Potret Xanana Gusmao dengan balutan seragam militer gerilyanya (doc: webcelso.wordpress.com)
DI USIA 79 tahun, Xanana Gusmão duduk santai mengenang masa kecilnya di Manatuto. Saya berkesempatan mewawancarainya di istana kenegaraan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL), di Dili, pada Juni 2025 lalu.
Matanya menyipit, seakan menembus waktu, kembali ke lorong-lorong sempit kampung dan aroma tanah basah yang dulu menjadi saksi perjalanan hidupnya.
“Orang tua saya selalu bilang, kamu harus sekolah, meski susah sekalipun. Itu yang terus menguatkan saya,” ujar Xanana dengan menggunakan bahasa Indonesia yang terbata, sambil tersenyum.
Lahir di Manatuto, ia tumbuh melewati tiga masa besar: era Portugis, era Indonesia, dan Timor Leste setelah merdeka. Masa kecilnya jauh dari kata mudah.
Pendidikan kala itu bukanlah sesuatu yang gampang diakses. Sekolah formal masih menjadi barang langka, berbeda dengan sekarang di mana lembaga pendidikan menjamur hingga ke pelosok desa.
“Kalau bukan karena pikiran maju orang tua saya, mungkin saya hanya disuruh jaga kebun,” kenang Xanana.
Sebagai anak lelaki tertua dari enam bersaudara, ia semestinya dipersiapkan membantu keluarga. Namun, ayah dan ibunya percaya pendidikan adalah jalan terang bagi masa depan anak-anaknya.
Karena sekolah negeri nyaris tak ada, Xanana kecil akhirnya menimba ilmu di sekolah yang dikelola pastor Katolik. Ayahnya, seorang guru, kerap berpindah-pindah mengajar. Dari Manatuto ke Lacluta hingga Osu, keluarga itu berpindah tempat dengan menunggang kuda, membawa serta Xanana kecil dan saudara-saudaranya.
Meski hidup nomaden, sekolah tak pernah ditinggalkan. Ia belajar di bawah didikan pastor yang keras, di mana bahasa Portugis diwajibkan. “Di rumah saya pakai bahasa Galela, di luar Makasae atau Tetun. Tapi di sekolah? Hanya boleh Portugis,” ujarnya.
Jika ada murid kedapatan berbahasa daerah, hukuman menanti. Rotan kecil akan mendarat di tangan, kaki, atau punggung. “Saya juga pernah dipukul sampai teriak-teriak. Sakit sekali. Tapi itulah cara mereka mendidik waktu itu,” katanya, kali ini sambil tertawa.
Alih-alih dendam, Xanana justru merasa berhutang budi. “Pukulan rotan itu jadi vitamin penyemangat. Karena itu, saya belajar lebih giat. Berkat mereka, saya bisa cepat menguasai Portugis.”
Saat sang guru dipindahkan, Xanana dan kawan-kawannya menangis kehilangan. “Guru itu keras, tapi justru yang paling saya kenang,” katanya penuh hormat.
Menumpang Truk Demi Ilmu, Hidup di Pastoran, Belajar Filsafat dan Bahasa
Setelah menamatkan sekolah ala pastor di kampung, ayahnya memutuskan mengirim Xanana ke Dili. Di kota itu berdiri satu-satunya sekolah menengah atas, Lúcio. “Ayah saya bilang, kamu harus ke Dili. Supaya masa depanmu lebih baik, dan kamu bisa bantu adik-adikmu,” cerita Xanana.
Perjalanan ke Dili bukan perkara gampang. Mereka menumpang truk pengangkut kelapa, satu-satunya transportasi yang ada saat itu. “Saya dan ayah tidur berdesakan di atas truk, lalu setibanya di kota, kami bahkan sempat tidur di emperan toko orang Tionghoa,” kenanganya.
Tapi perjuangan itu tak sia-sia. Di Dili, ia menemukan dunia baru. Di dekat tempat tinggalnya berdiri sebuah pabrik susu dan keju. Xanana kecil sering membantu membersihkan kandang atau bekerja serabutan di sana.
Imbalannya bukan uang, melainkan susu dan keju. “Saya sejak kecil sudah terbiasa kerja dulu baru dapat imbalan. Bukan berharap beres seperti anak-anak zaman sekarang,” katanya, tersenyum lebar.
Namun, keinginan bersekolah di SMA formal di Dili tak sepenuhnya tercapai. Sang ayah akhirnya menitipkan Xanana di pastoran Katolik. Lima tahun lamanya ia tinggal dan belajar di sana, tanpa ijazah resmi, tetapi dengan bekal pengetahuan yang jauh lebih luas.
