
Aktivitas berkebun menanam kacang tanah warga Kampung Susumuk, Distrik Aifat, Maybrat (doc: Mantah/Petarung)
SIANG itu, teduh adalah kata yang paling tepat melukiskan suasana. Langit biru jernih, bentangan atap nirwana, menjadi saksi abadi bagi setiap denyut kehidupan di Kampung Susumuk Raya, Distrik Aifat, Maybrat, Papua Barat Daya.
Pada hari Sabtu, 27 September 2025, pukul 10.29 waktu Papua, sebuah janji komunal kembali ditepati. Kami memulai ziarah kecil menuju Wirie.
Perjalanan diawali di atas pita hitam aspal yang datar, namun keakraban sejati dengan Tanah Karst baru dimulai ketika kami membelok tajam di Kampung Tahahite. Di sana, kehalusan aspal usai sudah.
Kami disambut oleh tantangan yang jujur: jalan setapak berkelok, penuh turunan terjal dan tanjakan menantang, sebuah labirin dari tanah kuning lembab yang berlumut. Di sekeliling kami, hutan khas tanah berbatuan kapur (karts) berdiri gagah, memamerkan keunikan arsitektur alamnya.
Pohon-pohon purba yang kami kenal dalam bahasa Maybrat seperti merie, kau, siayah, dan fangkes menaungi kami. Sementara karpet hijau rumput khas Maybrat yang disebut bomira membentang rendah, bersama aneka tumbuhan endemik yang khas.
Kami meninggalkan jejak pemukiman di belakang, mengarahkan langkah menuju ke dalam inti hutan, menuju jantung penghidupan.
Setelah memarkir motor di pagar batas kebun, atau yang dalam bahasa Maybrat disebut ana, kami melanjutkan perjalanan kaki. Bersama Bapak Keliopas Atanay sebagai pemandu, kami menyusuri jalur setapak itu selama lima belas menit, sebuah meditasi singkat menuju destinasi. Akhirnya, kami tiba di Wirie.
Wirie adalah sebuah nama yang bukan sekadar sebidang tanah. Ini adalah jantung komunal masyarakat Susumuk Raya. Wirie adalah kebun kacang tanah seluas dua hektar, tempat di mana masyarakat dari enam kampung berkumpul.
Dalam bahasa Maybrat, dan juga dalam resonansinya dengan bahasa Indonesia, Wirie memancarkan satu makna tunggal yang kokoh: kebersamaan (kolektifitas dan persaudaraan), sebuah warisan yang terjalin turun-temurun, tak lapuk oleh waktu.
Ritme Tanam, Janji yang Terukir
Aktivitas menanam kacang tanah di Wirie telah menjelma menjadi sebuah ritual agraris. Canda tawa riuh membahana di seantero ladang, memantul dari pepohonan, menciptakan suasana yang semarak, laksana sorak sorai persatuan di stadion raksasa.
Sekitar 500 pasang tangan bahu-membahu, menyatu dalam irama kerja. Ada yang cekatan menjulurkan kayu penikam yang mereka sebut Soko, untuk menciptakan lubang-lubang kecil. Ada pula yang dengan kehati-hatian mistis memasukkan benih kacang ke dalamnya. Di sudut lain, beberapa orang sibuk memukul kayu kecil untuk membuat petak tanam yang presisi.
Gerakan ini dilakukan berulang-ulang, terorganisir dengan rapi, layaknya janji suci yang dipegang teguh. Persis seperti hati yang telah memberikan kepastian cinta yang takkan berubah arah.
Susunan kayu pembatas petak tanam pun tertata teratur, seolah mobil-mobil yang parkir rapi di pangkalan. Dalam setiap lubang dan setiap petak, persatuan dan kekompakan selalu dibangun dan dipelihara.
Di sela-sela denting kerja, diskusi mengalir deras. Ada yang serius merajut masa depan desa, ada pula yang berteriak menyemangati, melemparkan ‘mob’, semacam vitamin sosial yang menguatkan semangat juang para penanam.
Pembagian kerja berjalan harmonis: sebagian menanam, sebagian duduk beristirahat, lalu bergiliran, layaknya operator yang memutar musik dengan irama stabil, memastikan energi komunal tak pernah padam.
Lahan kebun kacang ini diwarisi oleh lima belas keluarga. Di tepian kebun, pohon pinang hutan melambai-lambai lembut, seolah memberikan sapaan dan semangat kepada setiap pekerja.
Sementara itu, di cakrawala, Gunung Karst Turoh dan Manratis berdiri berjejeran, megah dalam kesunyiannya. Mereka adalah penjaga spiritual, monumen bisu bagi leluhur di tanah lapang ini, atau yang mereka sebut smok.
Pohon pakis, sah, dan sangko menjadi saksi hidup atas ketekunan ini. Ada yang berkeliling membagikan benih, ibarat ‘support’ yang memberikan dukungan moral tanpa henti kepada tim di lapangan. Bahkan anjing-anjing peliharaan pun datang menghampiri, seolah memberikan tanda penyemangat dan keakraban yang tak terucapkan.
Lebih dari sekadar kebun, aktivitas tanam kacang tanah secara serentak ini telah menjadi ‘bunga’ yang mekar di Kampung Susumuk. Ini adalah ruang dialektika, tempat berbagi cerita, dan wadah untuk mempererat kekeluargaan harmonis.
Kebersamaan mengalir tanpa henti di Wirie, karena bagi masyarakat Susumuk, saling membantu adalah perwujudan nyata dalam menjalankan Hukum Kasih dalam iman Kristiani mereka.
Nyanyian Perpisahan dan Janji Generasi
Burung penyanyi yang dinamai dalam bahasa Maybrat Kontaif, bernyanyi riang dari atas pohon matoa. Suaranya yang merdu menjadi penanda semangat yang menyertai kerja keras.
Kami beristirahat sejenak, menunggu makanan datang untuk mengisi kembali stamina yang terkuras oleh tanah dan matahari. Pekerjaan ini akhirnya usai menjelang senja, pukul 16.58 waktu Papua.
Senandung burung kontaif terdengar lagi, kali ini dari atas pohon meria, namun nadanya telah berubah. Ia seakan menjadi tanda perpisahan yang mesra dengan waktu dan leluhur, sebuah janji tak terucapkan untuk bertemu kembali esok hari atau di lain waktu.
Kekompakan yang diukir di Wirie ini adalah warisan tak ternilai yang pasti akan terus mengalir ke generasi berikutnya.
Kebun kacang tanah ini bukan sekadar tempat panen hasil bumi. Melainkan tempat di mana canda tawa, rasa persaudaraan, kekompakan, dan persatuan selalu ditanam dan disemaikan, dari satu generasi ke generasi di Susumuk Raya.
Semua diakhiri dengan ritual yang sederhana, namun sarat makna: minum kopi dan merokok bersama. Sebuah penutup yang menjadi tanda persatuan sejati yang terjalin erat dalam lingkaran kekeluargaan abadi di Tanah Karst Maybrat.
(*) Imanuel Tahrin adalah penulis kisah ini. Dia adalah aktivis lingkungan, pemerhati budaya dan pendiri komunitas Peduli Tata Ruang (Petarung) Papua yang berbasis di Kampung Susumuk, Aifat, Maybrat, PBD.