Ketua Forum Masyarakat Adat Malind Anim Kondo-Digoel, Simon Petrus Balagaize, telah mengeluarkan surat terbuka dan ucapan terima kasih kepada Uskup Keuskupan Timika yang baru terpilih Mgr. Bernardus Bofitwos Baru OSA. Berikut isi surat ini………..,
Ucapan terimakasih dari kami, Umat Katolik dan Masyarakat Adat Malind Anim Kondo – Digoel (Keuskupan Agung Merauke) Kepada Uskup Terpilih Keuskupan Timika. Kepada yang terhormat, yang mulia, Mgr. Bernardus Bofitwos Baru OSA di Timika. Salam sejahtera. Syukur bagimu Tuhan Yesus. Syukur bagi kita semua dalam momen Tri Hari Suci ini.
Yang Mulia, melalui surat ini kami hendak menyampaikan beberapa hal. Pertama, kami umat Katolik dan masyarakat adat Marind Anim Kondo – Digoel mengucapkan terimakasih yang mendalam, karena pada momen Tri Hari Suci, tepat Jumat Agung, dari altar Gereja Katedral Timika, Bapak Uskup telah menyentuh suka duka kami umat Katolik di Keuskupan Agung Merauke, khususnya kampung Wogekel, Wanam, Distrik Jagebob dan sekitarnya.
Yang selama kurang lebih 1 tahun berjuang untuk mempertahankan tanah adat dan hutan adat produktif seluas 2 juta hektar, yang dijadikan sebagai lahan mewujudkan Proyek Strategis Nasional (PSN), yang nantinya akan menanam padi dan tebu (lumbung pangan nasional).
Kedua, apa yang Bapa Uskup Timika sampaikan benar, bahwa hak-hak kami atas tanah adat dan hutan adat dicaplok, hilang seketika atas nama pembangunan, kesejahteraan dan kemanusiaan. Kami belum pernah kompromi, akan tetapi penguasa dan perusahaan berinvestasi, termasuk Uskup kami di Keuskupan Agung Merauke (KAMe) mendukung agar kami kehilangan sumber-sumber kehidupan alam dan ketergantungan hidup kami.
Apa yang Bapa Uskup Timika sampaikan benar bahwa banyak hewan, binatang dan lainnya kehilangan sumber habitatnya. Banyak sekali spesies endemik melarikan diri, tersingkir dan kedepan tidak akan temukan lagi karena telah musnah, ekosida, dan bisa mengakibatkan etnosida. Hal ini mulai terjadi ketika operasi PSN dilakukan dengan kontrol pihak aparat militer dan keamanan domestik.
Ketiga, sejauh ini kami sangat merindukan suara kenabian yang berpihak kepada kami, yang terpenjara, tersendat dan terpuruk dalam ketidakpastian oleh gembala kami di Keuskupan Agung Merauke. Tapi kami tidak mendapatkannya, bahkan sulit untuk menemukan seorang gembala yang dengan berani merendahkan diri untuk menjadikan suka duka umat menjadi suka duka gereja (gembalanya).
Keempat, kami sebagai umat Katolik mengikuti ajaran Paus Fransiskus melalui Ensiklik “Laodato Si”, dimana mengajak kita guna memelihara bumi sebagai rumah kita bersama. Namun, kami melihat Uskup kami tidak sejalan dengan Paus.
Kami umat ingin menjadikan tanah dan hutan adat kami sebagai rumah bersama bagai segala mahkluk hidup di bumi. Akan tetapi Uskup kami mendukung agar tanah 2 juta hektar dijadikan sebagai lahan perusahaan yang dikuasai oleh penguasa dan perusahaan.
Kelima, kami umat dan masyarakat lokal mengikuti dengan baik atas Konferensi Perubahan Iklim Dunia di Paris Ke-21 2015. Kami umat Katolik dan masyarakat adat Marind Anin Kondo – Digoel siap berkontribusi kepada dunia melalui tanah dan hutan adat kami untuk menaikan suhu global 2 derajat celsius bersama 150 pemimpin negara di samping melawan gas emilsi rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global. Tapi pihak berwenang, termasuk Uskup kami justru berseberangan dengan semua usaha ini.
Keenam, kami harap Gereja Katolik di KAMe tidak menyalibkan kami, umat dan masyarakat adat dalam sistem kapitalisme dengan dalil demi pembangunan, kemajuan, kesejahteraan dan kemanusiaan sekalipun. Sebab pada hakekatnya kami bisa hidup dari tanah, akan tetapi tidak bisa hidup dari perusahaan.
Kami bisa bangun kehidupan kami hanya dengan mengandalkan sumber daya alam kami yang melimpah. Tetapi kami tidak mungkin bisa sejahtera dari perusahaan yang menghilangkan sumber akar kehidupan kami.
Ketujuh, kami harap agar gereja hadir untuk membawa misi karya keselamatan Allah, bukan misi PSN (penguasa dan perusahaan), yang ikut memberikan legitimasi secara sepihak guna mencaplok tanah tanah adat juga ruang-ruang hidup bagi masyarakat adat.
Kedelapan, kami butuh gembala dan suara kenabian yang berpihak pada kami, kaum yang lemah, miskin, terpinggirkan dan teraniaya di Keuskupan Agung Merauke. Kami butuh gembala yang mau menjadikan tanah adat sebagai rumah bersama (bukan perusahaan dan pengusaha semata).
Kami butuh gembala yang mau menjadikan suka duka, kecemasan, kegembiraan dan harapan kami sebagai suka duka, kecemasan, kegembiraan dan harapan gereja Katolik (KAMe).
Demikian surat terbuka dan ucapan terimakasih ini kami buat, atas perhatian bapak monsinyur, kami ucapkan terima kasih.
Almasu, Jumat Agung 19 April 2025.
Ketua Forum Masyarakat Adat Malind Anim
Simon Petrus Balagaize
