Suasana persidangan di Pengadilan Negeri Kelas II B Wamena dalam kasus kematian Thobias Silak (doc : ist)
Yahukimo, Papua Pegunungan – Suasana di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Kelas II B Wamena pada Selasa, 28 Oktober 2025, terasa tegang dan sarat emosi.
Ratusan pasang mata tertuju pada majelis hakim yang tengah membacakan putusan terhadap empat anggota polisi pelaku penembakan Thobias Silak, warga sipil dan anggota Bawaslu Yahukimo, yang tewas pada 20 Agustus 2024.
Suara ketukan palu hakim menjadi penanda akhir dari proses panjang yang telah berjalan lebih dari satu tahun tiga bulan.
“Menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa Muh. Kuriniawan Kudu selama 14 tahun penjara, dan kepada Ferdando Aufa, Jatmiko, serta Ferdi Ferdinan Koromat masing-masing 5 tahun penjara,” ujar hakim ketua di hadapan ruang sidang yang hening.
Namun ketenangan itu tak bertahan lama. Di antara isak tangis keluarga, terdengar seruan kecewa dari pengunjung sidang. Bagi keluarga korban, vonis itu bukanlah kemenangan, melainkan pengingat bahwa keadilan di Tanah Papua masih belum tuntas.
Kekecewaan keluarga sebenarnya sudah tampak sejak persidangan sebelumnya, Kamis 2 Oktober 2025, ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU) hanya menuntut hukuman 12 tahun penjara bagi keempat terdakwa.
Jaksa menggunakan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan biasa, bukan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana yang dapat menjerat pelaku dengan hukuman seumur hidup bahkan hukuman mati.
“Penembakan itu dilakukan delapan kali, diarahkan ke kepala korban. Itu bukan peringatan, tapi serangan mematikan. Seharusnya ini masuk kategori pembunuhan berencana,” tegas Mersi Fera Waromi, S.H, kuasa hukum keluarga korban.
Dalam pembacaan tuntutannya, jaksa mengakui bahwa tindakan para terdakwa menyebabkan kematian Thobias Silak dan melukai berat anak bernama Naro Dapla. Namun menilai perbuatan itu tidak memenuhi unsur rencana lebih dahulu sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP.
Dengan dasar itu, JPU hanya menjerat pelaku dengan pasal pembunuhan biasa yang memiliki ancaman maksimal 15 tahun penjara dan menuntut di bawahnya, 12 tahun.
Kuasa hukum keluarga menyebut pilihan pasal itu sebagai bentuk pengingkaran terhadap rasa keadilan. “Ini bentuk impunitas terselubung,” kata Henius Asso, anggota tim kuasa hukum.
“Korban adalah warga sipil tak bersenjata, tapi negara Indonesia seolah menutup mata. Ini jelas extra-judicial killing oleh aparat negara.”
Ketika vonis dibacakan, Mersi Waromi berdiri dan menyatakan apresiasinya kepada majelis hakim yang telah menyatakan dakwaan primair Pasal 338 KUHP terbukti sah dan meyakinkan terhadap terdakwa utama.
Namun, apresiasi itu tak menutupi rasa kecewa yang mendalam. “Kami menghargai keputusan majelis hakim, tapi vonis ini belum mencerminkan rasa keadilan yang maksimal bagi keluarga korban,” ujarnya.
Menurutnya, dalam fakta persidangan terungkap bahwa laporan awal dari para terdakwa telah direkayasa. Mereka mengaku terjadi kontak tembak di lokasi kejadian. Namun bukti-bukti menunjukkan Thobias hanyalah warga sipil biasa yang sedang menjalankan tugas pengawasan pemilu tanpa senjata.
Bagi keluarga, pengakuan itu memperkuat keyakinan bahwa penembakan terhadap Tobias bukanlah insiden spontan, melainkan bagian dari pola kekerasan yang sistematis terhadap warga sipil di Papua.
Di luar ruang sidang, halaman PN Wamena dipenuhi massa aksi yang datang dari tiga titik: Kampus UNAIM, Pasar Potikele, dan Pasar Misi, lalu berkumpul di Menera Salib sebelum bergerak ke pengadilan.