“Waktu itu saya sempat protes. Saya kira mau dijadikan pastor,” ujarnya sambil tertawa keras. Namun justru di pastoran itu ia belajar filsafat, matematika, dan memperdalam bahasa Portugis dengan guru-guru dari berbagai negara: Portugis, Italia, hingga Perancis.
Ketika masa belajarnya usai, sang pastor berkata: “Kamu anak yang baik, rajin, dan cerdas, maka kamu boleh pulang.” Kata-kata itu masih diingat Xanana hingga kini.
Selepas dari pastoran, Xanana mulai mencari nafkah. Ia bekerja sebagai staf administrasi di sebuah klinik, mengajar bahasa Portugis secara privat kepada anak-anak Tionghoa, hingga menjadi tenaga survei lapangan untuk lahan pertanian.
“Kalau ditanya, apakah saya konsultan? Tidak. Saya hanya mencatat dan melaporkan hasil survei ke perusahaan,” jelasnya. Dari hasil kerja itu, sedikit demi sedikit ia menabung. Tabungan itu bukan untuk dirinya, melainkan untuk sang ibu.
“Saya berikan semua ke ibu. Tanpa doa ibu, saya bukan siapa-siapa,” ucap Xanana dengan nada lirih. Baginya, ibunya adalah sumber kekuatan. “Surga ada di telapak kaki ibu. Saya diberi umur panjang dan kekuatan sampai sekarang juga karena doa ibu.”
Sebagai anak laki-laki tertua dengan lima adik perempuan, sejak kecil Xanana dilatih memikul tanggung jawab. Ayahnya selalu mengingatkan bahwa ia harus menjadi tulang punggung. Itulah sebabnya ia berjuang keras sekolah ke Dili, demi masa depan adik-adiknya juga.
Masa kecil Xanana Gusmão adalah kisah tentang keteguhan hati, tentang arti pukulan rotan yang berubah menjadi motivasi, tentang tidur di emperan toko demi sekolah, tentang bekerja demi sesuap keju, dan tentang cinta seorang anak kepada ibunya.
Kini, di usianya yang hampir delapan dekade, Xanana masih mengingat masa-masa itu dengan tawa, rasa syukur, dan sedikit air mata.
“Kalau saya bisa sampai sejauh ini, semua karena orang tua saya yang selalu mendorong saya untuk sekolah,” ujarnya pelan, penuh haru.
Dari Nelayan Hingga Jadi Wartawan Kritis
Di suatu malam yang lengang di Dili, seorang remaja bernama lengkap José Alexandre Gusmão menumpang tidur di emperan toko milik seorang warga Tionghoa.
Ia baru tiba dari Manatuto dengan truk bermuatan kelapa, tanpa keluarga dekat di kota, tanpa tempat bernaung. “Waktu itu saya hanya bisa tidur beralaskan kardus. Kalau ingat lagi, rasanya seperti mimpi buruk, tapi di situlah saya belajar arti bertahan hidup,” kenang Xanana sambil tersenyum getir.
Hijrah ke ibu kota bukanlah pilihan mudah. Niatnya sederhana: melanjutkan sekolah setara SMA. Namun, cita-cita itu tak langsung terwujud. Ayahnya, seorang guru desa yang hidup sederhana, akhirnya mendaftarkan Xanana ke sekolah informal di pastoran Katolik.
“Awalnya saya takut. Saya pikir kalau sekolah di sana pasti jadi pastor. Tapi ayah bilang, lebih baik sekolah di mana saja daripada tidak sekolah sama sekali,” katanya.
Untuk bertahan hidup, Xanana menempati sebuah rumah kosong yang ditinggal pemiliknya. Atapnya bocor, dindingnya retak, dan gelap nyaris tanpa cahaya.
Ia membersihkannya sedikit demi sedikit, menjadikannya sekadar layak dihuni. Dari rumah itulah, ia mencoba peruntungan baru: menjadi nelayan.
Dengan perahu kecil dan kail sederhana, Xanana melaut ke birunya Laut Timor. Kadang pulang dengan ikan penuh keranjang, kadang tak membawa apa pun. “Kalau tidak ada ikan, ya tidak makan. Pernah sehari penuh menahan lapar. Saya hanya bisa bilang pada diri sendiri: sabar, besok coba lagi,” ujarnya.
Laut baginya seperti guru. Kadang bersahabat, kadang kejam. Namun dari sana ia belajar bahwa hidup memang penuh pasang surut dan hanya mereka yang tabah yang bisa bertahan.
Selain melaut, Xanana juga pernah bekerja sebagai tukang ketik dan kuli tinta atau menjadi wartawan. Ia menulis artikel berita, menempelkan foto, lalu mengirimkannya ke media berbahasa Portugis.
