Gambar ilustrasi (doc: wenebuletin)
DI TANAH PAPUA, ada sebuah ironi yang tidak tercatat dalam statistik resmi. Tapi nyaring terdengar dalam bisik-bisik masyarakat, berita duka, dan lembar obituari: korupsi tidak hanya menghukum para pelakunya dengan bui, tapi juga membawa mereka perlahan ke liang lahat.
Kisah ini bukan fiksi. Di balik bangunan-bangunan pemerintahan yang megah dan proyek-proyek yang digembar-gemborkan, terdapat kisah pilu pejabat-pejabat Papua yang setelah divonis bersalah karena korupsi, tak lama kemudian meninggal dunia.
Lukas Enembe, mantan Gubernur Papua, mungkin adalah nama paling mencolok dalam daftar panjang itu. Ia meninggal di rumah tahanan pada akhir 2023, sebelum seluruh dakwaan terhadapnya selesai dibacakan. Tapi ia bukan yang pertama, dan bukan pula yang terakhir.
Fenomena ini membentang lebih luas dari sekadar data. Ada luka kolektif, kegamangan moral, dan sistem sosial-politik yang begitu berat, sehingga banyak pejabat yang keluar dari penjara hanya untuk masuk ke kuburan. Ironis memang!
Para mantan pejabat ini, dulunya adalah penguasa anggaran miliaran hingga triliunan rupiah. Mereka menandatangani proyek besar, membuka jalan-jalan baru, membangun kantor megah, hingga naik pesawat jet untuk rapat di Jakarta.
Tapi semua itu berubah drastis saat vonis dijatuhkan. Menurut Dr. Alfons Rumaseuw, psikolog klinis dari Papua, tekanan mental setelah penahanan bukan hanya menghancurkan kepercayaan diri, tapi juga mematikan daya dan semangat hidup.
“Penjara fisik bisa selesai. Tapi penjara sosial dan mental setelahnya, itu yang membunuh pelan-pelan,” ujarnya.
Rasa malu yang mendalam, kehilangan harga diri, dijauhi komunitas, hingga merasa tidak lagi berguna, itulah beban yang sering tidak dibicarakan dalam laporan pengadilan. Tapi sangat nyata dalam hidup para mantan narapidana korupsi.
Terbuang, Mati secara Ekonomi dan Hidup dalam Utang
Di Papua, martabat dan nama baik adalah warisan termahal. Saat seseorang jatuh karena korupsi, bukan hanya dia yang menerima hukuman. Keluarga besar, klan/marga/fam, bahkan suku, ikut menanggung aibnya.
Menurut Yakob Waromi, antropolog dari Universitas Cenderawasih, budaya kolektivisme di Papua membuat satu kesalahan menjadi luka komunal. “Dalam masyarakat Papua, kehormatan lebih penting daripada kekayaan. Sekali rusak, susah pulih,” katanya.
Tak sedikit mantan narapidana korupsi yang tidak diterima kembali di kampungnya. Beberapa hidup terasing, terputus dari akar sosialnya, dan tidak sedikit yang mengakhiri hari-hari mereka dalam kesepian.
Korupsi tidak murah. Selain vonis dan denda yang tinggi, proses hukumnya juga menyedot harta pribadi. Banyak pejabat yang keluarganya menjual tanah, rumah, hingga kebun untuk membayar pengacara atau menutupi tuntutan pengembalian kerugian negara.
Begitu keluar dari penjara, mereka kehilangan segalanya: gaji, fasilitas, kekuasaan, dan jaringan. Di Papua, di mana kesempatan kerja formal terbatas, mantan narapidana korupsi hampir tidak punya peluang lagi.
“Mereka keluar dalam kondisi bangkrut, tidak punya pekerjaan, tidak diterima secara sosial. Mau hidup dari mana?” tanya seorang tokoh masyarakat di Timika.