Mereka membawa spanduk bertuliskan: “Lawan Impunitas! Tarik Militer dari Seluruh Tanah Papua! Adili 4 Terdakwa dengan Hukuman Seumur Hidup!”
Ratusan mahasiswa, aktivis, dan masyarakat adat berdiri dalam barisan solidaritas. Koordinator aksi, Minuj Ibage, yang juga keluarga korban dan perwakilan Forum Justice For Tobias Silak (FJF-TS), menegaskan bahwa mereka mengikuti proses hukum dengan damai sejak awal.
Namun, rasa kecewa tak bisa mereka sembunyikan. “Kami menghargai hukum, tapi negara tidak memenuhi tuntutan kami,” ujarnya lantang. “Kalau ada banding, kami akan duduki kantor kejaksaan dan PN Wamena. Karena putusan ini tidak sesuai tuntutan kami: hukuman seumur hidup bagi pelaku.”
Kuasa hukum keluarga korban dalam orasinya di hadapan massa menegaskan bahwa keempat terdakwa harus dikenai sanksi etik dan dipecat dari kepolisian.
Mereka juga meminta agar Komnas HAM memeriksa mantan Kapolres Yahukimo, yang diduga mengetahui bahkan mungkin memerintahkan operasi di Pos Brimob Satgas Damai Carstenz Sekla, tempat penembakan terjadi.
“Tanggung jawab hukum tidak berhenti di empat pelaku lapangan,” kata Waromi. “Harus ada proses hukum terhadap rantai komando, karena tanpa perintah atau pembiaran dari atasan, pelanggaran ini tidak akan terjadi.”
Desakan itu sejalan dengan rekomendasi Komnas HAM dalam berbagai laporan sebelumnya, yang menegaskan pentingnya menelusuri tanggung jawab komando dalam kasus kekerasan aparat di Papua, bukan hanya menghukum pelaku lapangan.
Kronologi Penembakan Thobias Silak
Malam yang tenang di kawasan Jalan Sekla, Distrik Dekai, Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan, pada 20 Agustus 2024 ternyata menjadi awal dari luka mendalam bagi keluarga, masyarakat Yahukimo, dan proses peradilan di Tanah Papua.
Bermula pada malam itu, sekitar pukul 21:20 waktu Papua, di depan Pos Brimob Sekla, Jalan Jenderal Sudirman Km 1, Dekai. Pos yang biasa dijaga personil Brimob Satgas Damai Carstenz itu berjarak kurang lebih 1 kilometer dari Polres Yahukimo.
Saat itu seorang pemuda bernama Thobias Silak, staf Bawaslu Yahukimo, menurut keterangan keluarganya, tengah dalam pernjalanan dari rumahnya untuk membeli paket data internet di kios terdekat.
Sumber lain menjelaskan, ia sedang dalam perjalanan pulang dari kantor Bawaslu setelah melaksanakan tugas pemantuan lapangan. Namun di tengah perjalanan dekat pos Brimob yang tak jauh dari rumahnya, terdengar delapan kali letupan senjata yang tak begitu jelas dari mana asalnya.
Thobias roboh di tepi jalan dengan tubuh bersimbah darah segar. Saksi korban, Atita Sub, dalam persidangan di Pengadilan Negeri kelas II B Wamena pada 17 Juli 2025 mengatakan, Thobias tewas lantaran kepala bagian belakangnya tertembus peluru.
Atita selaku saksi korban sempat trauma sehingga harus didampingi lima personil Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) untuk bersaksi di persidangan.
Bersama Thobias saat itu, seorang remaja berusia 17 tahun, Naro Dapla, juga terluka berat karena 8 tembakan yang terdengar menyasar mereka.
Para saksi lain yang juga sempat berada di tempat kejadian menjelaskan, sesaat setelah peristiwa penembakan malam itu, personil Brimob yang berjaga di Pos Sekla sempat keluar lalu berusaha mengisolasi tempat kejadian perkara (TKP) dari perhatian warga.
