Maybrat dengan tipe hutan hujan tropis karst yang khas. (doc : Mantah/Petarung)
LANGIT di ufuk timur menggantungkan jubah kelabu yang berat, seperti menyembunyikan rahasia hujan besar yang siap ditumpahkan.
Udara lembap siang menjelang sore di penghujung Oktober 2025 menembus sela pepohonan. Awan tebal menggumpal di atas perbukitan Aifat.
Di bawah langit yang muram itu, kami memutar kemudi mobil, memulai perjalanan panjang dari Kampung Susumuk, Maybrat menuju Sorong.
Jalan berliku di antara bukit-bukit seperti ular raksasa yang tidur, berkelok lembut namun memikat. Setiap tikungan terasa seperti babak baru dalam kisah perjalanan. Seolah tanah dan pohon-pohon di sekitarnya sedang berbisik, mengantar kami pergi.
Perjalanan baru saja dimulai ketika kami berhenti di pinggiran Kampung Framu, wilayah tepian Danau Ayamaru yang legendaris dan memiliki pemandangan eksotis. Di sini, di tepi jalan yang sepi, berdirilah seorang lelaki tua.
Tubuhnya tegap, wajahnya teduh, dan matanya menyimpan kesabaran panjang orang yang terbiasa berjalan jauh. Tangannya terangkat perlahan, memberi isyarat tumpangan. Tanda kecil yang tak mungkin kami abaikan.
Kami menepi sebentar. Saat pintu mobil dibuka, gerimis pertama mulai turun. Rintiknya lembut, seperti taburan berkat yang lama ditunggu tanah kering.
“Anak, bapa mau numpang, nanti turun di Kampung Sehu ee..,” katanya polos. Kampung Sehu berada di Distrik Ayamaru Barat. Jaraknya masih beberapa kilometer lagi.
“Mari, bapa, silakan naik,” jawab saya, tersenyum. “Anggap saja ini mobil sendiri.”
Suara mesin kembali menderu. Di tengah embun kaca dan bau tanah basah, kami mulai bertukar cerita. Lelaki itu memperkenalkan diri: Bapak Niko Bleskadit.
“Bapak tadi dari Ayamaru ada urusan apa kah?” tanya saya, mencoba memecah hening.
Beliau tersenyum kecil lalu merespon. “Saya ke sana untuk kirim uang buat anak perempuan. Dia sedang KKN di Raja Ampat. Uang untuk dia bikin laporan.”
Kami tersenyum dan tertawa kecil. Di tengah deras hujan yang mengguyur kaca, obrolan itu terasa hangat, seperti perapian kecil di tengah kabut pegunungan.
Pohon Silsilah di Tepi Jalan
Saat mobil menuruni tanjakan menuju wilayah Kampung Soroan, percakapan kami mulai menjelma menjadi kisah asal-usul. Rasa ingin tahu pun membuat saya bertanya:
“Bapa, Kampung Soroan ini milik marga apa?”
“Ini tanah Marga Duwith anak,” jawabnya. Matanya menerawang, seolah sedang membaca peta yang hanya bisa ia lihat di dalam ingatannya sendiri.
“Marga Duwith terbagi jadi beberapa sub-marga,” katanya pelan. “Ada Duwith Bomira, Duwith San, Duwith Sefaho, yang kemudian pindah ke Kambuaya jadi Marga Kambuaya, lalu Duwith Onon, Duwith Bauk, dan Duwith Hafliah.”
Saya mengangguk, lalu bertanya lagi, “Bapa, kalau Marga Bleskadit?”
Beliau tersenyum bangga. “Bleskadit ada banyak juga: Bleskadit Mere, Foyolu, Fle, Ogin, Bauk, dan Birofat. Kami seperti cabang dari satu batang besar, masing-masing tumbuh ke arah berbeda, tapi akar kami tetap satu.”
Kampung Soroan adalah kampung yang berada di dekat perbatasan antara Kabupaten Maybrat dan Sorong Selatan.
Di tengah jalan utama, di pinggir kampung ini terdapat sebuah sungai (kali) berair jernih, sebening kristal, bernama kali Wensi yang mengalir membelah jalan.
Mata air Kali Wensi keluar dari hutan perbukitan berbatuan kapur (karts). Dalam pengucapan sehari-hari oleh masyarakat Maybrat, sebutan Soroan kadang terdengar seperti “Sorowan”.
