Sosok DS. I.S. Kijne, seorang guru dan misionaris berdarah Yahudi-Belanda, peletak peradaban modern melalui pendidikan bagi Bangsa Papua (doc : Albert Rumbekwan)
PADA suatu pagi yang bening, I.S. Kijne menapaki jalan berbatu di Aitumeri. Langkahnya menelusuri jalan setapak yang mengarah ke batu leluhur.
Batu itu disakralkan orang Wondama, tempat mereka menyapa semesta dan menunduk pada keheningan alam.
Di sana, ia menemukan batu itu. Dari puncaknya, terbentang laut Teluk Wondama yang eksotis, memantulkan cahaya matahari seperti kaca berkilau.
Rimbun pepohonan di sekitarnya membentuk taman kecil, tempat burung Kris Ekor Kipas bernyanyi, “Wirewit… Wirewit…” di antara daun-daun dan hembusan angin laut.
Seekor bangau putih berkaki merah melayang rendah di atas ombak, mengintai ikan di permukaan air. Kijne duduk di batu itu berdiam, merenung, menatap lukisan agung ciptaan Tuhan.
Langit mulai berwarna keemasan, matahari perlahan pergi ke barat, dan senja melingkupi Teluk Wondama dengan cahaya lembut seperti nyala lilin di altar.
Di sanalah ia menulis, sebuah kisah yang dinamainya “Kota Emas”, tentang Regi, Tom, dan sahabat-sahabat mereka: Kasuari, Kris Ekor Kipas, Bangau Putih (Wirewit), Teteruga, dan Gajah.
Bagi Kijne, Kota Emas bukan hanya tempat, ini adalah bayangan sorga, kilau kemuliaan yang terpantul dari laut bening bertabur emas.
Namun, dari kejauhan, datanglah mereka, orang-orang dari Barat dan dari Tanah Melayu, dengan mata yang silau oleh emas, dan lidah yang menamai diri “Ibu Pertiwi”.
Mereka datang dengan siasat dan senyum samar, menjual dan menjarah tanah ini, tanah orang hitam berambut keriting yang mereka ejek sebagai kafir dan tak beradab.
“Pergilah ke bulan jika ingin bebas!” teriak seorang Jenderal dari atas mimbar kuasa. Dan sejarah pun mencatat malam itu: 15 Agustus 1962, Perjanjian New York ditandatangani. Janji yang kelak disebut orang sebagai perjanjian iblis.
Lima tahun kemudian, pada 1967, kesepakatan lain dibuat, memberi izin kepada Freeport McMoRan Sulphur untuk menggali jantung bumi Papua. Darah emas mengalir dari gunung, dan kesunyian menjadi saksi.
Seruling Emas dan Suara Gembira
Suatu senja menjelang hari baru, ketika cahaya pertama menembus kabut Aitumeri, I.S. Kijne duduk di atas batu bertumpuk, dikelilingi anak-anak Papua yang tertawa riang.
Suara seruling emas bergema di udara pagi, dan di taman kecil itu, kupu-kupu menari dari bunga ke bunga, seperti doa yang berwarna.
Dengan semangat penuh kasih, Kijne mengajarkan mereka mengenal dunia: “Itu apa?” “Itu perahu!” “Itu siapa?” “Itu nelayan!” Dalam buku Angka Berbari, anak-anak menghitung lidi dan batu yang mereka kumpulkan.
Dari batu-batu kecil itu, lahirlah fondasi yang ia sebut “Batu Peradaban”, simbol dari kebangkitan dan pengetahuan baru.
Hari berganti minggu, bulan menua menjadi tahun. Kijne berlayar dari Miei menuju Serui, mendirikan pusat pendidikan bergaya Eropa, Onderwijs Centrum, tempat lahirnya guru, penginjil, dan petani.
Anak-anak belajar di sekolah JVVS dan MVVS, melanjutkan ke OVO dan ODO untuk menjadi pendidik, ke Landbouw School untuk memahami tanah, ke RAZ untuk mengabarkan Injil, dan ke DVG untuk belajar merawat yang sakit.
Dari Serui, Kijne menyeberang ke Hollandia, ke kaki Gunung Cyclop, lembah Ifar. Di sana anak-anak Papua belajar bertani dan bertukang, belajar menggerakkan mesin, mengemudikan kapal, di ruang LTS dan ZVS yang sederhana namun penuh semangat.
Di tepi Danau Sentani, di kampung Yoka, ia mendirikan sekolah YVVS dan MVVS, tempat anak-anak belajar membaca, menulis, dan bernyanyi.
Dari dermaga danau, kapal SIMAVI berlayar, membawa pelayanan kesehatan ke kampung-kampung di tepian air jernih itu.
