
Gambar ilustrasi (doc: wenebuletin)
“…Bersinar terang di antara rintik gerimis, cahaya alam meneteskan semangat kepada setiap makhluk hidup. Seakan-akan sinar itu adalah vitamin kehidupan: menjaga agar kita tetap bertahan, tetap hidup, dan tetap berharap…..
MINGGU sore, 28 September 2025, pukul 16.50 waktu Papua, kami duduk di sebuah cafe kecil di area Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Di meja, segelas es kelapa muda hadir sebagai teman percakapan.
Kesegarannya mengingatkan pada semangat muda dalam perjuangan, sebuah langkah awal untuk menempati ruang sederhana, namun sarat makna. Dari balik kaca cafe, tampak lalu-lalang orang yang keluar masuk seperti penumpang kereta di stasiun besar.
Setiap wajah membawa kisah, setiap langkah menandai perjalanan. Sementara itu, di layar telepon genggam, pertandingan sepak bola berlangsung: Persipura melawan Kendal Tornado FC, disiarkan langsung dari Stadion Lukas Enembe, Jayapura.
Sorak sorai penonton seolah menembus layar, berpadu dengan deru kendaraan di jalanan Kabupaten Sorong, salah satu kabupaten tertua di Sorong Raya. Kota bergerak cepat; pembangunan merambat ke setiap sisi.
Namun di balik hiruk-pikuk itu, ada cerita lain yang sering terlewat: ruang-ruang yang beralih fungsi, meninggalkan jejak yang tak lagi sama.
Kolam kangkung yang dulu menjadi pemandangan rumah, kini berganti bangunan permanen. Sawah kecil yang dulu ditanami padi perlahan hilang, digantikan pemukiman padat. Hutan sagu yang dulu memberi makan berubah menjadi jalan raya dan perumahan.
Air sungai (kali) yang dulu jernih kini menjadi tempat pembuangan sampah. Bahkan, daerah yang dahulu tak pernah kebanjiran, kini justru digenangi air dikala hujan menerpa.
Perubahan ruang ini bukan sekadar soal fisik, melainkan soal makna: ruang budaya yang tergerus modernisasi.
Modernisasi, Pembangunan, dan Krisis Ruang Adat
Pembangunan memang membawa kemajuan: jalan terbuka, listrik masuk desa, gedung-gedung berdiri, dan ekonomi menjanjikan harapan. Tetapi kita perlu bertanya: apa yang tersisa bagi masyarakat adat ketika ruang hidup mereka semakin menyempit?
Bagi masyarakat adat Moi, tanah bukan sekadar lahan ekonomi. Tanah adalah identitas, sejarah, dan jati diri. Tanah adat adalah “arkib budaya” yang menyimpan jejak leluhur, ritual, dan sistem pengetahuan ekologis.
Ketika tanah adat dijual atau beralih fungsi, ruang hidup ikut menyusut. Pelan-pelan, masyarakat adat tersisih dari tanah kelahirannya sendiri.
Pertanyaannya, jika tanah marga kian menyempit, apa arti sebuah marga tanpa tanah adatnya? Bagaimana generasi mendatang bisa membangun rumah, merawat kebun, atau menjaga hutan sagu jika tanah itu sudah berubah menjadi deretan perumahan, pusat perbelanjaan, atau perkantoran?
Di tanah Papua, tanah dan marga adalah satu kesatuan. Tanpa tanah, marga kehilangan napas sejarahnya. Fenomena ini sejalan dengan apa yang dikritik David Harvey dalam The Condition of Postmodernity (1989): pembangunan kapitalistik cenderung mengorbankan ruang-ruang sosial dan budaya demi logika pasar.
Ruang adat, yang sebelumnya berbasis komunal, dipaksa masuk ke dalam pasar tanah modern. Inilah yang disebut Harvey sebagai “akumulasi melalui perampasan” (accumulation by dispossession).
Dulu orang berkata: “Di sini ada dusun sagu, tempat masyarakat berkumpul, berbagi, dan hidup dari hasil bumi.” Kini, kisah itu tinggal kenangan, sebab dusun sagu telah digantikan kompleks perumahan.
Tradisi yang melekat pada ruang budaya berganti dengan konstruksi beton. Sagu, yang oleh banyak peneliti disebut sebagai “pohon kehidupan Papua,” kini hanya menyisakan nama dalam cerita rakyat dan simbol budaya.
Menurut penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN, 2023), Papua kehilangan lebih dari 30% kawasan sagu dalam tiga dekade terakhir akibat konversi lahan untuk infrastruktur, perkebunan sawit, dan pemukiman. Jika tren ini berlanjut, sagu sebagai pangan lokal bisa punah dari meja makan masyarakat adat.
Di titik inilah kita melihat paradoks pembangunan: modernisasi yang dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup justru merampas sumber kehidupan.
Pembangunan Berbasis Budaya, Menjada Akar dan Masa Depan
Pemanfaatan ruang berbasis budaya menjadi mendesak. Ruang adat bukan hanya harus dipertahankan, tetapi juga dihidupkan kembali melalui kebijakan pembangunan yang berpihak pada kearifan lokal.
Lahan sagu, misalnya, bisa dijadikan kawasan konservasi pangan berbasis budaya. Tanah adat dapat difungsikan sebagai pusat belajar komunitas. Ruang publik bisa dibangun dengan arsitektur khas Papua yang merefleksikan nilai adat.
Pendekatan ini selaras dengan gagasan pembangunan berkelanjutan ala Amartya Sen (Development as Freedom, 1999): pembangunan sejati adalah perluasan kebebasan manusia, bukan sekadar peningkatan infrastruktur. Jika pembangunan justru mempersempit ruang hidup masyarakat adat, maka pembangunan itu gagal mencapai tujuannya.
Lebih jauh, konsep “ekologi politik” dari Arturo Escobar (Encountering Development, 1995) juga relevan. Escobar mengkritik pembangunan yang hanya mengandalkan ukuran pertumbuhan ekonomi, sementara menyingkirkan praktik dan pengetahuan lokal.
Dengan memulihkan ruang budaya masyarakat adat, pembangunan dapat menjadi lebih adil, berkelanjutan, dan berakar pada identitas.
Karena itu. esai ini ingin mengingatkan: pembangunan memang penting, tetapi jangan sampai mengorbankan akar budaya yang telah menghidupi masyarakat selama ratusan tahun. Sebab tanpa budaya, pembangunan hanyalah deretan bangunan kosong tanpa jiwa.
Ruang, bagi masyarakat Moi, adalah tubuh budaya itu sendiri. Bila tubuh itu dikoyak, maka luka yang ditinggalkan akan diwariskan pada generasi mendatang. Jadi tanggung jawab kita bersama adalah merawat ruang adat. bukan sekadar sebagai warisan masa lalu, tetapi sebagai fondasi masa depan yang berkeadilan.
(*) Imanuel Tahrin adalah penulis kisah ini. Dia adalah aktivis lingkungan, pemerhati budaya dan pendiri komunitas Peduli Tata Ruang (Petarung) Papua yang berbasis di Kampung Susumuk, Aifat, Maybrat, PBD.