
Patung Theofani di Kampung Kayahai, Maybrat, Papua Barat Daya (doc : ist)
DI bawah langit Sorong yang mulai membara pada Selasa, 14 Oktober 2025, pukul 10.47 waktu Papua, siang hari terasa menyengat seperti pedang api yang tak kenal ampun.
Cahaya matahari yang tak tertahankan menyinari hamparan tanah kering. Sementara kabut tipis melayang, setipis bayang iman yang seringkali kita jalani. Rapuh, hampir tak terlihat, namun tetap menjadi jangkar jiwa.
Di tengah panas yang membakar kulit, peringatan Hari Ulang Tahun ke-74 peristiwa Theofani muncul sebagai oase refleksi. Sebuah panggilan mendalam bagi generasi Papua, khususnya suku Maybrat, untuk menyelami akar spiritual Kristiani yang telah lama tertanam di tanah leluhur mereka.
Saat duduk merenung di bawah pohon rindang, seekor burung merpati tiba-tiba hinggap dekatku. Sayapnya yang lembut dan anggun, seolah membawa pesan dari surga. Memperkenalkan diri dalam diam yang penuh makna.
Panas terik itu bukan sekadar siksaan fisik. Ini adalah metafora yang menyakitkan, menggambarkan bagaimana pesan Theofani, wahyu ilahi yang pernah menyinari Bumi A3-Maybrat kini terancam memudar, ditelan gemerlap dunia modern dan arus waktu yang tak kenal lelah.
Melalui hembusan angin digital, berita online, Facebook, Instagram, dan TikTok, pesan selamat peringatan ke-74 itu berulang kali muncul. Disuarakan oleh Generasi Maybrat, seperti gema yang enggan hilang, mengingatkan kita pada akar yang tak boleh terlupakan.
Dari sejarahnya, pesan inti Theofani itu disampaikan melalui hamba Tuhan, Bapak Ruben Rumbiak, seorang penginjil dari suku Biak yang diutus Ilahi untuk memberkati suku Maybrat (atau disebut juga suku A3) di wilayah pedalaman Kepala Burung Papua melalui kasih yang tulus.
Konon, peristiwa Theofani diyakini sebagai penampakan atau wahyu ilahi bagi suku Maybrat di Papua Barat Daya, terjadi pada 21 Oktober 1951 di Kampung Kayahai, Distrik Ayamaru Timur, Maybrat.
Ini adalah momen kunci dalam sejarah spiritual suku Maybrat, di mana Tuhan menyampaikan janji berkat melalui hamba-Nya, Ruben Rumbiak. Wahyu tersebut menekankan nilai-nilai luhur seperti pentingnya menjaga kesatuan, kerendahan hati, kasih, dan kehormatan, serta visi bahwa pemuda-pemudi dari wilayah A3 (Ayamaru, Aitinyo, dan Aifat) akan menjadi pembangun masa depan tanah New Guinea.
Ruben Rumbiak (juga disebut Bais Ruben Rumbiak atau Rasul Ruben Rumbiak) adalah seorang guru Injil dan pendeta dari Biak yang diutus untuk melayani di wilayah Maybrat. Ia tiba di daerah A3 pada Mei 1951, sekitar lima bulan sebelum peristiwa Theofani.
Pelayanannya difokuskan pada penyebaran Injil, pendidikan rohani, dan pemberdayaan masyarakat lokal di Ayamaru, Aitinyo, dan Aifat (A3). Sebagai zendeling era pascakolonial, Rumbiak meringkas ajaran Alkitab menjadi prinsip-prinsip sederhana yang relevan dengan budaya Maybrat, seperti meringkas Sepuluh Hukum Taurat menjadi empat nilai utama: kesatuan, kerendahan hati, kasih, dan kekeluargaan.
Pelayanannya tidak terbatas pada Theofani. Ia melanjutkan misi spiritual dan sosial-budaya, membawa misi Injil ke masyarakat Maybrat yang saat itu masih dipengaruhi oleh tradisi lokal dan transisi pasca-kolonial Belanda.
Rumbiak dianggap sebagai “rasul” atau utusan Tuhan yang memberkati suku Maybrat, dan pelayanannya membentuk fondasi gereja-gereja seperti GKI Ruben di Klasis Ayamaru. Walaupun begitu, Ruben Rumbiak sebenarnya bukan orang pertama yang membawa injil Kristen ke tanah Maybrat.
Warisan Theofani
Peristiwa Theofani ini diperingati setiap tahun pada 21 Oktober sebagai hari libur resmi di wilayah A3 (Maybrat) dan telah dirayakan hingga edisi ke-74 pada 2025.
Ini bukan hanya peristiwa teologis, tapi juga monumen sejarah yang diabadikan di Taman Theofani, situs wahyu di Kayahai.
Visi Theofani saat itu disampaikan kepada Rumbiak untuk diteruskan kepada tokoh-tokoh lokal seperti Abraham Kambuaya, Simon Isir, Piter Howay, Markus Solosa, dan Habel Tamunete, menjanjikan berkat turun-temurun jika nilai-nilai tersebut dijaga.
