
Saat singgah di Kampung Magis, Distrik Wehali, Sorong Selatan, dalam perjalanan menuju Susumuk, Maybrat. (doc: Mantah/Petarung)
Sorong Selatan, PBD – Siang itu cerah. Matahari membakar terik, tetapi justru dari panas itulah semangat kami menyala. Semangat untuk menelusuri jalan beraspal yang kini terasa asing. Padahal pernah menjadi saksi langkah panjang leluhur Suku Maybrat.
Langit biru di atas terbentang lapang, sejernih tekad kami. Hari Rabu, 24 September 2025, pukul 13.00 WIT, dari Teminabuan yang kini menjadi ibukota Kabupaten Sorong Selatan, kami berangkat, bersama keluarga yang berasal dari Kampung Susumuk, Maybrat.
Perjalanan ini bukan sekadar perjalanan pulang. Melainkan ziarah pada jejak lama yang nyaris terlupakan. Dari pusat Kota Teminabuan, kami melaju dengan menggunakan mobil hingga tiba di depan gedung DPRD.
Disini terdapat jalan bercabang dua: kanan ke arah Moswaren-Maybrat, kiri menuju Boldol-Ayamaru. Mobil Terios putih kami berkedip pelan, menolak kanan, lalu berbelok ke kiri. Aspal hitam membentang licin, selicin perumpamaan cinta yang sukar digenggam.
Beberapa menit jalan mendatar, lalu menanjak, berliku, hingga masuk ke perbukitan karst. Di sanalah, batas antara lembah dan laut menyergap, seolah menggambarkan perpisahan hati manusia yang sedang mencari arah baru.
Kami singgah sejenak di Kampung Boldol. Menuruni mobil, kami berpose di depan SD Boldol. Sebuah ingatan seolah menyeruak: di sini, generasi muda Maybrat menulis hari depannya dengan huruf-huruf sederhana. Lalu perjalanan kembali dilanjutkan.
Jalan membawa kami menembus hutan bekas kebun, atau tain dalam bahasa Maybrat. Bekas itu tidak hanya tertinggal di tanah, melainkan juga di ingatan. Di kiri-kanan, mata air jernih menetes dari celah batu, mengalir seperti napas dan nadi yang menjaga kehidupan.
Tanjakan rusak menghadang, memaksa mobil bergigi satu merayap pelan, seperti seseorang yang berusaha meraih cinta yang belum tentu bisa direngkuh.
Di puncak karst, hutan lebat menyambut. Udara segar menyapa, burung-burung menari di udara, suara maleo bersahut-sahutan menjaga sarang mereka dengan setia, seteguh aku menjaga cintamu.
Kami tiba di Kampung Wahali-Magis. Gapura selamat datang berdiri tegak, seakan memberi hormat pada langkah kami. Dulu, di jalan inilah orang-orang tua berjalan kaki: menembus gunung, lembah, dan sungai, menuju Teminabuan yang kini telah menjelma jadi ibu kota Sorong Selatan.
Di jalan inilah mereka memikul beras jatah sekolah, bahan bangunan, dan hasil kebun. Kaki telanjang mereka berdarah, tetapi hati mereka dibalut tekad baja. Jalan itu bukan sekadar tanah, akar, dan batu. Ini adalah kitab yang merekam setiap peluh dan doa mereka.
Kini jalan raya sudah mulus. Mobil melintas, pembangunan menjalar. Namun sejarah tetap bernafas: jalan ini pernah menjadi jalan penuh luka, penuh keteguhan, penuh kasih sayang pada kehidupan.
Perjalanan kami berlanjut. Seekor anak anjing melintas, seolah menyapa, memperkenalkan dirinya sebagai sahabat baru di tengah perjalanan.
Jembatan dekat sebuah Gereja GKI di Kampung Wehali menyingkap sungai indah bernama Kali Doros. Dari puncak karst, kami menoleh ke belakang. Gunung-gunung berbaris rapi, bagaikan penjaga abadi yang menyaksikan manusia berjuang melawan kerasnya medan hidup.
Beberapa menit kemudian, kami tiba di Kampung Sauf. Disini pemandangan elok pohon-pohon cemara berbaris tegak, seperti pasukan yang menjaga kampung dan dusun. Hingga akhirnya, perjalanan kami berlabuh di Susumuk, kampung asalku yang berada di Distrik Aifat, Maybrat.
Di kampung ini kami menemui Mama Angganeta Iek, saksi hidup perjuangan jalan kaki masa lalu. “Dulu kami jalan kaki dua hari ke Teminabuan,” katanya lirih, seakan mengeluarkan ingatan dari dada yang dalam.
“Hari pertama dari Susumuk sampai bermalam di Ayamaru. Hari kedua, lanjut ke Teminabuan. Kami singgah di banyak tempat: Ayamaru, Tibir Hafrafon, Sauf, Wahali, Susu, Bormalit, turun ke Yoho, Sekendi, hingga akhirnya tiba di Teminabuan.”
Kami terdiam dan menerawang sejenak. Sungguh suatu perjuangan para orang tua Maybrat yang berat kala itu. Dalam benak, langkah-langkah kaki telanjang mereka seolah hidup kembali. Dua hari penuh peluh, dua hari penuh harapan, dua hari meniti kerasnya jalan hidup.
Kini, orang Maybrat sudah jauh berubah. Mereka boleh berbangga karena sudah tidak perlu melangkah, berjalan sebegitu jauh hingga dua hari ke Teminabuan. Jalan raya kini terbentang mulus, kendaraan melaju, pembangunan merambat masuk.
Namun jejak itu tak pernah padam. Jejak kaki telanjang leluhur akan selalu menjadi saksi abadi bahwa perubahan bukan hadiah, melainkan lahir dari keringat, kesabaran, dan keteguhan hati. Sioooo…., sayang…!!!
(*) Imanuel Tahrin adalah penulis cerita perjalanan ini. Dia adalah aktivis lingkungan, pemerhati budaya dan pendiri komunitas Peduli Tata Ruang (Petarung) Papua yang berbasis di Kampung Susumuk, Aifat, Maybrat.