Dan dari geladak kapal KPM, I.S. Kijne dan sahabatnya De Witte bercerita tentang Naik dan Maju, tentang sebuah mimpi untuk membangun Tanah Nieuw Guinea menjadi rumah bagi pengetahuan.
Tempat di mana terang mengalahkan gelap, dan pendidikan menjadi nyala abadi di ujung timur dunia.
Jejak Iman dan Harapan di Tanah Papua
“Di atas batu ini, aku meletakkan dasar peradaban orang Papua. Sekalipun kelak datang mereka yang memiliki kepandaian tinggi, akal budi, dan marifat untuk memimpin bangsa ini pada akhirnya, bangsa Papua akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri.”
Begitulah suara yang tertinggal di antara desir angin Mansinam, suara seorang pendidik dan rohaniwan, Pendeta Isak Samuel Kijne, yang melihat Papua bukan sebagai ladang zending, melainkan tanah masa depan.
Tempat manusia hitam berambut keriting akan berdiri tegak dan berbicara dengan bahasanya sendiri kepada dunia.
Bagi Kijne, pendidikan bukan sekadar ruang belajar, melainkan jalan menuju kemerdekaan batin. Ia ingin anak-anak Papua belajar hidup dengan keberanian, bukan meniru atau menunduk pada pola bangsa lain.
Sekolah sejati, katanya, bukan sekadar bangunan, melainkan tempat menumbuhkan kepercayaan diri, kecerdasan, dan harga diri agar mereka dapat berdiri di atas batu peradaban yang kokoh.
Di Pulau Mansinam, kehidupan muda pernah berkobar. Halaman Zending yang dahulu ditinggali Van Hasselt dipenuhi tawa dan nyanyian para pemuda yang datang dari utara hingga barat Nieuw Guinea.
Mereka menanam dan mencangkul, merawat kebun, membangun rumah, menjaga kebersihan, dan bernyanyi dalam irama harapan.
Lagu-lagu baru menggema di udara menyuarakan cita-cita bahwa orang Papua akan mulai bekerja dan membangun bangsanya sendiri. Andai Ottow dan Geissler bisa mendengar dari kejauhan, mereka pasti tersenyum, sebab apa yang dulu mereka tabur, kini bertunas.
Namun zaman berubah. Gelombang modernitas membawa kabar tentang demokrasi, ekonomi, dan kebudayaan baru.
Kijne memandang semua itu dengan hati yang waspada. Ia mengingatkan: “Jangan sampai dalam mengejar yang baru, kita kehilangan makna yang lama. Jangan sampai maksud baik membawa penyesalan.”
Sebab kemajuan sejati, baginya, bukanlah mengganti akar, tetapi menumbuhkan tunas baru dari tanah yang sama.
Perubahan sejati datang dari dalam. Siapa pun yang bekerja di tanah ini dengan iman dan kesetiaan, kata Kijne, akan berjalan dari satu keajaiban ke keajaiban lain.
Ia menanamkan benih nasionalisme pada murid-muridnya nasionalisme yang lahir dari cinta tanah, manusia, dan budaya Papua.
Dalam buku-buku bacaannya, dalam nyanyian yang ia tulis, Kijne menenun kasih kepada Tuhan dengan penghormatan terhadap jati diri bangsa.
Baginya, pendidikan bukan sekadar mengajar pengetahuan, tetapi membentuk jiwa, karakter, etnik, bahasa, dan cinta tanah air.
Ia percaya: siapa pun yang hidup di tanah ini, bila ia mencintainya dengan segenap hati, akan merasakan Papua sebagai bagian dari dirinya sendiri.
Mereka yang mencintai gunung dan hutan, yang menghormati pantai dan muara, yang memelihara bahasa dan tradisi, akan menemukan rumah di tanah ini.
Hanya dengan cinta dan iman, seorang manusia dapat menyebut Papua sebagai tanah airnya. Isak Samuel Kijne lahir pada 1 Mei 1899 di Vaardigen, Belanda.
Menjelang akhir hidupnya, ia sadar: suatu hari kelak, tanah ini akan dikuasai oleh mereka yang datang bukan karena kasih, tetapi karena kepentingan atas kekayaan alamnya.
Kebenaran akan diputarbalikkan, dan banyak hal baru akan membuat manusia menyesal.
Namun, katanya dengan tenang, “Itu bukan kehendak Tuhan, itu hanyalah keinginan manusia.”
Dan di ujung segala renungannya, ia menulis dengan getir namun penuh cahaya: “Barangkali yang dimimpi tak jadi, kendati tak jadi berarti abadi.”
Lagu, Tanah dan Suara Yang Tak Pernah Padam
Melodi yang digunakan Kijne untuk nyanyiannya berasal dari sebuah lagu rakyat Belanda, Aan het Vaderland, lagu tua yang nyaris dilupakan.
