
Kolam ikan lele di rumah om Felix Sasior yang juga dibuat bersama wadah pembuatan pupuk cair organik (doc : Mantah/Petarung)
Sorong, Papua Barat Daya – Siang itu, Rabu, 17 September 2025, pemandangan langit Sorong begitu cerah. Muncul denting notifikasi di ponsel saya, membawa pesan hangat dari seorang rekan kerja yang juga kerabat dekat, Om Felix Ulis Sasior.
Beliau, sosok yang sering saya sapa dengan panggilan penuh keakraban, mengajak saya berkunjung ke rumahnya. Sebuah ajakan sederhana yang kelak menjadi perjalanan inspirasi yang berharga.
Mobil yang saya kemudikan meluncur perlahan menyusuri jalanan Kabupaten Sorong. Hiruk-pikuk kota yang tengah menggeliat di tanah Moi ini terasa begitu hidup.
Kendaraan hilir mudik bagai aliran sungai yang tak pernah kering, memenuhi arteri kota yang seakan tak pernah tidur. Sorong, sebagai gerbang utama menuju tanah Papua, memang selalu dipenuhi denyut nadi aktivitas yang tiada henti. Menjadi saksi bisu setiap mimpi dan harapan yang bersemayam di sana.
Setibanya di tujuan, pintu rumah Om Sasior terbuka dan menyambut saya dengan senyum hangat. Pelukan khas orang Papua, yang tulus dan erat, seolah menyatukan kembali ikatan kekeluargaan yang begitu kental. Kami larut dalam percakapan ringan di ruang tamu, hingga beliau mengajak saya ke halaman belakang rumah.
Di sanalah mata saya terbelalak menangkap sebuah pemandangan yang tak biasa, sebuah kolam ikan lele yang masih dalam tahap pembangunan. Bagi saya, ini bukan hanya sekadar kolam, melainkan manifestasi dari semangat dan ketekunan.
Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang abdi negara, Om Sasior menantang dirinya sendiri untuk mengolah waktu luang menjadi sesuatu yang produktif, sebuah gagasan yang jauh melampaui sekadar hobi.
Namun, kejutan tak berhenti sampai di sana. Di sudut lain halaman, berdiri gagah dua buah drum karet besar, saksi bisu dari inovasi sederhana namun sarat makna.
Satu drum berisi potongan batang sayuran, dan satunya lagi menyimpan tumpukan buah-buahan yang sedang menjalani proses fermentasi. “Ini pupuk organik cair,” ujar beliau dengan bangga sambil membuka penutup drum. “Enam bulan lagi, pupuk ini sudah bisa dipakai untuk menyiram tanaman.”
Mendengar penuturan itu, saya tertegun. Di tengah gempuran teknologi modern, Om Sasior memilih jalan kembali ke akar, memanfaatkan kekayaan alam yang ada di sekelilingnya.
Kreativitas, seperti yang ditunjukkannya, tidak mengenal tempat. Ini bisa tumbuh subur di mana saja, bahkan di halaman belakang rumah yang sering kali luput dari perhatian.
Beliau kemudian bercerita tentang mimpi besarnya. Ia ingin pupuk organik ini dapat diterapkan di kampung halamannya, Susumuk, Distrik Aifat, Maybrat. Selama ini, masyarakat di sana terbiasa dengan sistem perladangan berpindah (slash-and-burn agriculture), meninggalkan hutan yang rusak untuk mencari lahan baru yang subur.
Praktik ini, meskipun telah menjadi tradisi, membawa dampak ekologis yang besar, membutuhkan waktu lima hingga sepuluh tahun agar tanah dapat pulih kembali. “Dengan pupuk ini, mereka tidak perlu lagi berpindah-pindah. Mereka bisa mengolah lahan yang sama secara berkelanjutan dan menjaga hutan tetap lestari,” ucap beliau.
Kisah Om Sasior adalah cerminan dari filosofi Papua yang mendalam, di mana alam dan manusia hidup dalam harmoni. Ini mengingatkan saya pada kearifan lokal seperti ‘jaga alam, alam jaga kita’, sebuah pepatah yang mengajarkan bahwa menjaga lingkungan adalah cara kita menjaga kehidupan.
Semangatnya selaras dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang kini digaungkan di seluruh dunia. “Saya hanya ingin memberi contoh,” katanya dengan nada rendah hati.
“Agar orang-orang Maybrat bisa melihat bahwa kita bisa menjaga hutan dan tetap berkebun di satu tempat.”
Kata-kata ini menembus relung hati saya. Di tengah kesibukan yang membelenggu, beliau masih menyempatkan diri untuk memikirkan orang lain, untuk memberikan kontribusi nyata bagi masyarakatnya.
Dari sosok Om Sasior, saya belajar sebuah pelajaran berharga: semangat untuk terus belajar dan berkembang tidak pernah lekang oleh waktu. Selama ada kemauan, selama ada usaha, setiap orang, tanpa terkecuali, akan selalu menemukan jalan untuk tumbuh dan memberikan manfaat.
Sore itu, saya berpamitan. Namun, kepulangan saya tak hanya membawa kenangan akan kunjungan. Saya membawa pulang sebuah benih inspirasi, sebuah kisah sederhana dari halaman belakang rumah yang kelak, saya berharap, dapat saya tanam dan kembangkan bersama masyarakat.
Kisah tentang ketulusan, kreativitas, dan semangat tak kenal lelah yang mengalir dari seorang pahlawan tanpa tanda jasa, Om Felix Ulis Sasior.
(*) Imanuel Tahrin adalah penulis kisah ini. Dia adalah aktivis lingkungan, pemerhati budaya dan pendiri komunitas Peduli Tata Ruang (Petarung) Papua yang berbasis di Kampung Susumuk, Aifat, Maybrat, PBD.