juga membuka celah penggunaan kekuatan militer untuk kepentingan politik dan kekuasaan,” tegas Julius Ibrani, Ketua PBHI.
Koalisi menilai bahwa nota kesepahaman (MoU) antara TNI dan Kejaksaan yang selama ini dijadikan dalih tidak memiliki kekuatan hukum yang memadai untuk dijadikan dasar pengerahan pasukan. Lebih dari itu, tindakan ini dinilai berpotensi melanggar prinsip nonintervensi militer dalam urusan sipil sebagaimana telah ditegaskan dalam reformasi TNI pasca-1998.
Mengapa Militer Dikerahkan?
Panglima TNI dalam telegramnya menyebut alasan “dukungan pengamanan” sebagai dasar pengerahan ke kejaksaan. Namun, hingga kini tidak ditemukan satu pun kondisi genting atau ancaman keamanan yang dapat membenarkan pengerahan kekuatan militer untuk menjaga kantor-kantor kejaksaan.
Dalam banyak kasus, pengamanan institusi seperti kejaksaan biasanya dilakukan oleh satuan keamanan internal atau kepolisian. “Kejaksaan adalah institusi penegak hukum sipil, bukan target operasi militer. Tidak ada eskalasi ancaman yang membenarkan pengerahan tentara,” ujar Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia.
Langkah ini dinilai sangat tidak proporsional dan menimbulkan kekhawatiran bahwa kehadiran militer justru akan menciptakan ketakutan dan tekanan terhadap jaksa dalam menjalankan fungsi penegakan hukum secara independen.
Reformasi 1998 mengakhiri era dwifungsi ABRI, doktrin yang selama Orde Baru menempatkan militer dalam dua peran: sebagai alat pertahanan negara dan alat sosial-politik. Namun, selama beberapa tahun terakhir, tanda-tanda kebangkitan peran ganda militer kembali tampak.
Dari keterlibatan TNI dalam program ketahanan pangan, pengamanan pandemi, proyek infrastruktur, hingga keterlibatan dalam birokrasi sipil, kini langkah masuk ke lembaga penegak hukum menjadi babak baru yang lebih mengkhawatirkan.
Revisi UU TNI yang disahkan awal 2025 menjadi titik balik. Salah satu pasal dalam revisi itu menyisipkan Kejaksaan Agung sebagai salah satu institusi yang dapat dibantu TNI dalam kerangka OMSP.
Namun, menurut risalah resmi pembahasan di DPR, bantuan itu dibatasi hanya untuk keperluan Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil). Telegram Panglima TNI justru mengabaikan pembatasan tersebut dan berlaku luas untuk seluruh kejaksaan.
“Ini pelanggaran atas kesepakatan politik di DPR. Kalau dibiarkan, kita benar-benar sedang menyaksikan militer kembali masuk ke semua lini pemerintahan sipil,” ujar Al Araf dari Centra Initiative.
Dampak Bagi Demokrasi dan Penegakan Hukum
Masuknya militer ke dalam institusi penegakan hukum membuka risiko sangat besar: kerusakan sistem “checks and balances”, tekanan psikologis terhadap aparat penegak hukum, dan normalisasi praktik militerisasi birokrasi sipil.
Di banyak negara, militerisasi penegakan hukum menjadi ciri utama rezim otoriter yang menggunakan kekuatan senjata untuk mengendalikan ruang hukum dan peradilan. “Ini lebih dari sekadar kebijakan salah urus. Ini ancaman sistemik terhadap demokrasi dan keadilan,” kata M. Isnur dari YLBHI.
Dalam sistem demokrasi konstitusional, supremasi sipil adalah pilar utama. Presiden Prabowo Subianto sebagai Panglima Tertinggi TNI dan DPR RI sebagai lembaga legislatif memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa militer tetap berada dalam koridor tugas pertahanan.
Koalisi mendesak agar DPR, khususnya Komisi I, III, dan XIII, segera memanggil Panglima TNI dan membatalkan surat perintah tersebut. “Jika DPR dan Presiden tidak bertindak, mereka sedang mengabaikan warisan reformasi yang berdarah-darah diperjuangkan,” tutup Daniel Awigra dari HRWG.
Pengerahan TNI ke lembaga kejaksaan adalah gejala dari penyakit demokrasi yang kian mengakar: supremasi sipil yang semakin tergerus oleh kekuatan bersenjata. Dalam situasi ini, penting bagi masyarakat sipil, akademisi, media, dan seluruh elemen bangsa untuk bersuara dan menolak normalisasi militerisasi ruang sipil.
Demokrasi tidak akan bertahan lama jika penegakan hukum pun tunduk pada komando militer. Reformasi belum selesai. Bahkan, kini ia sedang mundur. (Julian Haganah Howay)