Politik Tak Beri Ampu, Dari Korupsi ke Disintegrasi
Sistem hukum di Indonesia belum mengenal konsep reintegrasi sosial yang kuat. Apalagi bagi pelaku korupsi, yang secara moral sudah dicap sebagai pengkhianat rakyat, jelek dan endapat beragam stigma buruk lain.
Di Papua, ini diperparah oleh sistem politik lokal yang penuh intrik, dendam, dan saling sikut (baku sikat). Lanny Arobaya, peneliti HAM, menyebut sistem hukum Indonesia sebagai “penghukum yang tanpa pemulihan”.
“Yang dihukum secara hukum, dihukum lagi secara sosial. Ini bukan keadilan, ini pembinasaan,” tegasnya.
Namun, di balik kisah tragis para koruptor, ada tragedi yang lebih luas: matinya harapan jutaan rakyat Papua karena anggaran pembangunan diselewengkan.
Data menunjukkan besarnya kerugian akibat korupsi di Papua dari proyek fiktif, gratifikasi, hingga penggelembungan anggaran. Proyek Gereja Kingmi Mile 32 senilai Rp 46 miliar yang diselewengkan, atau dugaan dana fiktif Rp 1,2 triliun pada masa Lukas Enembe, hanyalah sebagian contoh dari banyak kasus lainnya.
Sementara itu, masyarakat Papua di kota hingga pedalaman masih susah berobat di rumah sakit, harus berjalan kaki berjam-jam untuk sekolah, minum dari air sungai yang keruh, dan tak pernah merasakan listrik menyala di malam hari.
Yang mereka lihat hanya papan proyek. Tapi bangunannya tidak pernah selesai.
Korupsi di Papua bukan hanya kejahatan keuangan. Tindakan ini memperdalam jurang ketimpangan, memicu konflik horizontal, dan melahirkan generasi muda yang sinis terhadap pemerintahan.
Ketika pemuda melihat bahwa koruptor tetap bisa hidup mewah, lalu dihormati meskipun sudah masuk penjara, nilai moral masyarakat ikut terkikis. Anak muda tidak lagi melihat integritas sebagai nilai penting. Mereka hanya ingin dapat bagian.
Lebih jauh, wilayah yang terpinggirkan karena distribusi anggaran yang timpang mulai menunjukkan kecemburuan sosial. Dalam jangka panjang, ini bisa melahirkan potensi disintegrasi, baik dalam bentuk konflik horizontal, atau aspirasi separatisme.
Harapan: Bukan dengan Mengubur, Tapi dengan Mengubah
Fenomena kematian para koruptor di Papua bukan sekadar nasib buruk atau hukuman Tuhan. Ini adalah cerminan dari sistem yang menghukum tanpa memulihkan. Mengecam tanpa memberi kesempatan kedua.
Jika Papua ingin keluar dari siklus ini, maka yang dibutuhkan bukan hanya penegakan hukum yang tegas, tapi juga sistem yang manusiawi. Karena itu dibutuhkan: pendampingan psikologis bagi mantan narapidana dan program reintegrasi sosial yang didukung adat dan agama.
Tidak hanya itu, diperlukan pendidikan nilai integritas bagi generasi muda, reformasi politik yang memutus balas dendam dan membuka ruang pemulihan, hingga perlunya pengawasan ketat dan partisipatif terhadap pengelolaan anggaran daerah.
Karena yang lebih menyakitkan dari korupsi, adalah kehilangan harapan. Dan terlalu banyak harapan rakyat Papua yang sudah dicuri, bahkan sebelum mereka sempat bermimpi.
Mungkin para koruptor memang bersalah. Tapi mereka tetap manusia. Di balik mereka, ada anak-anak yang menjadi yatim, istri yang menjadi janda, keluarga yang tidak pernah lagi bisa menegakkan kepala.
Karena itu, memberantas korupsi adalah keharusan. Tapi harus dengan keadilan, bukan dengan kehancuran.
(*) Nikodemus Kambu adalah penulis artikel ini. Dia adalah pensiunan guru SMA yang berdomisili di Amban, Manokwari dan ketua ketua Yayasan Wion Susai Papua.
