Gambar ilustrasi seorang Mama Papua dan kedua anaknya saat berjualan pinang dan sayur di tepi jalan (Chat GPT/wenebuletin)
SEBELUM mengenal uang kertas, masyarakat asli Papua (OAP) di Sentani, seperti banyak komunitas tradisional lainnya, mengandalkan sistem barter. Pertukaran barang seperti keladi, ubi, sagu, dan kasbi (singkong) dengan sayuran, ikan, daging dan lain-lain, bukan hanya memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga mempererat tali persaudaraan.
Selain barter, penggunaan kulit bia juga berfungsi sebagai alat tukar, meskipun penggunaannya terbatas pada kalangan “orang besar” atau kepala suku, menunjukkan adanya struktur sosial dalam ekonomi tradisional mereka. Namun, kedatangan uang kertas secara bertahap menggeser sistem barter, meskipun di beberapa wilayah Pegunungan Papua, penggunaan kulit bia masih bertahan hingga kini.
Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, Papua, adalah rumah bagi penduduk asli suku Sentani dengan marga seperti Ongge, Yoku, Eluay, dab lain-lain. Orang Sentani yang hidup di pinggiran danau Sentani, sebagian penduduknya masih menerapkan cara hidup meramu, memanfaatkan danau dan sungai-sungai sekitar yang menopangnya sebagai sumber kehidupan.
Sebagian orang Sentani bermukim di area yang kurang ideal untuk pemukiman modern, dengan mata pencaharian utama sebagai nelayan, pengumpul sagu, berkebun, menanam pohon pinang, membuat anyaman, mengukir, dan lain-lain. Sementara orang Papua lain yang menetap di wilayah Sentani dari wilayah pegunungan seperti dari suku Lani, Moni, Nduga, Mee dan Oksibil, memilih bermukim di kaki Gunung Cycloop (Dafonsoro).
Para pemukim dari wilayah Pegunungan Papua ini umumnya bergantung pada sistem pertanian perladangan berpindah (shifting cultivation) yang tergolong tidak ramah lingkungan karena merambah hutan. Dengan hasil bumi seperti sayuran dan umbi-umbian, menjadi komoditas utama yang dijual di pasar maupun dikonsumsi.
Dalam siklus ekonomi sub sistem seperti ini, Mama-mama Papua telah menjadi bagian terpenting di dalamnya. Mereka tidak hanya terlibat dalam membuka lahan kebun, menanam, merawat dan memanen hasilnya, tetapi juga menjaga relasi social ekonomi dan budaya yang terkandung di dalam sistem ekonomi subsistem ini.
Tantangan Mama-Mama Papua di Pasar
“Mama Papua” atau sebutan untuk Perempuan Papua dewasa yang sudah berkeluarga (menikah) atau belum, memegang peran sentral dalam perekonomian keluarga mereka melalui aktivitas berdagang secara tradisional. Mereka menjadi penghubung antara corak produksi dalam kehidupan masyarakat sub sistem Papua dengan pasar tradisional maupun modern dalam kehidupan sehari-hari.
Di wilayah Sentani, Kabupaten Jayapura, mama-mama Papua seringkali menghadapi berbagai tantangan signifikan di sejumlah pasar seperti; Pasar Baru, Pasar Sore Sosial Sentani, dan Pasar Lama. Berikut ini akan dijelaskan sejumlah tantangan yang mereka hadapi:
Pertama, Persaingan Ketat. Salah satu masalah utama adalah persaingan yang semakin ketat dalam sistem ekonomi tradisional vs modern. Data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Papua menunjukkan bahwa jumlah pedagang non-OAP yang menjual komoditas serupa, seperti pinang dan sayuran, terus meningkat.
Misalnya, laporan tahunan 2023 menunjukkan bahwa proporsi pedagang non-OAP (migran) di pasar-pasar Sentani telah mencapai sekitar 60-70% untuk beberapa jenis komoditas. Situasi ini tentu saja mengurangi pangsa pasar bagi mama-mama Papua.
Kedua, Infrastruktur Pasar yang Kurang Memadai. Banyak mama-mama Papua yang terpaksa berjualan di tempat yang tidak layak atau berjualan dengan beralaskan karung, karton atau daun pisang. Contohnya, pasar di depan Jalan Sosial Taruna Sentani yang terletak persis di pinggir jalan.