Peristiwa ini mencerminkan konteks sejarah Papua Barat pada 1950-an, di mana Injil menyebar di tengah aspirasi kemerdekaan dan pengaruh colonial Belanda.
Pelayanan Rumbiak di Maybrat berlangsung setidaknya hingga awal 1950-an, meskipun detail akhir pelayanannya tidak banyak tercatat, karena fokus utama adalah warisan Theofani yang terus dirayakan.
Theofani, adalah istilah teologi yang lahir dari bahasa Yunani kuno, Theophania, gabungan Theos (Θεός), yang berarti Elohim atau Allah, dan Phanero (φανερόω), yang menyiratkan penampakan atau pemahaman diri, merupakan manifestasi kehadiran Tuhan yang nyata.
Sejarah Alkitab, seperti sungai abadi yang mengalir melalui zaman, mencatat bagaimana Tuhan (Elohim) menampakkan diri dan berfirman langsung. Bukan untuk memamerkan keagungan semata, melainkan untuk menanam keyakinan mendalam: bahwa Ia ada, Ia hadir, dan Ia menyertai umat-Nya dalam setiap hembusan angin dan detak jantung.
Siapa yang tak teringat kisah Abraham, di mana Tuhan menampakkan diri di bawah pohon tarbantin Mamre, saat hari panas terik menyengat? Kitab Kejadian 18:1-3 melukiskan momen itu dengan indah:
“Kemudian TUHAN menampakkan diri kepada Abraham dekat pohon tarbantin di Mamre, sedang ia duduk di pintu kemahnya waktu hari panas terik. Ketika ia mengangkat mukanya, ia melihat tiga orang berdiri di depannya. Sesudah dilihatnya mereka, ia berlari dari pintu kemahnya menyongsong mereka, lalu sujudlah ia sampai ke tanah, serta berkata: ‘Tuanku, jika aku telah mendapat kasih tuanku, janganlah kiranya lampaui hambamu ini.’”
Di sini, penampakan bukanlah peristiwa dingin. Ini adalah undangan intim, panggilan untuk kerendahan hati yang melahirkan berkat.
Atau ingatlah pergumulan Yakub dengan Elohim, yang diakhiri dengan nama baru yang melambangkan transformasi: Kejadian 32:28-30 berbisik:
“Lalu kata orang itu: ‘Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang.’ Bertanyalah Yakub: ‘Katakanlah juga namamu.’ Tetapi sahutnya: ‘Mengapa engkau menanyakan namamu?’ Lalu diberkatinyalah Yakub di situ. Yakub menamai tempat itu Pniel, sebab katanya: ‘Aku telah melihat Allah berhadapan muka, tetapi nyawaku tertolong!’”
Elohim sering memilih individu tertentu untuk tujuan ilahi, menabur benih iman yang akan tumbuh menjadi pohon kehidupan bagi generasi.
Sebagai generasi Maybrat yang telah merangkul Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, kita dipanggil untuk meyakini bahwa Theofani bagi Ruben Rumbiak adalah kehadiran Tuhan yang hidup di Bumi Maybrat atau A3 (Ayamaru, Aitinyo, dan Aifat). Sebuah tanah yang subur bukan hanya oleh alam, tapi oleh janji surgawi.
Ini adalah penampakan Elohim kepada hamba-Nya, disertai maklumat yang bergema seperti guntur di pegunungan:
“Doa syukur kepada Allah Khalik alam semesta, karena janji mengenai Ayamaru, Aitinyo dan Aifat bahwa pemuda-pemudanya nanti 10 tahun, 15 tahun, 25 tahun, dan 30 tahun. Pemuda-pemudi di daerah Ayamaru, Aitinyo dan Aifat akan menjadi manusia-manusia pembangun di New Guinea. Aku adalah Alfa dan Omega, menyampaikan kepada hamba-Ku Ruben Rumbiak, menyampaikan kepada Abraham Kambuaya, Simon Isir, Piter Howay, Markus Solosa, dan Habel Tamunete. Peliharalah Kesatuan, Kerendahan Hati, Kasih dan Kehormatan Kepada Semua Orang, karunia tetap menyertai turun-temurun. Damai sejahtera Kristus tetap memberkati kamu, amin rohku pun berkata amin, sabda-Mu benar.” (Kambuaya, 21 Oktober 1951).
Penampakan itu, seperti yang diceritakan dalam resensi buku Qua Vadis Theofani: Tuhan dengan Orang A3 karya Hamah Sagrim, ST. (diresensikan oleh Petarung.org), dan Janji Allah bagi Tanah Maybrat karya Prof. Dr. Berth Kambuaya, MBA., adalah wahyu yang tak lekang waktu.
Pesan akhirnya menegaskan bahwa karunia ini bersifat kondisional, seperti sungai yang mengalir deras hanya jika sumbernya dijaga: ia harus dihidupi, bukan sekadar dihafal. Kuncinya: Kesatuan, Kerendahan Hati, Kasih, dan Kehormatan kepada Semua Orang, adalah pilar yang kokoh, fondasi untuk warisan turun-temurun.
