
Daniel Tabuni (60 tahun), pejahit Papua di Pasar Sanggeng Manokwari, Papua Barat (doc: wenebuletin)
Manokwari, Papua Barat – Siang itu, Rabu, 17 September 2025, terik matahari Manokwari terasa membakar kulit. Teriknya membaur dengan hiruk pikuk Pasar Sementara Sanggeng, yang berada tak jauh dari jalan utama Yos Sudarso.
Di antara deretan lapak yang penuh dengan tumpukan barang dagangan, ada sebuah pondok kecil yang menaungi kisah luar biasa tentang ketekunan, keuletan dan mimpi.
Di sanalah, saya bertemu dengan Daniel Tabuni (60 tahun), seorang penjahit asli Papua, yang lebih akrab saya panggil “kaka Nayak,” sapaan hangat bagi laki-laki dari Wamena.
Lapaknya yang sederhana, berdiri di tengah lorong pasar, di kawasan yang dulunya dikenal sebagai Taman Besi, tempat yang menyimpan kenangan masa kecil saya.
Dulu tempat ini adalah lahan terbengkalai yang penuh rongsokan, area bagi para pemabuk meneguk minuman keras, bahkan tempat bertransaksi dan berhubungan seks di kala malam tiba.
Tapi kini kawasan ini telah bertransformasi menjadi area pasar sementara Sanggeng yang ramai. Menjadi saksi bisu perjuangan Daniel, sang penjahit Papua. Saat saya tiba, senyum tulusnya menyambut, memancarkan aura keramahan khas masyarakat Pegunungan Papua yang polos dan bersahaja.
Ruangan kecil itu adalah dunianya dan ruang kreasinya. Mesin jahit tua berpenggerak kaki miliknya, menjadi pusat alam semesta. Diapit oleh gulungan benang aneka warna, belasan topi GKI di Tanah Papua, risleting dan noken yang digantung rapi.
Di lantai semennya, tumpukan kain dan pakaian bekas berserakan, menjadi saksi bisu setiap jahitan dan kisah yang ia perbaiki. Di sanalah, ia membuka lembaran hidupnya setiap hari. Dari pagi hingga sore demi menafkahi keluarga.
Perjuangan hidup untuk menapaki kehidupan yang berat di tengah masyarakat urban Manokwari. Kota yang menyimpan sejarah peradaban dan religi orang Papua hingga lika-liku kehidupan yang beragam dari setiap warganya.
Dari Jual Tembakau, Jadi Penjahit Hingga Ke Manokwari
Lahir pada 6 Februari 1966 di kampung Algonik, Distrik Asologaima, Jayawijaya, Daniel adalah anak dari pasangan Aminggirak Tabuni dan Timuluk Jikwa.
Setelah lulus SMP, ia terpaksa mengubur impian untuk melanjutkan sekolah ke SMA dan perguruan tinggi lantaran keterbatasan ekonomi orang tua maupun keluarga.
Ia sempat mencoba peruntungan sebagai buruh bangunan lepas di Kota Wamena bersama seorang tukang bangunan asal Makassar, Sulawesi Selatan yang mengajaknya. Tetapi pekerjaan itu terlalu berat dan hasilnya tak sebanding.
Daniel pun kembali ke kampung halaman. Melanjutkan usaha lamanya: berjualan tembakau dan hasil kebun.
Titik balik hidupnya terjadi saat ia bertemu seorang penjahit asli Papua di Wamena. Ia terpesona melihat kemahiran menjahit dan bagaimana pria Wamena itu dapat menentukan harga sebelum pekerjaan selesai.
“Saya lihat ini pekerjaan menarik karena sudah bisa langsung dapat uang. Tidak ada risiko, tidak berat, dan tidak kena hujan atau panas,” ungkapnya polos.
Terinspirasi, Daniel membeli mesin jahit manual yang digerakan dengan kaki pada tahun 1988 dan belajar secara otodidak di kampung halamannya. Ia kemudian memberanikan diri untuk ke Wamena membuka usaha jahitan.
Keberaniannya ini sempat membuat heran warga setempat. “Orang waktu itu heran lalu bilang, ‘ee… ko orang Papua baru bisa kah, berani dan tahu menjahit kah?” kenangnya sambil tertawa. Daniel mungkin menjadi satu-satunya penjahit asli Papua di Wamena kala itu, sebuah profesi yang langka dan menantang stereotip.
Pada tahun 2000, Daniel mendengar berita tentang Kota Manokwari dari siaran RRI. Kota itu tampak menarik dan menjadi tantangan baru baginya. Apalagi dia belum pernah merantau ke luar dari Wamena.
Dengan tekad yang bulat, ia meninggalkan kampung halaman, menitipkan mesin jahitnya kepada keluarga, dan nekat merantau ke kota yang asing baginya, Manokwari, sebuah kabupaten di wilayah Kepala Burung Tanah Papua.