Ia hanya meminjam nadanya; teks asli ia tanggalkan, sebab terasa asing, bahkan menyeramkan. Dari nada yang sepi itu, ia menulis syair baru yang lahir dari hati Papua.
Bait pertamanya lembut dan mengakar: “Oh tanahku Papua, tanah kelahiranku, aku akan mencintaimu sampai akhir hidupku.”
Dan bait terakhirnya adalah doa yang tak pernah padam: “Terima kasih kepada-Mu, Tuhan, Engkau telah memberiku tanah ini. Biarkan aku rajin menjawabnya sesuai dengan tujuan-Mu.”
Tak heran bila kemudian lagu ini dijadikan lagu nasional Papua, sebab hampir semua anggota komite penetapnya adalah murid-murid Kijne. Mereka yang sejak masa asrama telah menyanyikannya dengan penuh kasih.
Dan Kijne, dalam kebanggaan yang sederhana, berkata: “Orang Papua, dari Raja Ampat hingga Tanah Tabi, adalah bangsa yang suka bernyanyi. Mereka bernyanyi dan menari dengan sepenuh jiwa.”
Suara itu masih terdengar hingga kini/ Melintasi gunung, hutan, dan laut, mengingatkan bahwa di atas batu tua Mansinam, pernah diletakkan peradaban iman, harapan, dan cinta yang tak lekang oleh waktu.
Tanah Luka, Tanah Harapan, Catatan Kemanusiaan Papua 1999-2025
Di ujung timur negeri ini, matahari selalu datang lebih dulu. Tapi terang sering tiba paling lambat.
Di lembah, di tepi danau, di kaki gunung Cycloop dan pegunungan Bintang, nama Papua bergema bersama dua kata yang saling mengejar: luka dan harapan.
Sejak awal dekade sembilan puluhan, tanah ini menjadi buku panjang yang halamannya ditulis dengan darah dan air mata. Nama-nama kampung dan kota kecil menjadi titik di peta luka: Biak, Abepura, Wasior, Wamena, Enarotali.
Masing-masing seperti batu nisan yang tak sempat diberi bunga. Tahun 1998, di Biak, langit laut menjadi saksi
ketika bendera dikibarkan, lalu tubuh-tubuh jatuh. Gelombang menelan mereka, tapi tak bisa menelan ingatan. Dua tahun kemudian, Abepura menyala, asrama mahasiswa diserbu, belasan nyawa padam di tengah pekat malam.
Wasior dan Wamena mengikuti, meninggalkan jejak hening yang bahkan burung cenderawasih enggan menyanyikannya terlalu lama.
Tahun-tahun berjalan, dan dunia terus berubah, tetapi luka Papua tetap menemukan caranya untuk bertahan. Antara 2010 hingga 2020, nama-nama baru muncul: penembakan, pengungsian, penyanderaan, dan perlawanan.
Komnas HAM menghitung, mencatat, memanggil saksi, namun angka-angka tak pernah sanggup menampung jerit seorang ibu yang kehilangan anak di antara tembakan dan kabut.
Pada 2023, laporan mencatat 114 peristiwa pelanggaran HAM di Papua. Setahun kemudian, 113 peristiwa lagi.
Di balik angka itu, ada 61 nyawa yang padam: 32 di antaranya warga sipil, dua di antaranya anak-anak. Ada pula satu warga negara asing yang mati jauh dari negerinya, dan belasan lainnya disandera dalam ketakpastian yang panjang.
Tapi siapa yang menghitung mimpi-mimpi yang terbunuh setiap malam? Siapa yang menghitung anak-anak yang tumbuh tanpa sekolah, yang menatap langit tanpa tahu huruf-huruf nama mereka sendiri?
Universitas Papua menulis bahwa 314.606 anak di empat provinsi baru tidak bersekolah. Di seluruh Tanah Papua, ada yang menyebut jumlahnya bisa mendekati 693.000.
Itu bukan hanya angka, itu adalah nama-nama yang hilang dari daftar masa depan. Mereka yang seharusnya belajar membaca cahaya, kini hanya mengenal suara helikopter dan deru buldozer.
Sementara itu, hutan-hutan, paru-paru yang memberi napas pada bumi— terus dibuka. Antara 2022 dan 2023, lebih dari 500.000 hektare menghilang di bawah gergaji, jalan, dan sawit.
Tanah yang dulu bernyanyi bersama burung-burung kini berdebu. Di Merauke, pohon-pohon dijadikan ladang industri; di Raja Ampat, izin tambang dicabut karena suara rakyat yang tak mau diam.
Hutan menangis, tapi ia juga melawan, akar-akar masih berpegang pada tanah, meski batangnya tumbang.
Dan di tengah semuanya, manusia Papua tetap menanam harapan. Di sekolah kecil di tepi danau Sentani, seorang guru masih menulis di papan tulis: “Hidup adalah belajar memaafkan dunia.”
