Desain bangunan Mall dan Hotel Paragon yang terletak di keramaian Jalan Basuki Rahmat Km 9, Kota Sorong (Doc Photo: Ist)
Sorong, Papua Barat Daya – Di tengah hiruk-pikuk Kota Sorong, sepintas dari luar sebuah landmark baru mulai mencuri perhatian: Paragon Square. Mall pertama dan terbesar yang menawarkan pengalaman belanja modern di Provinsi Papua Barat Daya ini baru saja dibuka secara resmi pada Jumat, 21 Maret 2025.
Terletak di keramaian Jalan Basuki Rahmat Km 9, Kelurahan Kladufu, Distrik Sorong Timur. Mall ini bukan hanya sekadar pusat perbelanjaan yang memiliki hotel bertingkat, tetapi menjadi simbol ambisi, eksistensi geliat arus modal dan harapan besar bagi perekonomian kota yang semakin berkembang pesat.
Dengan desain arsitektur yang menawan dan fasilitas modern yang lengkap, Paragon Square menjadi bukti nyata bahwa Kota Sorong kini siap menyambut era baru di dunia komersial dan investasi. Tetapi di balik gemerlapnya, mall modern ini juga perlu menggores cerita tentang pemberdayaan dan keberpihakan pada warga masyarakat asli Papua.
Tidak hanya itu, dampak jangka panjang dengan kehadiran mall tersebut juga perlu dirasakan masyarakat Kota Sorong. Kota yang telah lama dikenal sebagai salah satu pusat perekonomian di Papua Barat Daya dan menjadi gerbang masuk tanah Papua. Namun ironisnya, warga asli Papua makin tergerus di sektor ekonomi modern di kota ini.
Velly Zondak, atau lebih dikenal dengan nama Ongko Yohan, merupakan sosok di balik proyek fantastis Paragon Square. Bagi Ongko Yohan ini, pembukaan mall Paragon lebih dari sekadar langkah bisnis. Baginya ini menjadi dedikasi kepada masyarakat Sorong yang telah lama ia kenal dan cintai.
“Saya tumbuh bersama Sorong, dan kini saatnya saya memberikan kembali kepada kota ini. Paragon Square hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, memberikan kenyamanan, dan tentu saja menjadi tempat yang tepat bagi keluarga untuk berbelanja dan berkumpul,” ujarnya bangga saat menyampaikan sambutan di depan para tamu undangan dalam acara soft opening mall ini.
Keberhasilan untuk menghadirkan merek-merek besar seperti Giordano, Azco, dan Chatime ke Sorong bukan hal mudah. Namun, Ongko Yohan dengan bangga mengungkapkan bahwa Paragon Square berhasil meyakinkan banyak brand ternama untuk berinvestasi di kota ini.
Menurutnya, ini adalah langkah pertama untuk menjadikan Sorong sebagai pusat perbelanjaan yang mampu bersaing dengan kota-kota besar di luar Papua.
Pesatnya Pertumbuhan Ekonomi
Wali Kota Sorong yang baru dilantik pada 20 Februari 2025, Septinus Lobat, bersama istri, sejumlah anggota DPRD Kota Sorong dan para pejabat, sangat terkesima saat menghadiri soft opening Paragon Square pada Jumat (21 Maret 2025). Pembukaan pusat perbelanjaan ini pun disambut antusiasme warga sekitar dan masyarakat Kota Sorong.
Bagaimana tidak, Paragon Square kini hadir sebagai pusat perbelanjaan berstandar internasional bagi konsumen kelas atas hingga warga masyarakat biasa. Pusat perbelanjaaan ini hadir untuk menawarkan aktivitas perbelanjaan modern dan nyaman, layaknya kota-kota besar di Indonesia.
Kehadiran Paragon Square tidak terlepas dari dukungan Pemerintah Kota Sorong dalam mendorong pesatnya pertumbuhan ekonomi. Dalam sambutannya saat soft opening Paragon Square, Wali Kota Sorong, Septinus Lobat, mengungkapkan bahwa proyek ini sangat penting untuk kemajuan perekonomian kota.