Quovadis Manusia Maybrat dan Tanah Leluhur
Di tengah romatisme sejarah, eforia spirit primordialisme orang Maybrat sebagai subjek penerima visi Theofani dan gemerlap kemajuan, pesan Theofani ini kini seolah meredup menjadi sekedar peringatan tahunan.
Ritual kosong yang gagal diterjemahkan ke dalam napas kehidupan manusia Maybrat di tanah leluhur mereka sehari-hari atau mereka yang hidup di perantauan.
Jika mengurai fakta hari ini, maka sejak pemekaran Kabupaten Maybrat pada 2009, suku ini justru terperangkap dalam perpecahan yang menyayat jiwa. Situasi ini seperti retakan di batu karang yang dulu tak tergoyahkan.
Kontestasi politik lokal seperti Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), aspirasi pemekaran distrik (kecamatan), kampung (desa), politik dana kampung, proyek pembangunan dan lain-lain, telah merobek tatanan sosial orang Maybrat yang telah kokoh sejak lama.
Tak jarang, kontestasi politik Pemilukada justru sering menyulut konflik fisik, pembunuhan, pembakaran rumah-rumah warga dalam amarah buta dan orang-orang diusir dari tanah leluhur.
Perpecahan pun merayap dari kampung ke distrik, ke dalam rumah dengan memecahkan hubungan keluarga dan sanak saudara, bahkan ironisnya merasuk ke dalam gereja yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan penjaga visi Theofani.
Adik melawan kakak, ibu berhadapan dengan anak, ayah bertentangan dengan istri, paman saling tikam atau ‘baku bunuh’ dengan keponakan dan seterusnya. Perebutan kekuasaan di birokrasi juga telah menelan korban, bahkan nyawa. Meninggalkan luka yang berdarah-darah di jantung komunitas.
Pesan agung itu “Peliharalah Kesatuan, Kerendahan Hati, Kasih dan Kehormatan Kepada Semua Orang” kini membeku seperti embun pagi yang lenyap di bawah matahari. Menjadi teks mati yang tak lagi bernyawa.
Penyebabnya adalah munculnya sikap-sikap egoisme dan ambisi yang merajalela di kalangan elit birokrasi dan politik, yang gagal menjaga api Theofani dengan tangan yang suci.
Dahulu orang Maybrat selalu dikenal sebagai masyarakat yang menari dalam kedamaian. Bersatu seperti akar-akar pohon sagu yang saling menguatkan, menyokong, penuh kasih dan saling menghargai.
Kini, nilai-nilai luhur itu bergeser pelan, terancam lenyap dari identitas suku A3 (Maybrat). Seperti daun yang gugur di musim hujan.
Masyarakat akar rumput, yang tetap setia dalam kebersamaan sederhana, tak bersalah; justru elitlah yang, dengan tangan mereka sendiri, merusak harmoni ini, benih-benih perpecahan yang ditaburkan secara diam-diam.
Padahal, kemajuan orang Maybrat saat ini di dunia politik dan birokrasi adalah buah dari “doa sulung” Ruben Rumbiak, hamba Tuhan dari suku Biak, yang dengan cinta tulus memberkati tanah dan manusia Maybrat.
Terima kasih, Kamam Bapak Pendeta. Tanpa doamu, kami takkan mencapai visi ini. Engkau sungguh dipakai Tuhan Yesus sebagai saluran berkat yang tak ternilai.
Melalui peringatan ke-74 Theofani ini, marilah kita berubah menjadi cermin iman dan pembawa perubahan bagi generasi Maybrat dan generasi Papua. Sebuah panggilan untuk menghidupkan amanat itu, bukan membiarkannya membatu sebagai teks dingin.
Renungkanlah Firman Tuhan yang abadi: Tentang kerendahan hati dan kehormatan, Amsal 15:33 berbisik, “Takut akan TUHAN adalah didikan yang mendatangkan hikmat, dan kerendahan hati mendahului kehormatan.” Tentang kesatuan dan kasih, Efesus 4:2-3 menasihati, “dengan segala kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran.
Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu. Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera.” Dan tentang berkat turun-temurun, Mazmur 112:1-2 menyanyi, “Haleluya! Berbahagialah orang yang takut akan TUHAN, yang sangat suka kepada segala perintah-Nya.
Anak cucunya akan perkasa di bumi; angkatan orang benar akan diberkati”, sebuah janji kondisional, di mana ketaatan melahirkan kemakmuran bagi penerus. Berkat Theofani akan mekar menjadi warisan abadi jika amanat itu dijalani. Jika diabaikan, ini akan berubah menjadi kutuk perpecahan yang menghantui.
Selamat merayakan HUT ke-74 Theofani bagi suku A3 – Maybrat. Semoga moment ini menjadi fajar baru bagi iman kita.
(*) Imanuel Tahrin adalah penulis artikel ini. Dia adalah aktivis lingkungan, pemerhati budaya dan pendiri komunitas Peduli Tata Ruang (Petarung) Papua, yang berbasis di Kampung Susumuk, Maybrat.