Kondisi ini bukan hanya tidak nyaman oleh kepulan debu kendaraan, terik matahari yang menyengat, guyuran hujan yang menerpa sehingga mengganggu kebersihan dan kesehatan komditas jualan. Tetapi juga rentan terhadap kerusakan barang dagangan.
Menurut survei informal oleh kelompok masyarakat adat pada awal 2024, sekitar 40% pedagang OAP di Sentani masih berjualan di lokasi yang tidak memiliki fasilitas dasar seperti atap, toilet, dan area parkir yang memadai. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan!
Ketiga, Pendapatan Minim dan Ketidakpastian. Akibat persaingan dan kondisi pasar yang buruk, hasil penjualan seringkali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Banyak Mama Papua harus pulang dengan noken (tas tradisional Papua) yang masih penuh barang dagangan yang tidak terjual atau tidak laku.
Kondisi demikian misalnya sering dikeluhkan mama Anena Karunggi, seorang mama pedagang tradisional di Sentani. Dalam suatu kesempatan saat berbincang, mama Anena mengatakan: “Jualan sekarang sangat susah, orang-orang pendatang ini ambil hak kami, jadi susah sekali untuk dapat uang.”
Ini mencerminkan perasaan terpinggirkan di tengah modernisasi ekonomi karena pengambil alihan komoditas jualan yang biasanya dijual mama-mama Papua oleh pedagang migran.
Keempat, Akses dan Produktivitas Kebun. Untuk mengatasi keterbatasan ini, Mama-mama Papua seringkali harus bangun subuh dan pergi ke kebun, baik di area kaki Gunung Cycloop maupun di area Abe Pantai, Nafri dan tempat lain.
Lokasi Nafri, yang terletak antara Koya dan Abe Pantai (Kota Jayapura), memiliki tantangan tersendiri seperti cuaca terik dan tanah gersang (kekeringan), sehingga mengharuskan mereka bekerja di pagi dan sore hari, serta ketergantungan pada air hujan untuk irigasi alami.
Meskipun demikian, hasil kebun berupa pinang, sayuran, jagung, dan umbi-umbian menjadi modal penting untuk kelangsungan hidup keluarga. Namun, hasil panen ini seringkali tidak terjual habis di pasar-pasar terdekat seperti Pasar Youtefa Abepura dan Pasar Baru Otonom sehingga harus dibawa pulang.
Melindungi Jati Diri dan Sumber Daya Alam Papua
Potret kehidupan Mama-mama Papua di Sentani ini lebih dari sekadar cerita pilu. Ini adalah cerminan perjuangan untuk bertahan hidup dan menjaga identitas di tengah arus modernisasi. Kehidupan OAP sangat terikat dengan tanah, hutan, dusun, sungai, danau dan laut (untuk orang Papua pesisir).
Seperti yang diungkapkan, “Sa punya jantung, ko punya jantung ada di Hutan (Tanah).” Namun ancaman terhadap keberadaan OAP dan budaya mereka seringkali berbarengan dengan eksploitasi sumber daya alam.
Keberadaan korporasi perkebunan sawit, logging, pertambangan minyak dan gas di Sorong dan Bintuni, tambang nikel di Raja Ampat, dan keberadaan PT Freeport Indonesia di Timika yang menjadi perbincangan serius di media, menunjukkan bagaimana sumber daya alam Papua seringkali menjadi fokus eksploitasi. Tapi tidak mempertimbangkan dampak sosial dan budaya terhadap masyarakat adat.
Penting bagi kita untuk menjaga dan merawat jati diri orang asli Papua, hak-hak adat, martabat, dan nilai-nilai moral mereka. Ini adalah kunci untuk memastikan bahwa pembangunan di Tanah Papua berlangsung secara berkelanjutan dan berkeadilan. Tanpa mengorbankan masyarakat adat dan lingkungan alam mereka yang telah ada selama ribuan tahun.
(*) Wambini Tapu adalah penulis artikel ini. Ia adalah aktivis Forum Independen Mahasiswa (FIM) West Papua yang tinggal di Sentani, Jayapura, Papua.