Menurutnya, mall ini akan memberikan dampak besar bagi masyarakat, tidak hanya dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan. Tetapi juga dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Investasi yang masuk ke Sorong, seperti Paragon Square, adalah bentuk komitmen kami untuk memajukan kota ini. Kami ingin Sorong menjadi pusat perekonomian yang berkembang pesat di Papua Barat Daya.” Jelas Lobat. Pemerintah Kota Sorong, menurutnya akan selalu mendukung setiap investasi yang membawa manfaat bagi masyarakat.
Dia berharap mall ini nantinya dapat menjadi model bagi proyek-proyek serupa yang akan datang. Dengan begitu, Sorong bisa menjadi kota yang maju dan mandiri secara ekonomi.
Meski kehadiran Paragon Square disambut antusias, ada harapan yang mendalam dan menyentuh hati. Warga lokal Papua yang bermukim di sekitar pusat perbelanjaan itu ingin menjadi bagian dari aktivitas bisnis dan geliat ekonomi modern di kota ini.
Paragon Square, yang berdiri megah di Kota Sorong, bukan hanya menjadi simbol kemajuan dalam dunia komersial. Tetapi juga tanda nyata bahwa Kota Sorong sedang bersiap menyambut masa depan yang lebih cerah.
Apa Dampak Nyata Bagi Masyarakat Lokal?
Dengan memperkenalkan fasilitas belanja modern, peluang kerja lokal, serta mendukung pemberdayaan UMKM, Paragon Square menawarkan sebuah model baru yang lebih inklusif dalam pembangunan ekonomi. Namun sejauh mana keterlibatan warga asli Papua di dalamnya?
Karena yang lebih penting dari sekadar kehadiran pusat perbelanjaan beserta merek-merek ternama yang di incar para konsumen kelas atas, Paragon Square perlu memberi dampak langsung bagi warga asli Papua. Ini salah satu aspek yang ditekankan kepada PT Papua Raya Properti (PT. PRP), pengelola Paragon Square, melalui penyerapan tenaga kerja lokal.
Di tahap awal operasional, menurut pihak manajemen PT. PRP, lebih dari 1000 orang tenaga kerja direkrut untuk bekerja di mall ini. Keberadaan lapangan kerja ini lantas menjadi kabar baik bagi warga sekitar, terutama warga asli Papua yang memiliki minat bekerja di sektor perdagangan modern dan profesional.
Selain membuka lapangan pekerjaan, Paragon Square juga membuka peluang bagi UMKM lokal. Dimana mall ini bekerja sama dengan berbagai usaha kecil untuk menyediakan makanan di area foodcourt, yang menjadi jembatan bagi para pelaku UMKM menjangkau pasar yang lebih luas. Hanya saja, keterlibatan atau perekrutan pekerja asli Papua diantara semarak kehadiran Mall Paragon ternyata menyisakan tanda tanya.
“Saya awalnya ikut membangun mall ini dan setelah selesai, berharap bisa langsung masuk kerja sebagai karyawan atau paling tidak sebagai security saja sudah cukup. Tapi ternyata yang direkrut bekerja rata-rata orang pendatang,” ungkap Sami Bagoba yang meminta nama aslinya tidak disebutkan. Ia adalah warga komunitas Kokoda asal Sorong Selatan, yang berdomisili di area Km 9.
Dia menceritakan bahwa sejak mall modern ini mulai dibangun pada 2024, dirinya bersama 15 kerabat warga Kokoda yang lain sempat ikut bekerja sebagai buruh bangunan dalam proyek tersebut. Mereka juga diiming-iming bakal menjadi karyawan mall jika proyek pembangunan selesai.
Sayangnya, setelah selesai pembangunan dan Paragon Square diresmikan pada 21 Maret 2025, hanya seorang dari mereka yang direkrut bekerja. “Kami sangat kecewa. Padahal kami warga sekitar yang sudah ikut terlibat bangun mall ini. Sebagai orang Papua, kami juga mestinya diprioritaskan untuk bekerja,” ungkapnya kesal saat ditemui di rumahnya di area Km 9.
Marginalasi Orang Papua Ditengah Pusaran Ekonomi Modern
Bagi Esau Bagoba, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) suku Imeko yang berasal dari wilayah Kabupaten Sorong Selatan, potret marginalisasi orang asli Papua di tengah pusaran ekonomi modern di Kota Sorong semakin memilukan. Hal ini menurutnya tampak dari pesatnya pertumbuhan sektor bisnis, jasa dan perdagangan yang menggilas masyarakat adat Papua.