Dalam kasus ini, penyebab penembakan Thobias Silak telah didramatisir melalui sebuah laporan dari pihak kepolisian. Seolah Thobias tewas setelah terjadi kontak tembak antara aparat Brimob Satgas Damai Carstenz di pos Sekla, dengan kelompok TPNPB OPM Kodap XVI Yahukimo.
Namun belakangan, kasus ini terkuak. Para pelaku penembakan diketahui berstatus anggota Brimob Polri yang tergabung dalam personil Satgas Damai Carzstenz. Saat kejadian mereka sedang berjaga di Pos Brimob Sekla.
Hasil investigasi Komnas HAM RI yang berlangsung pada 24-26 September 2024 menyebut empat inisial pelaku terlibat. Lembaga ini juga menyebut kematian Thobias sebagai pelanggaran hak hidup dan hak atas keadilan.
Saat awal proses penyidikan, penyidik hanya menetapkan dua pelaku. Kasus ini kemudian mendapat perhatian publik setelah adanya desakan keluarga korban, masyarakat Yahukimo, pihak gereja, pegiat HAM dan mahasiswa.
Selanjutnya empat anggota Brimob dinyatakan sebagai terdakwa dalam kasus ini: Muhamad Kurniawan Kudu sebagai terduga pelaku utama, Fernando Alekxander Aufa, Jatmiko, dan Ferdi Moses.
Kasus pembunuhan Tobias Silak yang merupakan warga sipil kemudian menjadi simbol perjuangan bagi para aktivis HAM dan mahasiswa untuk menuntut keadilan.
Sebab di Tanah Papua, seolah peluru aparat keamanan Indonesia bisa dengan bebas menembus tubuh seseorang, terlebih karena alasan separatis.
Keluarga korban menyebut Tobias adalah warga sipil biasa. Ia bukan simpatisan atau bagian dari anggota jaringan kelompok pejuang bersenjata TPNPB-OPM Kodap XVI Yahukimo.
Bagi Pemerintah Indonesia dan institusi keamanan (TNI/Polri), kelompok ini dianggap sering menyerang aparat keamanan, penambang illegal maupun warga sipil yang dicurigai berafiliasi dengan aparat keamanan di wilayah Yahukimo.
Nyawa Orang Papua Tak Bernilai di Pengadilan
Proses persidangan awal kasus ini berlangsung di Pengadilan Negeri Kelas II B Wamena. Selanjutnya, proses persidangan berlanjut hingga Oktober 2025 dan sudah digelar sebanyak 20 kali, menghadirkan 18 saksi korban/pelaku, 5 saksi ahli, dan 21 barang bukti.
Pada 25 September 2025, tim pemantau dari Komisi Yudisial Papua hadir di Wamena untuk memantau jalannya sidang. Mereka menekankan pentingnya keterbukaan proses agar keadilan tidak sekadar jadi jargon.
Hingga September 2025, Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah menuntut keempat terdakwa pembunuh Thobias Silak dengan pidana 12 tahun penjara secara umum.
Namun, keluarga korban, masyarakat adat 12 suku di Yahukimo, dan berbagai aliansi organisasi HAM menilai tuntutan tersebut belum menuntut secara maksimal. Terlebih lagi, tidak menjerat unsur komando yang diduga memerintahkan operasi tersebut.
Kasus Thobias Silak telah menambah daftar panjang kekerasan bersenjata yang menewaskan warga sipil Papua.
Menurut catatan Amnesty International Indonesia, sepanjang 2018-2025 terdapat lebih dari 70 kasus penembakan warga sipil oleh aparat, namun hanya segelintir yang dibawa ke pengadilan.
Dari jumlah itu, sebagian besar berakhir dengan hukuman ringan di bawah 10 tahun penjara. “Ini mencerminkan bagaimana hukum masih timpang,” tulis Amnesty dalam laporan tahunan 2025. “Ketika korban adalah orang Papua dan pelaku adalah aparat negara, keadilan berjalan setengah hati.”
Lambannya penegakan dan keadilan hukum bagi warga Papua, terutama terhadap kasus pembunuhan Thobias Silak telah menyita perhatian dari berbagai kalangan: gereja, pegiat HAM, aktivis poltik, mahasiswa dan warga Yahukimo.
