
Salah satu jenis noken khas Maybrat (doc: Mantah/Petarung)
SUARA guntur bergemuruh di langit, memecah keheningan sore itu. Kilatan cahaya bersahutan di cakrawala, seolah alam sedang menurunkan tanda bahwa segala aktivitas mesti berhenti, memberi ruang bagi malam untuk mengambil alih.
Dalam hujan yang jatuh perlahan, saya melangkah dengan payung sebagai atap sementara, menapaki jalan menuju rumah keluarga Herman A. Assem di Kampung Susumuk, Distrik Aifat, Kabupaten Maybrat, Papua Barat Daya, pada Sabtu, 4 Oktober 2025.
Di beranda rumah sederhana itu, saya disambut Mama Alince Jitmau. Senyum lembutnya menyambut tamu di tengah hawa dingin pegunungan karts Maybrat. Pandangan saya tertuju pada tangannya yang lincah menganyam seutas serat kulit kayu, membentuk Noken tradisional Maybrat.
Bahan dasarnya dari kulit kayu yang disebut biyek dalam bahasa Maybrat. Jenis kulit kayu ini sering digunakan untuk menganyam noken dan anyaman lain. Noken hanya dapat dianyam oleh tangan-tangan yang sabar dan hati yang tekun.
Percakapan kami mengalir pelan, seperti arus kali Susumuk yang tenang. Ia menjelaskan proses pembuatan Noken dari kayu biyek, sebuah ritual yang menuntut kesetiaan pada alam:
“Kitong kalo anyam noken, cukup lama, sekitar lima hari,” tutur Mama Alince lembut. “Pohon biyek biasa ditebang, kulitnya dikupas terus direndam di kali selama seminggu. Setelah dijemur hingga kering, barulah bisa mulai dirajut.”
Dari cerita itu, tersirat ketekunan yang nyaris seperti doa. Namun di balik kesabaran itu, tersimpan pula rasa kehilangan yang dalam. Ia bercerita bagaimana Noken dari kulit kayu kini perlahan menghilang, digantikan bahan-bahan praktis dari luar. Bahkan, Noken Ayam yang dulu menjadi kebanggaan Susumuk, kini sudah sulit ditemukan.
Ia menyebut nama-nama perempuan tangguh yang dulu menjaga seni ini: Dorce Iek, Agustina Asmuruf, Anace Asmuruf, Yakomina Kaitana, Dorthea Atanay, Katerina Ibiah, Sarce Tahrin, dan Aksamina Atanay.
“Sebagian besar sudah tidak ada,” katanya lirih. “Dorang itu pergi bawa semua pengetahuan menganyam Noken Maybrat.”
Ketahanan Noken yang dibuat dengan cara tradisional sungguh luar biasa. Yang besar untuk memikul hasil kebun bisa bertahan hingga dua tahun. Sedangkan yang kecil, untuk perhiasan, bisa awet sampai lima tahun.
Masih menurutnya, ada empat jenis anyaman (matie) dalam bahasa Maybrat: Arkot, Abat Wayer, Abatigior, dan Yumasu (Abatati). Ia sendiri baru menguasai dua: Abat Wayer dan Yumase, dan yang sedang ia rajut sore itu adalah Abat Wayer.
Namun kini, zaman bergerak cepat, dan ironi budaya pun muncul. Karung plastik yang murah dan mudah didapat telah menggantikan kulit kayu biyek.
“Kalau pakai karung, Noken-nya bisa jadi dalam tiga jam,” kata Mama Alince.
Kepraktisan menjadi alasan. Tapi di balik kecepatan itu, terkandung kehilangan yang tak kasat mata. Banyak anak muda lebih memilih Noken Karung, tanpa sadar bahwa pilihan itu perlahan menghapus jejak leluhur mereka sendiri.
Modernitas menawarkan kenyamanan, tapi juga menuntut bayaran: warisan budaya yang mulai terpinggirkan. Kecepatan menyingkirkan kesabaran; kemudahan mengalahkan makna.
Namun suara Mama Alince mengeras, seperti bara yang menolak padam.
“Walaupun sekarang dunia sudah modern, saya akan tetap menganyam Noken dari kulit kayu. Ini warisan budaya Maybrat yang harus dijaga. Noken bukan sekadar tas; ini adalah sejarah, identitas, dan martabat kami.”
Kisah Mama Alince Jitmau bukan sekadar tentang keahlian tangan, melainkan tentang keteguhan hati. Noken baginya bukan benda, melainkan doa yang dirajut.
Ia mewakili filosofi hidup orang Maybrat tentang kesabaran, harmoni dengan alam, dan tentang ketahanan menghadapi waktu.
Di tengah gempuran dunia modern yang menjanjikan “jalan pintas,” bertahan dengan tradisi menjadi bentuk perlawanan yang sunyi, tapi penuh makna.
Sebuah tindakan filosofis sekaligus politis: menegaskan bahwa identitas lebih berharga daripada kecepatan, bahwa akar budaya lebih kuat daripada gemerlap kemudahan sesaat.
Noken dari kulit kayu bukan hanya anyaman. Ini adalah jangkar budaya. Jangkar yang menjaga jati diri Maybrat agar tak hanyut dalam arus deras modernitas.
Inilah kisah tentang serat-serat yang menolak lupa, tentang perempuan yang menenun bukan hanya Noken, tetapi juga menenun kehidupan dan sejarah bangsanya sendiri.
(*) Imanuel Tahrin adalah penulis kisah ini. Dia adalah aktivis lingkungan, pemerhati budaya dan pendiri komunitas Peduli Tata Ruang (Petarung) Papua yang berbasis di Kampung Susumuk, Aifat, Maybrat, PBD.