“Saya ini sangat kuatir. Nanti kitong yang rambut keriting dan kulit hitam di kota ini sudah tidak ada lagi. Jadi nanti ke depan kalau orang asing mau lihat orang Papua, dong harus pergi ke wilayah pedalaman yang jauh dari kota,” ungkapnya dengan tatapan serius, dalam sebuah diskusi terbatas mengenai dampak kehadiran Paragon Mall di rumahnya di area Km 9, Sabtu (12/4/2025).
Ditengah kecemasannya, pensiunan Aparatur Sipil Negara (ASN) ini berharap agar masyarakat adat Papua di Kota Sorong tidak hanya menjadi penonton setia ditengah kehadiran dan aktivitas bisnis seperti hadirnya Mall Paragon. Tetapi juga bisa menjadi bagian dari roda ekonomi yang berputar.
“Sebagai masyarakat adat Papua, kami ingin mengelola dan terlibat dalam peluang ekonomi yang ada. Jadi bukan hanya tanah kami yang digunakan, lalu kami menjadi penonton dan pengemis,” kata Esau dengan penuh harapan.
Pernyataan Esau menggambarkan keresahan yang ada di hati banyak warga Papua. Mereka merasa pembangunan yang ada selama ini lebih menguntungkan pihak luar. Sementara warga asli Papua yang tinggal di sekitar proyek besar atau area bisnis, seringkali terabaikan.
Yohanes Mambrasar, seorang pengacara muda dari Yayasan Avaa yang hadir dalam diskusi tersebut juga menyampaikan keprihatinannya. “Kehadiran Paragon Mall beserta sejumlah mall, toko besar dan perhotelan yang ada di Kota Sorong adalah peluang besar. Kami ingin warga Papua juga menjadi bagian darinya,” ungkapnya serius.
Dengan begitu, kata dia, orang Papua bukan hanya sebagai penonton, pengunjung, pembeli, menjadi sekuriti, atau tukang parkir. Tetapi sebagai pekerja profesional yang berhak mendapatkan kesejahteraan melalui ruang-ruang hidup dan peluang ekonomi yang tersedia.
Ia mengingatkan bahwa aktivitas perekonomian di Tanah Papua yang berkembang seiring masuknya berbagai bentuk investasi, perlu memberi kesempatan bagi masyarakat adat Papua untuk terlibat di dalamnya.
“Kami ingin orang Papua bisa bekerja di sini, di atas tanah kami sendiri. Ini bukan hanya soal lapangan pekerjaan, tetapi soal martabat,” tambah pria yang juga terlibat mengadvokasi pedagang Papua di Kota Sorong dalam memperoleh pasar khusus.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kaki Abu Sorong, Leonardus Ijie, dalam kesempatan yang sama juga menyampaikan kerisauan hatinya mengenai realitas sosial marginalisasi orang asli Papua di tanahnya sendiri. Menurutnya, Pemerintah Indonesia sudah memberikan kebijakan Otonomi Khusus yang menjadi bagian dari aspek diskriminasi positif.
“Ini tentang keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan. Karena itu orang Papua harus menjadi subjek pembangunan. Bukan objek,” tegas Ijie. Sayangnya kata dia, selama dua puluh tahun awal pemberlakuan Otsus, orang Papua makin termarginal dan kehidupannya makin memprihatinkan dalam pusaran arus ekonomi kapital.
Bapak Esau, Yohanes, Leonardus, dan semua pihak mendukung keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat Papua dalam konteks Otonomi Khusus. Ini dianggap sebagai kesempatan untuk membuktikan bahwa kemajuan ekonomi tidak hanya untuk sekelompok orang. Tetapi bagi seluruh lapisan masyarakat Papua yang telah lama merindukan kesempatan untuk berkembang.
Kehadiran Paragon Square sebagai salah satu pusat perbelanjaan modern di Kota Sorong, dengan segala harapan yang melekat, akan terus menjadi bagian penting dari pusaran arus kapital. Potret penetrasi motif kapitalisme yang tak mengenal belas kasihan pada rakyat Papua yang tak mau bersaing dan sedang tertindas dalam ruang politik maupun ekonomi. (Julian Haganah Howay)