Papua seolah telah menjadi daerah operasi militer dan pelanggaran HAM seperti kasus pembunuhan Thobias yang melibatkan personil Brimob, proses penegakan hukumnya sengaja dibiarkan berbelit.
Komnas HAM RI mencatat, kasus ini bukan anomali, melainkan bagian dari pola terstruktur: dimana penghilangan paksa, pembunuhan di luar hukum dan terjadi peningkatan deretan kasus penembakan sepanjang 2018-2025.
Konteks militer-non militer dalam konflik yang intens di Yahukimo dan sekitarnya turut menciptakan atmosfer di mana warga sipil rawan menjadi korban. Dalam situasi semacam ini, operasi militer atau pengamanan yang seharusnya menjaga warga sipil, malah memunculkan korban sipil baru.
Di satu sisi, negara Indonesia melalui Presiden Prabowo Subianto, telah berkomitmen pada upaya perlindungan HAM, pengurangan kerusakan hutan, pemberdayaan masyarakat adat dan emisi nol-bersih.
Namun dalam praktiknya di lapangan, masyarakat adat mengeluhkan bahwa izin korporasi, operasi militer dan pelanggaran HAM terus berjalan tanpa perlindungan hak-hak sipil.
Dalam kasus Thobias Silak, keluarganya bersama 12 suku asli di Yahukimo telah menolak tradisi bayar kepala atau penyelesaian adat. Sebab tradisi ini dapat dimanfaatkan institusi kepolisian tempat para pelaku bernaung dan pemerintah sebagai alternatif penegakan hukum pidana.
Sebaliknya, mereka menuntut para pelaku utama, Bripka Muh. Kurniawan Kudu (terbukti menembakkan 8 peluru dengan senjata AK-102) dan tiga terdakwa lainnya agar diproses hukum dengan adil.
Pihak atasan seperti Kapolres Yahukimo dan Komandan Pos Brimob Sekla, yang memungkinkan atau memerintahkan penembakan tersebut perlu ikut diadili.
Ini dimaksudkan agar tidak terjadi impunitas bagi aparat keamanan Indonesia (TNI/Polri) ketika terbukti membunuh warga sipil Papua. Pihak keluarga juga meminta perlunya penggantian (restitusi), rehabilitasi dan kompensasi yang adil bagi korban beserta keluarga.
Tidak hanya itu, mereka sejak awal mendesak agar proses penyidikan hingga peradilan terhadap kasus kematian Thobias Silak perlu dilakukan secara transparan.
Pada 29 September 2025, ribuan massa di Dekai, Yahukimo, telah melakukan aksi menduduki jalan utama menuntut keadilan bagi Thobias dan semua korban pelanggaran HAM di Tanah Papua.
Sementara Forum Solidaritas Pelajar dan Mahasiswa Peduli Rakyat Papua (FSPM-PRP) Kota Studi Makassar mengaitkan kasus Thobias dengan struktur besar pelanggaran HAM di Tanah Papua: penembakan, penghilangan paksa, pembatasan berekspresi, dominasi korporasi dan militer di wilayah adat.
Dalam pernyataan sikap berjudul “Tanah Adat adalah Hidup Kami” mereka menekankan bahwa pelanggaran terhadap masyarakat adat merupakan kerugian bagi seluruh masa depan manusia dan bumi.
Keterkaitan antara perjuangan masyarakat adat atas tanah mereka dan perjuangan untuk keadilan bagi korban seperti Thobias, menjadi dua sisi mata uang yang sama: hak untuk hidup, hak untuk tanah, hak untuk keadilan.
Dalam kasus Thobias Silak, FSPM-PRP menilai kasus ini penting karena aparat keamanan Indonesia (Brimob) dalam operasi keamanan bisa menjadi pelaku pembunuhan warga sipil Papua (selain anggota TNI) di masa depan, tanpa proses hukum yang adil.
Dengan begitu, proses persidangan yang terkait dengan pelanggaran HAM di Tanah Papua sebagai daerah konflik, sering kali mengabaikan rasa keadilan bagi warga Papua. (Julian Haganah Howay)
