
Yoppie Homer dan usaha kolam ikan lele berbahan terpal di Kampung Sauf.. Ayamaru Selayan, Maybrat (doc : Mantah/Petarung)
DI suatu sore yang teduh di Keyum, Distrik Ayamaru Timu, angin membawa aroma tanah basah dan suara serangga dari balik rimbun pohon.
Pada hari Selasa, 7 Oktober 2025, sebuah percakapan ringan di sebuah rumah makan kecil melahirkan kisah yang tak sekadar tentang ikan lele. Melainkan tentang semangat hidup, kerja keras, dan makna kemandirian di tanah Maybrat.
“Bagaimana kabar usaha lele, kawan?” tanya saya kepada Yoppy Homer, teman lama yang kini sibuk dengan kolam terpal di kampungnya. Senyumnya melebar, matanya berkilat seperti air kolam yang memantulkan sinar sore.
Pertanyaan sederhana itu menyulut bara semangatnya. Dari bibirnya, mengalir kisah dua tahun perjuangan yang dimulai dari niat kecil, tumbuh menjadi mata air ketekunan dan sumber penghidupan.
Semua berawal dari kekaguman. Yoppy terinspirasi oleh seorang seniornya yang bekerja di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Sorong. Namun ia tak berhenti di kekaguman. Ia meniru, belajar, lalu memulai.
Bersama beberapa anak muda di Kampung Sauf, Distrik Ayamaru Selatan, mereka memutuskan membangun kolam terpal sederhana di halaman belakang rumah.
“Kami mulai dari nol. Hanya pakai terpal manual yang cepat rusak,” kenangnya.
Setiap dua bulan sekali, terpal itu harus diganti. “Kalau bocor, airnya surut, ikan bisa mati,” tambahnya dengan nada getir.
Keterbatasan modal menjadi batu ujian pertama. Bantuan pemerintah belum datang, dan harga terpal berkualitas tak terjangkau. Namun, di tengah semua itu, Yoppy menemukan sesuatu yang lebih bernilai dari uang, sebuah filosofi hidup.
“Modal kecil tidak masalah. Yang penting, bagaimana kita melayani orang lain,” katanya mantap. “Kami utamakan kepuasan pembeli. Kalau pembeli puas, rezeki akan datang sendiri.”
Optimisme dari usahanya membuahkan hasil. Dalam satu jam, bahkan kadang kurang, lelenya habis terjual. Ia menjual per ekor, bukan per kilo, mengikuti tradisi mama-mama di pasar dan pinggir jalan.
Di sanalah, nilai-nilai lokal dan semangat solidaritas tumbuh, antara pedagang kecil dan pelanggan yang percaya. Kabupaten Maybrat dianugerahi sumber mata air yang melimpah, sungai-sungai kecil mengalir tenang di antara batu karst dan hutan lembab.
Alamnya seperti menunggu disentuh dengan tangan-tangan yang mau bekerja keras. Namun di balik potensi itu, terbentang tantangan yang tak kecil. Infrastruktur yang masih terbatas membuat akses bahan dan peralatan sulit.
Kolam permanen yang kuat masih menjadi impian bagi Yoppy dan rekan-rekannya. “Kami cuma berharap pemerintah bisa lihat. Potensi ini nyata,” ujarnya pelan, matanya menatap jauh ke arah barat, seolah melihat masa depan.
“Ada warung-warung makan yang sudah jadi langganan tetap. Kalau ada bantuan, kami bisa berkembang lebih besar.” Namun Yoppy bukan tipe yang menunggu belas kasihan. Ia lebih memilih menanam tekad di tanah keras, bukan menunggu hujan janji dari langit kekuasaan.
“Jangan kita berpikir bahwa hanya jadi PNS atau politisi yang bisa membuat hidup berhasil,” katanya dengan nada tegas.
Bagi Yoppy, usaha kecil adalah bentuk revolusi sunyi, perlawanan terhadap ketergantungan dan kemalasan. Ia mengajak generasi muda Maybrat untuk berani membuka jalan baru: beternak lele, bertani, membuka kios, mengelola kebun, atau membangun kafe dan lain-lain.
“Kalau PNS dan politik butuh uang dan orang dalam,” ujarnya sambil tertawa kecil, “usaha seperti ini hanya butuh kemauan. Dan uang itu sendiri bisa kita putar dari hasil kerja.”
Filosofi lelenya sederhana: air yang tenang bisa melahirkan kehidupan. Dari kolam terpal yang bocor pun, bisa tumbuh ketekunan yang tak rapuh. Dalam setiap ikan yang dijual, ada kisah kerja keras, doa, dan keyakinan bahwa kemakmuran tak harus menunggu izin dari siapa pun.
Kisah Yoppy Homer bukan sekadar catatan ekonomi kecil di sudut Maybrat. Ini adalah puisi tentang kemandirian dan kesadaran ekologis, tentang bagaimana manusia bisa hidup selaras dengan alam tanpa menaklukkannya.
Ia belajar dari air yang selalu mengalir mencari jalan, tak gentar meski terhalang batu. Ia belajar dari lele yang bisa hidup di air keruh, namun tetap tumbuh kuat dan bernilai.
Dari kolam terpal yang sederhana itu, Yoppy menulis ulang makna pembangunan, kemandirian dan kerja keras. Bukan tentang gedung atau jabatan, melainkan tentang keberanian memulai sesuatu dari tangan sendiri.
Filosofi lele dari Sauf mengajarkan satu hal penting: bahwa di tengah sunyi pedalaman Maybrat, di balik kolam terpal yang rapuh dan tangan yang penuh lumpur, ada suara yang berkata pelan namun pasti.
“Kemandirian adalah revolusi yang dimulai dari seember air dan seekor lele.”
(*) Manuel Tahrin adalah penulis artikel ini. Dia adalah aktivis lingkungan, pemerhati budaya dan pendiri komunitas Peduli Tata Ruang (Petarung) Papua yang berbasis di Kampung Susumuk, Aifat, Maybrat.