Kadang artikelnya dimuat dengan nama asli, José Alexandre Gusmão. Tetapi ketika isi tulisannya pedas, penuh kritik terhadap kolonial Portugis yang sarat korupsi dan diskriminasi, ia memilih nama samaran: Xanana.
“Kalau pakai nama asli, bisa bahaya. Jadi saya cari nama samaran. Nama ‘Xanana’ awalnya hanya gurauan. Saya sering naik sepeda sambil bernyanyi, ‘la la la…’ teman-teman mengejek, menggantinya jadi ‘na na na…’ Lalu tiba-tiba saja, jadilah nama Xanana,” ujarnya sambil tertawa.
Namun dari gurauan itu, lahirlah nama yang kelak melekat selamanya. Nama yang membuat pemerintah kolonial gusar. Artikel-artikel kritisnya kerap dipotong sensor, bahkan koran ditarik dari peredaran karena dianggap memprovokasi.
“Pernah suatu sore, saya naik sepeda, lalu ada sekelompok orang berteriak, ‘Xanana! Xanana!’ Saat itu saya sadar, samaran saya sudah menjadi identitas baru,” ujarnya.
Jadi Tukang Bangunan di Australia dan Mimpi Sederhana
Kerja keras membawa Xanana hingga ke Darwin, Australia. Qwalnya ia mengenal negeri Kanguru ini lewat klub sepak bola, lalu kembali ke sana bukan sebagai pemain bola, melainkan sebagai buruh bangunan.
“Saya kerja apa saja. Jadi tukang bangunan, bantu di restoran. Pokoknya waktu itu prinsip saya, kerja adalah hidup,” katanya.
Bosnya di Darwin sangat menyukai etos kerja Xanana. Bahkan ketika Xanana meminta izin menjemput anak dan istrinya agar bisa ikut tinggal di Australia, sang bos siap membantu semua dokumen.
Namun nasib berkata lain. Saat itu Darwin dilanda bencana besar, semacam tsunami yang memporak-porandakan kota sehingga pemerintah menolak visa Xanana dan keluarganya.
“Sedih sekali. Padahal saya hanya ingin hidup normal, bekerja dan membawa keluarga. Tapi pintu Australia tertutup,” ujarnya lirih.
Meski sedih, Xanana akhirnya pulang ke Dili, bekerja sebagai buruh bangunan di proyek Hotel Timor yang sedang dibangun.
Hidupnya kembali sederhana: mengaduk semen, memanggul pasir, tidur di kamar kosong di lantai atas proyek. Namun di tengah kerasnya kerja fisik, jiwa kritisnya tidak pernah padam.
Ia terus menulis. Artikel tentang diskriminasi, tentang korupsi, tentang ketidakadilan di bawah kolonial Portugis. Nama “Xanana” semakin dikenal, bukan hanya di media, tapi juga di jalanan.
“Saya bukan siapa-siapa. Hanya anak kampung yang menulis. Tapi tulisan bisa lebih tajam dari senjata,” ucapnya tegas.
Tulisan-tulisan itu membuat pemerintah Portugis resah. Sensor semakin ketat, beberapa koran ditarik dari peredaran. Namun dari sinilah, nama Xanana mulai identik dengan perlawanan.
Dari seorang nelayan, tukang ketik, hingga buruh bangunan, perlahan ia berevolusi menjadi simbol perlawanan rakyat Timor Leste. Dari era kolonial Portugis hingga era pendudukan Indonesia.
Perjalanan hidup Xanana Gusmão adalah cermin ketabahan: tidur di emperan toko, melaut dengan perut kosong, mengetik berita dengan nama samaran, hingga menjadi musuh nomor satu kolonial.
Semua bermula dari tanggung jawab seorang anak desa (kampung) dengan lima adik perempuan yang harus ia bantu sekolah.
“Saya tidak pernah bercita-cita jadi pemimpin. Saya hanya ingin adik-adik saya bisa sekolah, keluarga saya bisa makan. Tapi mungkin karena itu, hidup membawa saya ke jalan ini,” ujar Xanana menutup cerita.
Dan benar, dari jalan berliku itulah lahir seorang Xanana Gusmão: nelayan, buruh, jurnalis kritis, lalu pemimpin dan bapak bangsa Timor Leste.
Bersambung…….,
(*) Lamadi de Lamato adalah penulis artikel ini. Dia adalah seorang mantan aktivis 98, stafsus Angelina Sondakh di DPR RI, mantan stafsus DPR Papua, penulis biografi dan mantan juru bicara Gubernur Papua, Lukas Enembe. Penulis adalah direktur LaKeda Institute Papua dan koordinator Buton Action Network. Tulisan ini disadur dan diedit kembali dari kumpulan tulisan penulis yang akan dijadikan buku biografi Xanana Gusmao.