Ini terjadi karena adanya penambahan bunyi vokal “w” atau “wo” dalam dialek lokal, yang biasa muncul di antara suku kata untuk mempermudah pelafalan. Ini disebut fenomena fonetik alami dalam bahasa Maybrat.
Kisah Perpindahan dan Pohon Fait
Mobil terus melaju, dan cerita Bapak Niko pun kian dalam. Menembus waktu dan batas tanah adat.
“Awalnya kami dari Ternate,” tuturnya pelan, suaranya tenggelam di antara deru hujan. “Kami pindah ke Seget, lalu menetap di sana. Di tempat itu leluhur kami, Bamla, mulai menanam kehidupan, jadilah Marga Kokmala.”
“Dari Seget kami pindah lagi ke Teminabuan, jadi Marga Kondologit. Lalu ke Kampung Eles, dan akhirnya ke Sauf.”
Ia berhenti sejenak, seperti mencari kata. “Tapi di Sauf, adik dan kakak dari nenek moyang kami berselisih. Karena itu, kami dari garis adik pindah ke Foyolu. Dekat dengan Kampung Soroan dan Sehu.”
“Di tengah-tengahnya ada kuburan tua dengan banyak Pohon Fait tumbuh di sekelilingnya.”
“Pohon Foyo dalam bahasa Tehit sama dengan Pohon Fait dalam bahasa Maybrat,” tambahnya. “Dari situlah, kami punya tempat disebut ‘Foyolu’, tempat orang Bleskadit yang tinggal di dekat pohon Fait.”
Pohon Fait atau kadang disebut Vait dalam beberapa dialek bahasa Maybrat, memiliki makna ekologis dan kultural yang kuat bagi orang Maybrat, terutama dalam kaitannya dengan asal-usul kampung, mitologi leluhur, religi dan sistem pengetahuan hutan.
Dalam tradisi lisan suku Maybrat, pohon Fait sering disebut sebagai pohon besar yang menjadi tempat asal leluhur, tempat perlindungan roh, atau penanda batas wilayah adat.
Secara fisik memiliki kayu yang keras, akarnya besar dan kuat, daunnya lebat, sering tumbuh di sekitar sumber air atau tepi danau.
Dalam beberapa kisah, pohon Fait menjadi metafora kehidupan dan ketahanan. Karena pohon ini dianggap “tidak mudah tumbang”, melambangkan keteguhan orang Maybrat.
Saya terdiam. Cerita itu seperti menyalakan obor kecil di tengah gerimis: tentang akar, migrasi, dan ingatan yang tumbuh seperti pohon tua di tanah leluhur.
Di Kampung Sehu, kisah berakhir dalam hujan. Ketika mobil perlahan menepi, hujan sudah turun deras. Bapak Niko membuka pintu, dan udara dingin langsung menerobos masuk.
“Kita sudah tiba di Kampung Sehu, Bapak,” ujar saya.
Beliau tersenyum dan menepuk bahu saya. “Anak, terima kasih. Di sini kitong berpisah.”
Ia turun, melangkah pelan ke arah rumah-rumah di tepi jalan yang diselimuti kabut sore. Hujan mengguyur tubuhnya, tapi ia tampak tenang. Seperti seseorang yang telah selesai menunaikan perjalanan panjang dalam hidupnya.
Mobil kembali melaju. Di kaca spion, sosoknya perlahan hilang ditelan kabut, tapi suaranya masih bergema di kepala saya: kisah tentang Marga Duwith, Bleskadit, dan Pohon Fait, warisan yang hidup dalam setiap langkah anak Maybrat di tanah leluhur mereka.
Di tengah deras hujan, saya merasa perjalanan ini bukan sekadar dari Susumuk ke Sorong. Tapi dari masa kini menuju akar masa lalu. Sebuah perjalanan pulang ke akar, ke identitas yang kini makin pudar karena perubahan zaman.
Dalam perjalanan panjang yang berliku, tepat pukul 5 sore waktu Papua, kami tiba di Sorong. Gerimis belum reda, tapi di dada saya tersisa kehangatan: sebuah tumpangan dalam hujan yang menyimpan jejak marga, dan kenangan yang tak akan hilang.
(*) Imanuel Tahrin adalah penulis artikel ini. Dia adalah aktivis lingkungan, pemerhati budaya dan pendiri komunitas Peduli Tata Ruang (Petarung) Papua yang berbasis di Kampung Susumuk, Maybrat.