Ia menumpang pesawat udara dari Wamena ke Biak dengan bekal uang yang didapat selama bekerja. Saat tiba di Biak, dia mendapat info bahwa kapal Pelni (juga disebut kapal putih) sedang berlabuh di pelabuhan, dari Jayapura dan akan ke Manokwari.
Tanpa pikir panjang, dia lantas menentang tas bawaan dari Wamena dan bergerak ke pelabuhan Biak. Saat tiba, ia membeli tiket dan selanjutnya menumpang kapal ke Manokwari, yang memakan waktu perjalanan kurang lebih 8 jam.
“Waktu itu kapal sandar jam 10 malam di Manokwari. Saya tidak kenal siapa-siapa dan tidak punya saudara. Tapi saya hanya nekat untuk merantau saja karena percaya Tuhan pasti tolong saya,” kenangnya, menunjukkan iman yang teguh.
Dari pelabuhan, ia menumpang ojek menuju sebuah gereja Kingmi Papua di Swapen, di mana ia diterima dengan tangan terbuka oleh Pdt. Akwila Maryen. Hidupnya di Manokwari dimulai dari nol.
Selain ikut membantu pelayanan jemaat di gereja, ia juga bekerja serabutan hingga akhirnya bisa membeli mesin jahit baru. Karena belum mampu menyewa lapak, ia memanfaatkan emperan di Pasar Tingkat Sanggeng sebagai tempat usahanya.
Saat itu Daniel Tabuni menjadi satu-satunya penjahit Papua di Pasar Sanggeng. Meski setiap malam, ia harus menyimpan mesinnya di toilet pasar agar tidak dicuri. Sebuah perjuangan yang menyentuh hati.
Menjahit Kehidupan yang Baru
Tiga tahun setelah menetap di Manokwari, rindu akan kampung halaman pun muncul. Ia pun berencana kembali ke Wamena, namun insiden tertinggal kapal di Serui membuatnya tidak pernah kembali lagi ke kampung halamannya selama 25 tahun.
Sebenarnya ia hendak menumpang kapal dari Manokwari ke Biak, dan selanjutna menumpang pesawat ke Wamena. Sayangnya, dia ketinggalan kapal di pelabuhan Serui saat hendak turun membeli makanan dan air minum.
Dari Serui, ia memilih kembali lagi ke Manokwari dan melanjutkan profesinya, dengan menumpang kapal Pelni yang sama setelah balik dari Jayapura.
Selama beberapa tahun, Daniel terus bertahan dari satu lapak ke lapak lain di Pasar Sanggeng sebagai penjahit. Ia bahkan harus merelakan lapaknya yang sudah dibangun sendiri dibongkar untuk pembangunan pasar baru Sanggeng di tahun 2023.
Di tengah persaingan ketat dengan para penjahit non-Papua, Daniel menemukan pelanggan setianya. “Masing-masing orang itu sudah punya berkat sendiri-sendiri,” ujarnya, menunjukkan keyakinan yang kuat.
Para pelanggan, yang mayoritas orang Papua, mempercayakan padanya perbaikan pakaian yang robek, bahkan bahan yang sering ditolak oleh penjahit lain, seperti perbaikan resleting koper, dompet atau tas yang rumit.
Tarifnya pun terjangkau. Mulai mulai dari 30 hingga 100 ribu rupiah, jauh lebih murah dari penjahit lain. “Saya tidak mau berikan harga mahal. Ini sesuai dengan bahan, tingkat kerumitan dan waktu yang digunakan untuk menjahit,” jelasnya.
Dari jahitan demi jahitan, Daniel menopang kehidupan istri dan tujuh anaknya. Penghasilannya digunakan untuk membiayai pendidikan anak-anaknya, mulai dari yang kuliah hingga yang masih balita.
Berkat kerja kerasnya, ia berhasil membeli tanah dan membangun rumah di Lembah Hijau Wosi, sebuah pencapaian yang membuktikan bahwa ketekunan akan membuahkan hasil.
Daniel Tabuni adalah simbol dari semangat pantang menyerah. Ia bukan hanya seorang penjahit, melainkan juga seorang pendidik, motivator, dan penjaga mimpi.
Ia berharap semakin banyak orang Papua yang berani menekuni profesi penjahit. “Orang Papua juga bisa menjahit secara profesional dan melakukan berbagai hal yang dilakukan warga non-Papua, selama ada kepercayaan diri, motivasi, dan kerja keras,” pesannya.
Kisah Daniel adalah narasi humanis yang menggugah, sebuah tapestri kehidupan yang dijahit dengan benang harapan dan ketekunan.
Ia membuktikan bahwa di tengah gemuruh kota dan kerasnya persaingan, ada tangan-tangan yang tak pernah lelah menjahit masa depan, sehelai demi sehelai, demi mimpi dan keluarga. (Julian Haganah Howay)