Di pegunungan Lanny Jaya, anak-anak menari dengan seruling bambu yang bernada seperti doa. Di Biak, seorang ibu menyalakan lilin setiap tanggal 6 Juli, hari ketika laut menjadi saksi dan matahari menolak tenggelam.
Papua adalah tanah yang terluka, tapi juga tanah yang bermimpi. Ia tahu bagaimana menahan pedih dan tetap menumbuhkan bunga.
Ia tahu bagaimana menatap senjata dan tetap berbicara tentang kasih. Ia tahu bahwa kebebasan tak selalu datang dari perjanjian, tapi dari keberanian manusia untuk tetap mencintai hidup meski dunia berkali-kali melupakannya.
Kini, setelah tiga puluh lima tahun luka yang berselang, tanah ini masih berdiri di bawah langit biru yang sama. Gunung-gunungnya tetap tegak, lautnya tetap berkilau, dan di sela semua duka, ada nyanyian baru dari generasi yang tak lagi takut menyebut nama mereka sendiri.
Mereka menulis kembali sejarah, bukan dengan amarah, tapi dengan ingatan yang jernih. Mereka berkata: Kami bukan angka. Kami bukan korban. Kami adalah manusia yang masih mencintai bumi ini.
Dan di situlah harapan itu hidup di antara puing dan puisi, di antara luka dan cahaya, di antara hutan yang hampir habis dan jiwa yang tak pernah padam.
Papua, tanah yang berdarah tapi masih bermimpi. Papua, tanah yang menangis tapi masih bernyanyi. Papua, tanah yang terluka dan terus melahirkan harapan.
Suara Dari Tanah Yang Belum Selesai
Aku lahir di tanah yang sering disebut “bermasalah.” Mereka bilang kami jauh, padahal matahari selalu lebih dulu menyapa kami.
Mereka bilang kami tertinggal, padahal kami sudah lama menunggu kereta yang tak pernah berhenti di stasiun ini.
Aku tidak tahu kapan perang mulai disebut damai. Aku hanya tahu suara tembakan kadang lebih cepat dari doa, dan di antara denting itu, kami tumbuh, belajar membaca langit, bukan buku; menghitung bintang, bukan angka.
Tetapi aku juga tahu sesuatu yang mereka lupa: bahwa kami masih bisa tertawa, bahwa kami masih tahu cara menanam pisang, bahwa kami masih menyanyi di gereja dan di tepi sungai, bahwa setiap pagi, gunung dan laut masih memanggil kami dengan nama yang sama.
Aku percaya, suatu hari nanti, luka-luka ini akan menjadi pelajaran, bukan warisan.
Aku percaya, suara kami akan didengar bukan karena jerit, tapi karena kebenaran yang tumbuh pelan seperti sagu di ladang basah.
Dan ketika itu tiba, kami akan menulis sejarah kami sendiri, dengan bahasa yang sederhana, dengan tangan yang bersih, dengan hati yang tak lagi takut pada bayangan masa lalu.
Papua bukan hanya tanah yang disakiti, tapi juga tanah yang menyembuhkan. Ia menyembuhkan dunia, sedikit demi sedikit, dengan cara paling sederhana: tidak berhenti berharap.
69 Tahun GKI di Tanah Papua
Ketika senja turun perlahan, perahu Zending itu masih berlayar menyusuri ombak lembut Teluk Humboldt, mencari tempat berlabuh di antara cahaya dan doa.
Di Hollandia Binnen, pada 18 hingga 28 Oktober 1956, sauh akhirnya menemukan keteduhan.
Di sana, di sebuah rumah sederhana yang kelak disebut Gedung Kerk der Hoop, sebuah peristiwa suci terjadi: Rumah Tuhan berdiri di Tanah Papua.
Rumah itu bukan hanya gereja, melainkan persekutuan hidup dan harapan.
Tempat umat berkumpul untuk berdoa dan melayani, tempat kasih dijaga dan iman dirawat, tempat setiap jiwa Papua belajar melindungi tanah dan manusia dari ancaman yang kelak bernama genosida, ekosida, dan etnosida.
Di bawah langit senja yang merah keemasan, nama Tuhan dimeteraikan di atas tanah ini.
Dan dari detik itu, Gereja Kristen Injili di Tanah Papua menjadi rumah iman bagi sebuah bangsa yang sedang mencari arah dalam badai sejarah.
Selamat Memperingati Seabad Nubutan DS. I.S. Kijne dan 69 Tahun HUT GKI di Tanah Papua!
(*) Albert Rumbekwan adalah penulis artikel refleksi ini. Dia adalah peneliti, ketua Program Studi Sejarah FKIP Universitas Cenderawasih dan pegiat sastra Papua.
